-->
Loading...

Pria Indonesia dan Krisis Karakter di Era Modern


45news.id Fenomena fatherless di Indonesia bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari krisis peran pria dalam keluarga yang semakin kompleks. Meskipun secara fisik banyak ayah hadir di rumah, secara emosional dan fungsional mereka sering kali absen. Data UNICEF menunjukkan bahwa sekitar 20,9% anak Indonesia kehilangan kehadiran ayah dalam keseharian mereka, dan hanya 37,17% anak usia 0–5 tahun yang diasuh penuh oleh kedua orang tua. Ini bukan angka kecil dan ini adalah potret sosial yang mengkhawatirkan.

Wihaji, Kepala BKKBN, menegaskan bahwa akar dari fenomena ini adalah persepsi masyarakat yang masih menganggap pengasuhan anak sebagai tanggung jawab ibu semata. Dalam wawancaranya, ia menyebut bahwa ayah sering kali merasa cukup dengan peran sebagai pencari nafkah, tanpa menyadari pentingnya kehadiran emosional dan keterlibatan aktif dalam kehidupan anak. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa figur ayah yang menjadi panutan, pendamping, dan pemberi rasa aman. Mereka kehilangan ruang diskusi, kehilangan teladan moral, dan kehilangan keseimbangan emosional yang seharusnya diberikan oleh sosok ayah.(https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20241217074912-284-1178126/fenomena-fatherless-di-indonesia-bagaimana-solusinya)

Budaya patriarki memperparah situasi ini. Dalam sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas utama, peran domestik dan pengasuhan dianggap bukan ranah pria. Penelitian dari SEAMEO CECCEP (https://www.kompas.com/edu/read/2023/11/07/143821171/budaya-patriarki-bikin-peran-pengasuhan-anak-makin-sulit?page=all) menunjukkan bahwa keberhasilan seorang ayah diukur dari gaji, sementara keberhasilan ibu dinilai dari kemampuannya mengurus rumah dan anak. Bahkan ketika ibu bekerja, masyarakat tetap menganggap ayah tidak kompeten untuk mengasuh anak, sehingga anak lebih baik dititipkan kepada nenek atau kerabat perempuan. Tekanan sosial ini membuat banyak pria merasa malu atau tidak layak mengambil peran pengasuhan, meskipun mereka mampu dan memiliki potensi besar untuk menjadi figur ayah yang hangat dan terlibat.

Psikolog UGM, Diana Setiyawati, menyebut bahwa Indonesia kini berada di peringkat ketiga dunia sebagai negara fatherless. Ia menyoroti lima dampak utama dari minimnya peran ayah: hambatan dalam pembentukan identitas gender, penurunan performa akademis, gangguan emosional, peningkatan risiko kriminalitas, dan rendahnya rasa percaya diri anak. Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah cenderung merasa tidak aman, tidak dicintai, dan tidak memiliki figur yang bisa mereka jadikan panutan dalam menghadapi dunia.

Sistem pendidikan Indonesia selama bertahun-tahun telah dibentuk oleh pendekatan yang menekankan hafalan dan kepatuhan, bukan pemahaman mendalam dan analisis kritis. Model pembelajaran seperti ini telah menciptakan generasi muda terutama pria yang cenderung pasif, tidak mandiri, dan mudah terpengaruh oleh informasi yang belum tentu benar. Dalam konteks ini, pria muda Indonesia sering kali tumbuh tanpa kemampuan berpikir kritis yang memadai, sehingga rentan terhadap hoaks, manipulasi media, dan ketidakmampuan mengambil keputusan secara rasional. Survei Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) tahun 2023 menunjukkan bahwa kurang dari 50% masyarakat Indonesia menyetujui pentingnya mengidentifikasi sumber informasi sebelum menyebarkannya. Bahkan hanya 2% yang sangat setuju dengan tindakan tersebut. Ini menunjukkan bahwa literasi kritis masih menjadi tantangan besar, terutama di era digital yang penuh dengan banjir informasi.

Penyebab utama dari rendahnya kemampuan berpikir kritis ini adalah sistem pendidikan yang masih berorientasi pada hasil ujian dan hafalan. Artikel dari Suara.com menyoroti bahwa skor PISA siswa Indonesia masih stagnan di bawah angka 400, jauh tertinggal dari negara-negara lain. Siswa Indonesia mampu menjawab soal berbasis fakta, tetapi kesulitan ketika dihadapkan pada pertanyaan yang menuntut analisis dan pemecahan masalah. Hal ini diperkuat oleh laporan dari Kompasiana yang menyebut bahwa kurikulum pendidikan Indonesia terlalu fokus pada teori dan hafalan, sehingga siswa tidak terbiasa berpikir secara aplikatif dan reflektif. Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak hanya menghambat kreativitas, tetapi juga membentuk pola pikir yang bergantung pada otoritas dan tidak terbiasa mempertanyakan atau mengevaluasi informasi secara kritis.

Lebih jauh lagi, budaya zona nyaman dan dopamine instan dari media sosial memperburuk kondisi ini. Generasi muda, terutama pria, kini hidup dalam dunia yang serba cepat dan instan. Mereka terbiasa mendapatkan kepuasan sesaat dari notifikasi, likes, dan konten viral, yang secara neurologis memicu pelepasan dopamine dari zat kimia yang memberi rasa senang. Artikel dari Harian Disway menyebut bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 7 jam 38 menit per hari untuk bergulir di media sosial, dengan Generasi Z sebagai pengguna paling aktif. Siklus scroll tanpa henti ini menciptakan ketergantungan dan mengikis kemampuan untuk fokus, berpikir mendalam, dan menyelesaikan masalah secara sistematis. Dalam jangka panjang, ini menciptakan generasi yang lebih memilih kenyamanan daripada tantangan, lebih tertarik pada validasi sosial daripada pencapaian nyata, dan lebih mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan.(https://harian.disway.id/read/867637/generasi-z-dan-krisis-makna-hidup-dalam-pusaran-scroll-tak-berujung)

Fenomena ini juga berdampak pada pola hidup pria muda Indonesia yang cenderung mengandalkan warisan atau dukungan orang tua daripada berusaha mandiri. Artikel dari Kompasiana menyoroti bahwa banyak dari mereka merasa cukup dengan pencapaian minimal, selama masih bisa menikmati gaya hidup digital yang menyenangkan (https://www.kompasiana.com/firdaau8537/685b9dcaed64157c4c6b1f56/gen-z-dan-dunia-instan-nyaman-atau-terjebak). Ketika tantangan datang, mereka lebih memilih pelarian melalui hiburan instan daripada menghadapi masalah secara langsung. Ini menciptakan siklus stagnasi yang sulit diputus, karena tidak ada dorongan internal untuk berkembang atau berkontribusi secara sosial.

Maskulinitas di Indonesia telah lama dimaknai secara sempit, sering kali dikaitkan dengan dominasi, kekuasaan, dan ketegaran. Dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, budaya, dan keluarga, pria dituntut untuk tampil kuat, tidak emosional, dan selalu kompetitif. Konsep ini dikenal sebagai hegemonic masculinity, yaitu bentuk maskulinitas dominan yang menetapkan standar ideal tentang bagaimana seharusnya seorang pria bersikap. Dalam praktiknya, maskulinitas semacam ini tidak hanya menekan perempuan, tetapi juga merugikan pria itu sendiri. Mereka yang tidak sesuai dengan standar dominan ini, misalnya pria yang lembut, emosional, atau tidak berkuasa dan sering kali dianggap lemah atau tidak cukup “laki-laki”.

Prof. Nur Wulan dari Universitas Airlangga menyebut bahwa Indonesia sedang mengalami krisis maskulinitas, yang dipicu oleh tekanan ekonomi dan perubahan peran gender(https://www.tempo.co/sains/penelitian-maskulinitas-pada-laki-laki-indonesia-antar-nur-wulan-jadi-guru-besar-di-unair-1183758). Ketika pria tidak lagi menjadi pencari nafkah utama karena kondisi ekonomi yang sulit dan meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja, banyak yang merasa kehilangan jati diri. Mereka tidak lagi bisa menjalankan peran tradisional yang selama ini menjadi sumber identitas dan harga diri. Situasi ini, menurut Wulan, dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga, kriminalitas, dan depresi. Dalam orasi ilmiahnya, ia menekankan bahwa maskulinitas adalah konstruksi sosial yang sangat dipengaruhi oleh konteks budaya, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, perubahan struktur sosial juga menuntut perubahan dalam cara pria memahami dan menjalankan peran mereka.

Krisis ini semakin diperparah oleh fenomena toxic masculinity, yaitu bentuk maskulinitas beracun yang menuntut pria untuk selalu tegar, menolak sisi lembut dalam dirinya, dan menghindari permintaan bantuan. Dalam budaya yang menganggap kekuatan fisik dan ketegaran mental sebagai tolok ukur kejantanan, banyak pria memilih bungkam. Mereka enggan berbagi, bukan karena tidak punya cerita, tetapi karena khawatir dicap lemah, gagal, atau tidak cukup “laki.” Akibatnya, lebih dari 1,4 juta pria Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, namun banyak yang memilih diam karena tekanan budaya. Data dari Kompas menunjukkan bahwa pria mendominasi angka gangguan jiwa di berbagai kelompok aktivitas, termasuk pengangguran dan pekerja aktif.

Tekanan ini membuat pria sulit mengekspresikan emosi secara sehat, hingga akhirnya terjebak dalam kesendirian yang membahayakan. Mereka tidak hanya mengalami depresi dan kecemasan, tetapi juga berisiko tinggi terhadap penyalahgunaan zat, ledakan emosi, dan bahkan bunuh diri. Data dari Polri menunjukkan bahwa 76,94% kasus bunuh diri di Indonesia dilakukan oleh pria, dengan mayoritas pelaku berusia di atas 40 tahun, namun angka yang mengkhawatirkan juga tercatat pada individu di bawah 20 tahun. Ini adalah dampak nyata dari budaya yang menuntut pria untuk menekan emosi dan menghindari peran pengasuhan, yang seharusnya menjadi bagian penting dari maskulinitas yang sehat.(https://radarjogja.jawapos.com/kesehatan/655316371/mengurai-toxic-masculinity-tantangan-kesehatan-mental-pria-di-indonesia)

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membentuk karakter pria yang tangguh, sehat secara emosional, dan bertanggung jawab secara sosial. Fenomena fatherless, rendahnya kemampuan berpikir kritis, dan krisis maskulinitas bukanlah isu terpisah, melainkan benang merah yang saling terkait dan membentuk wajah generasi pria Indonesia hari ini. Ketika pria absen dalam pengasuhan, tidak mampu berpikir mandiri, dan terjebak dalam definisi maskulinitas yang sempit, maka yang lahir bukan hanya individu yang rapuh, tetapi juga masyarakat yang kehilangan arah.

Kita telah melihat bagaimana sistem pendidikan yang menekankan hafalan dan kepatuhan gagal membentuk daya nalar dan keberanian moral. Kita juga menyaksikan bagaimana budaya patriarki dan tekanan sosial membuat pria enggan terlibat dalam pengasuhan, bahkan menolak untuk menunjukkan sisi lembut dalam dirinya. Dan kita tidak bisa menutup mata terhadap jutaan pria yang diam-diam bergulat dengan gangguan mental, karena mereka diajarkan sejak kecil bahwa menangis adalah kelemahan, dan meminta bantuan adalah bentuk kegagalan.

Namun, di balik semua itu, ada harapan. Harapan bahwa kita bisa membentuk ulang narasi tentang apa artinya menjadi pria. Bahwa maskulinitas bukan tentang dominasi, tetapi tentang kepemimpinan yang bijak. Bahwa menjadi ayah bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi hadir secara emosional dan spiritual. Bahwa berpikir kritis bukan ancaman bagi tradisi, tetapi fondasi bagi kemajuan.

Jika kita ingin membangun bangsa yang kuat, maka kita harus mulai dari membangun pria yang sehat secara mental, emosional, dan sosial. Pria yang tidak takut untuk belajar, mencintai, dan berubah. Pria yang mampu menjadi panutan, bukan hanya karena kekuatan fisiknya, tetapi karena kedalaman jiwanya. Maka, mari kita berhenti menertawakan kelemahan, dan mulai merayakan keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya. Mari kita ubah sistem yang membentuk generasi pasif menjadi generasi yang aktif berpikir dan bertindak. Dan mari kita dorong setiap pria Indonesia untuk tidak hanya menjadi “laki-laki,” tetapi menjadi manusia yang utuh, yang hadir, yang peduli, dan yang bertanggung jawab.

Karena masa depan bangsa ini tidak hanya ditentukan oleh teknologi atau ekonomi, tetapi oleh karakter manusia yang mengisinya. Dan karakter itu, dimulai dari rumah, dari sekolah, dan dari cara kita memahami diri kita sendiri.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Pria Indonesia dan Krisis Karakter di Era Modern"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel