-->
Loading...

Podkas Ahok di konferensi RE:START Sevenpreneur : Situasi Ekonomi dan Tantangan Bisnis di Indonesia


Raymond chin(host) Bersama Pak Basuki Tjahaja Purnama(narasumber)

45news.id Dalam podcast "APA KABAR INDONESIA, PAK AHOK?" yang diunggah oleh Raymond Chin pada kanal YouTube-nya(https://youtu.be/Mwmex7kDaaE?si=spZF5HEKzDWZ2LP9), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyampaikan pandangan yang tajam dan penuh keprihatinan terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia saat ini. Dalam suasana konferensi RE:START Sevenpreneur yang diadakan di Jakarta pada 26 Juli 2025, Ahok tidak hanya berbicara sebagai mantan pejabat publik, tetapi sebagai seorang warga negara yang peduli terhadap arah bangsa. Ia menyoroti bahwa Indonesia tengah berada dalam situasi yang tidak baik, bahkan berbahaya, jika dilihat dari berbagai indikator sosial dan ekonomi. Ketimpangan yang masih tinggi, korupsi yang merajalela, serta lemahnya penegakan hukum menjadi faktor-faktor yang menghambat kemajuan. Ia menyebut bahwa banyak kebijakan publik tidak berpihak pada rakyat kecil, dan justru memperkuat dominasi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan modal.

Ahok juga mengangkat isu politik yang erat kaitannya dengan dunia bisnis. Menurutnya, iklim politik yang tidak stabil dan penuh kepentingan pribadi telah menciptakan ketidakpastian dalam dunia usaha. Regulasi yang berubah-ubah, birokrasi yang lamban, serta praktik-praktik tidak transparan membuat para pelaku bisnis kesulitan untuk berkembang secara sehat. Ia menekankan bahwa ekonomi tidak bisa dipisahkan dari politik, karena arah kebijakan negara sangat menentukan keberlangsungan usaha. Dalam konteks ini, pengusaha tidak boleh bersikap apolitis. Ketika politik dikuasai oleh mereka yang tidak memiliki visi kebangsaan, maka bisnis pun akan terancam. Ahok mengajak para pengusaha untuk lebih sadar dan aktif dalam memperjuangkan sistem yang adil dan transparan, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi demi keberlanjutan bangsa.

Salah satu pernyataan paling kuat dari Ahok dalam diskusi tersebut adalah penegasan bahwa jika pemerintah tidak berfungsi dengan baik, maka pengusaha harus turun tangan. Ia tidak bermaksud agar pengusaha mengambil alih peran negara, tetapi mendorong mereka untuk menjadi bagian dari solusi. Dalam pandangannya, pengusaha memiliki sumber daya, jaringan, dan pengaruh yang besar untuk mendorong perubahan. Mereka bisa berkontribusi dalam pendidikan politik masyarakat, mendukung kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial, dan menjadi teladan dalam praktik bisnis yang etis. Ahok percaya bahwa pengusaha tidak hanya memiliki tanggung jawab ekonomi, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan negara. Ia mengajak mereka untuk tidak hanya memikirkan laba, tetapi juga dampak sosial dari setiap keputusan bisnis yang mereka ambil.

Lebih jauh, Ahok menggugah kesadaran para pengusaha untuk tidak hanya berfokus pada bisnis tanpa memperhatikan situasi politik. Ia mengkritik mentalitas “yang penting bisnis jalan” sebagai bentuk pengabaian terhadap realitas yang bisa menghancurkan bisnis itu sendiri. Ketika pengusaha menutup mata terhadap korupsi, ketidakadilan, dan ketimpangan, maka mereka secara tidak langsung menjadi bagian dari masalah. Ia mendorong agar pengusaha menjadi agen perubahan, ikut serta dalam diskusi publik, dan mendorong transparansi serta akuntabilitas dalam pemerintahan. Dalam konteks ini, bisnis bukan hanya alat untuk mencari keuntungan, tetapi juga sarana untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab. 

Ahok juga menyoroti isu demografi sebagai peluang sekaligus tantangan besar bagi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi, yaitu masa ketika jumlah penduduk usia produktif mencapai titik tertinggi. Dalam teori pembangunan, ini adalah momen emas yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Namun, Ahok mengingatkan bahwa bonus demografi tidak otomatis menghasilkan produktivitas. Tanpa pendidikan yang memadai, pelatihan keterampilan, dan lapangan kerja yang tersedia, justru bisa menjadi beban sosial yang besar. Ia menekankan bahwa negara harus mampu mengelola potensi ini dengan bijak, karena jika gagal, maka generasi muda akan terjebak dalam pengangguran dan frustrasi sosial.

Dalam konteks dunia usaha, Ahok mengidentifikasi sejumlah bottleneck atau hambatan utama yang dihadapi pengusaha, terutama dalam hal infrastruktur. Ia menyebut bahwa banyak wilayah di Indonesia masih belum memiliki akses jalan yang baik, listrik yang stabil, atau sistem logistik yang efisien. Hal ini membuat biaya produksi dan distribusi menjadi tinggi, sehingga daya saing produk Indonesia di pasar global menurun. Ia menyoroti bahwa pengusaha tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi masalah ini. Diperlukan intervensi aktif dari pemerintah untuk membangun infrastruktur yang mendukung pertumbuhan bisnis. Menurutnya, pembangunan jalan, pelabuhan, jaringan internet, dan fasilitas energi harus menjadi prioritas nasional, bukan sekadar proyek politis yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Ahok juga mengkritik ketidakmampuan Indonesia untuk bersaing dengan negara lain, khususnya China, dalam hal produksi. Ia membandingkan bagaimana China mampu memproduksi barang dengan efisiensi tinggi, harga murah, dan kualitas yang terus meningkat, sementara Indonesia masih tertinggal dalam banyak aspek. Ia menyebut bahwa ini bukan semata-mata karena faktor tenaga kerja, tetapi karena sistem yang tidak mendukung produktivitas. Regulasi yang berbelit, korupsi dalam proses perizinan, serta minimnya investasi dalam riset dan teknologi membuat Indonesia sulit untuk mengejar ketertinggalan. Ia mengajak pengusaha untuk tidak hanya mengeluh, tetapi juga berinovasi dan berkolaborasi dengan pemerintah serta akademisi untuk menciptakan ekosistem produksi yang lebih kompetitif.

Ahok mengangkat isu yang sangat krusial bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia: ketidakstabilan hukum dan politik yang menghambat masuknya investasi. Ia menyoroti bahwa banyak investor asing ragu untuk menanamkan modal di Indonesia karena ketidakpastian hukum yang tinggi. Peraturan yang sering berubah, lemahnya penegakan hukum, serta praktik korupsi dalam birokrasi membuat iklim investasi menjadi tidak kondusif. Dalam dunia bisnis, kepastian hukum adalah fondasi utama. Tanpa jaminan bahwa kontrak akan dihormati dan hak-hak investor dilindungi, maka modal akan mengalir ke negara lain yang lebih stabil dan efisien.

Ahok menekankan pentingnya Foreign Direct Investment (FDI) sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Ia menyebut bahwa FDI bukan hanya membawa modal, tetapi juga teknologi, lapangan kerja, dan transfer pengetahuan. Dalam konteks bonus demografi yang sedang dialami Indonesia, FDI bisa menjadi katalisator untuk menyerap tenaga kerja muda dan meningkatkan produktivitas nasional. Namun, tanpa reformasi hukum dan birokrasi, potensi ini akan terbuang sia-sia. Ia mengajak pemerintah untuk serius dalam menciptakan sistem hukum yang transparan dan dapat dipercaya, serta memangkas birokrasi yang menghambat proses investasi.

Dalam perbandingan yang tajam, Ahok mengangkat pengalaman pengusaha di negara lain seperti Vietnam. Ia menyampaikan bahwa banyak pengusaha Indonesia yang merasa lebih nyaman dan efisien beroperasi di Vietnam dibandingkan di tanah air sendiri. Di Vietnam, proses perizinan lebih cepat, regulasi lebih konsisten, dan pemerintah aktif mendukung dunia usaha. Ahok menyebut bahwa Vietnam berhasil menciptakan ekosistem bisnis yang kompetitif dan menarik bagi investor global, termasuk dari Jepang, Korea, dan Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, pengusaha sering kali harus menghadapi proses yang berbelit, pungutan liar, dan ketidakjelasan hukum yang membuat mereka frustrasi.

Pengalaman positif pengusaha di Vietnam menjadi cermin bagi Indonesia untuk berbenah. Ahok tidak menyampaikan ini sebagai bentuk pesimisme, tetapi sebagai dorongan untuk introspeksi dan perubahan. Ia mencatat bahwa perbedaan dalam kebijakan dan birokrasi antara Indonesia dan Vietnam sangat mencolok, dan jika tidak segera diatasi, maka Indonesia akan terus tertinggal dalam persaingan regional. 

Ahok menyampaikan refleksi mendalam tentang peran bisnis dalam pembangunan ekonomi nasional. Ia menegaskan bahwa bisnis tidak seharusnya hanya berorientasi pada keuntungan semata, tetapi harus menjadi sarana untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kata-katanya yang lugas, Ahok menyatakan, “Bisnis itu bukan cuma cari untung, tapi harus bisa kasih manfaat buat orang banyak. Kalau cuma mikirin diri sendiri, ya negara ini nggak akan maju.” Pernyataan ini menjadi penegasan bahwa dunia usaha memiliki tanggung jawab sosial yang melekat, dan bahwa keberhasilan bisnis harus diukur juga dari dampaknya terhadap masyarakat luas.

Ahok juga menyoroti pentingnya komunikasi dan jaringan dalam dunia usaha. Ia menyampaikan bahwa pengusaha tidak bisa bertahan sendirian di tengah kompleksitas ekonomi dan politik Indonesia. Membangun relasi yang sehat, baik dengan sesama pelaku usaha maupun dengan pemerintah dan masyarakat, menjadi kunci untuk bertahan dan berkembang. Ia menyebut bahwa banyak pengusaha gagal bukan karena produknya buruk, tetapi karena tidak mampu membangun komunikasi yang efektif dan jaringan yang mendukung. Dalam konteks ini, Ahok mendorong agar pengusaha lebih terbuka, kolaboratif, dan aktif dalam membangun ekosistem bisnis yang saling menguatkan.

Refleksi Ahok tentang hubungan antara politik dan bisnis menjadi salah satu titik penting dalam diskusi tersebut. Ia menyatakan dengan tegas bahwa politik dan bisnis tidak bisa dipisahkan. “Kalau kamu pengusaha, tapi nggak ngerti politik, ya kamu bisa kena jebakan. Karena semua aturan itu dibuat lewat politik,” ujarnya. Pernyataan ini menggambarkan bahwa pengusaha harus peka terhadap dinamika politik, karena kebijakan publik sangat menentukan arah dan keberlangsungan bisnis. Ia mengajak para pelaku usaha untuk tidak bersikap apolitis, tetapi justru aktif memahami dan berpartisipasi dalam proses politik, demi menciptakan sistem yang lebih adil dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membagikan pengalaman pribadinya dalam menghadapi tantangan bisnis dan politik yang kompleks di Indonesia. Ia tidak berbicara dari teori semata, melainkan dari pengalaman langsung sebagai pejabat publik dan pelaku transformasi birokrasi. Ia mengakui bahwa perubahan tidak pernah mudah, dan sering kali harus berhadapan dengan resistensi, fitnah, bahkan ancaman. Namun, ia menekankan pentingnya strategi yang adaptif dan keberanian untuk tetap berjalan di jalur yang benar. Dalam kata-katanya, “Kalau kita tahu kita benar, jangan takut. Tapi kita juga harus pintar menyesuaikan strategi. Jangan keras kepala, tapi jangan juga kompromi sama yang salah.” Kutipan ini mencerminkan filosofi kepemimpinan yang berani namun bijak, yang sangat relevan bagi para pengusaha muda yang ingin berkontribusi dalam perubahan.

Ahok juga menggugah semangat generasi muda untuk berani mengambil peran dalam membangun Indonesia. Ia menyampaikan bahwa perubahan tidak akan datang dari mereka yang hanya menonton dari pinggir lapangan. Dibutuhkan keberanian, integritas, dan komitmen terhadap kebenaran untuk menjadi pemimpin yang membawa dampak nyata. Ia berkata, “Anak muda sekarang harus berani. Jangan cuma jadi penonton. Kalau kamu punya integritas, punya keberanian, kamu bisa ubah banyak hal.” Pesan ini bukan hanya motivasi, tetapi juga tantangan bagi generasi muda untuk tidak larut dalam kenyamanan, melainkan aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai yang membangun bangsa.

Optimisme juga menjadi nada dominan dalam penuturan Ahok. Meskipun ia mengakui banyak tantangan yang dihadapi Indonesia, ia tetap percaya bahwa masa depan bisa lebih baik jika semua pihak bersedia berkontribusi. Ia mengingatkan bahwa perubahan bukan tanggung jawab satu orang atau satu institusi, tetapi hasil dari kerja kolektif. “Negara ini bisa maju kalau semua orang ambil bagian. Jangan tunggu pemerintah sempurna. Kita semua punya peran.” Dengan pernyataan ini, Ahok menegaskan bahwa setiap individu, termasuk pengusaha dan anak muda, memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki keadaan.

Kesimpulannya, podcast ini menjadi panggilan untuk bangkit. Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar kritik dan ia membutuhkan kontribusi nyata. Para pengusaha harus melihat bisnis sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan, bukan sekadar keuntungan. Generasi muda harus berani mengambil peran, membangun jaringan, dan memahami bahwa politik dan ekonomi saling terkait. Dengan keberanian untuk bersuara dan berkontribusi, kita semua memiliki peran dalam memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi Indonesia. Seperti yang Ahok tegaskan, “Kalau bukan kita yang ubah, siapa lagi?”(JS)

Belum ada Komentar untuk "Podkas Ahok di konferensi RE:START Sevenpreneur : Situasi Ekonomi dan Tantangan Bisnis di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel