Situasi Sosial dan Politik di Nepal: Sebuah Analisis Mendalam Dan Kesamaan Pola Kerusuhan yang Mirip Dengan Indonesia
45News id - Melalui kanal YouTube-nya, Guru Gembul membuka sebuah diskusi yang jarang terdengar di ruang publik Indonesia: situasi sosial dan politik yang tengah bergolak di Nepal. Ia memulai dengan kisah personal, yakni hubungan dengan seorang teman asal Nepal yang menjadi sumber informasi alternatif di tengah minimnya pemberitaan arus utama. Dalam video tersebut, Guru Gembul menampilkan cuplikan demonstrasi yang berlangsung di Kathmandu dan beberapa kota lain, memperlihatkan bentrokan antara aparat dan warga sipil, suasana mencekam, serta kerusakan fasilitas publik. Tayangan itu menjadi pintu masuk bagi penonton untuk menyadari bahwa ada krisis besar yang sedang berlangsung, namun nyaris tak terdengar gaungnya di media internasional.
Teman Nepal yang disebutkan oleh Guru Gembul mengungkapkan bahwa kerusuhan yang terjadi bukanlah insiden kecil atau sporadis, melainkan gelombang protes besar-besaran yang dipicu oleh kebijakan pemerintah yang melarang akses ke 26 platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, YouTube, dan WhatsApp. Kebijakan ini, menurut pemerintah, bertujuan untuk menekan penyebaran informasi palsu dan ujaran kebencian. Namun bagi masyarakat Nepal, terutama generasi muda, larangan tersebut dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan kontrol otoriter terhadap ruang digital. Protes pun meledak, dipimpin oleh kelompok Gen Z yang merasa frustrasi terhadap korupsi, nepotisme, dan ketimpangan sosial yang telah lama mengakar dalam sistem politik Nepal.
Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi kerusuhan besar ketika aparat mulai menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa. Bentrokan berdarah terjadi di depan gedung parlemen, menyebabkan puluhan korban jiwa dan ratusan luka-luka. Bahkan, rumah pribadi Perdana Menteri KP Sharma Oli dan Presiden Ram Chandra Poudel dibakar massa, memaksa keduanya mengundurkan diri dari jabatan mereka. Militer kemudian mengambil alih kendali negara, menutup bandara, dan mengisolasi Nepal dari dunia luar. Dalam kondisi seperti ini, informasi menjadi sangat terbatas. Media lokal dibungkam, akses internet dibatasi, dan media internasional kesulitan meliput secara langsung. Inilah yang dijelaskan oleh teman Nepal Guru Gembul: bahwa pemerintah secara aktif memblokir informasi agar dunia tidak mengetahui betapa gentingnya situasi di dalam negeri.
Sebelum lanjut, Mari kita telusuri dulu sejarahnya lebih dalam untuk menambah wawasan kita. Sejarah politik Nepal adalah kisah panjang tentang perjuangan identitas, kedaulatan, dan transformasi sosial yang berlangsung selama lebih dari dua abad. Nepal sebagai negara modern bermula pada tahun 1768 ketika Raja Prithvi Narayan Shah dari Kerajaan Gorkha berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Himalaya dan mendirikan Kerajaan Nepal. Posisi geografis Nepal yang strategis, terutama sebagai sumber utama air yang mengalir ke dataran India melalui sungai-sungai besar seperti Kosi dan Gandaki, memberikan daya tawar politik yang cukup kuat pada masa itu. Namun, kekuatan ini perlahan terkikis oleh intervensi kekuatan kolonial Inggris yang mulai merambah wilayah utara India pada awal abad ke-19. Setelah kalah dalam Perang Anglo-Nepal tahun 1815, Nepal menjadi protektorat Inggris dan secara resmi merdeka pada tahun 1923.
Intervensi Inggris dan kemudian India pasca-kemerdekaan turut membentuk lanskap politik Nepal. Inggris memaksakan perjanjian yang mengurangi wilayah Nepal dan membatasi kebijakan luar negeri negara tersebut. Setelah kemerdekaan India, pengaruh Delhi terhadap Kathmandu semakin besar, terutama dalam hal perdagangan dan ekonomi. Nepal menjadi sangat bergantung pada India untuk akses ekspor-impor, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya. Ketergantungan ini membuat Nepal rentan terhadap tekanan politik dan ekonomi dari India, yang kadang digunakan sebagai alat diplomasi koersif. Akibatnya, masyarakat Nepal mengalami isolasi ekonomi yang memperlambat perkembangan industri dan memperkuat ketimpangan sosial.
Di tengah keterbatasan tersebut, muncul gerakan-gerakan politik yang menuntut perubahan. Salah satu yang paling berpengaruh adalah Partai Komunis Nepal, yang didirikan oleh mahasiswa Nepal di Kalkuta pada tahun 1949. Gerakan ini lahir dari semangat anti-feodalisme dan anti-imperialisme, serta keinginan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih egaliter. Partai Komunis Nepal mulai mendapatkan dukungan luas dari masyarakat kelas pekerja dan petani yang selama ini terpinggirkan oleh sistem monarki. Pada tahun 1951, terjadi pemberontakan besar terhadap dinasti Rana yang telah lama menguasai pemerintahan secara otoriter. Pemberontakan ini berhasil memulihkan kekuasaan raja, namun tidak serta-merta membawa demokrasi.
Transformasi besar baru terjadi pada tahun 1990, ketika gelombang protes rakyat yang dipimpin oleh berbagai partai politik, termasuk Partai Komunis dan Kongres Nepal, berhasil menggulingkan sistem monarki absolut dan menggantinya dengan monarki konstitusional. Perubahan ini membuka jalan bagi pemilihan umum dan partisipasi politik yang lebih luas. Namun, perjuangan belum selesai. Konflik internal antara faksi-faksi komunis, ketegangan etnis, dan ketidakstabilan pemerintahan terus mewarnai perjalanan Nepal menuju demokrasi yang stabil. Pada akhirnya, pada tahun 2008, monarki resmi dibubarkan dan Nepal menjadi negara republik federal sekuler, menandai babak baru dalam sejarah politiknya.
Struktur pemerintahan Nepal saat ini mencerminkan sebuah sistem demokrasi parlementer yang secara formal menjunjung prinsip representasi rakyat, namun dalam praktiknya banyak dikritik sebagai bentuk oligarki terselubung. Kekuasaan politik terpusat pada segelintir elite partai yang telah mendominasi panggung politik selama beberapa dekade. Tiga partai besar yang menjadi poros utama dalam dinamika kekuasaan adalah Partai Kongres Nepal (berhaluan liberal), Partai Komunis Nepal (Maois), dan Partai Komunis Nepal (Marxis-Leninis Bersatu). Ketiganya memiliki sejarah panjang dalam perjuangan politik, namun kini lebih dikenal karena perebutan kekuasaan dan kompromi pragmatis yang sering kali mengabaikan aspirasi rakyat.
Koalisi pemerintahan saat ini terbentuk antara Partai Kongres Nepal dan Partai Komunis Nepal (Lenin), dipimpin oleh Khadga Prasad Oli yang kembali menjabat sebagai Perdana Menteri untuk keempat kalinya. Koalisi ini lahir dari runtuhnya pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Pushpa Kamal Dahal dari faksi Maois, setelah partai Oli menarik dukungannya dan membentuk aliansi baru dengan Partai Kongres. Meskipun secara matematis koalisi ini memiliki mayoritas di parlemen, banyak pihak menilai bahwa pemerintahan ini tidak mencerminkan kehendak rakyat secara utuh, melainkan hasil dari kompromi elite yang lebih mementingkan stabilitas kekuasaan daripada reformasi struktural.
Di tengah konfigurasi politik yang tampak stabil di permukaan, rakyat Nepal justru semakin menunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan. Korupsi merajalela di berbagai sektor, mulai dari pengadaan proyek infrastruktur hingga distribusi bantuan sosial. Transparansi rendah, dan banyak pejabat tinggi yang terlibat dalam skandal namun tetap bertahan di jabatan mereka berkat perlindungan politik. Ketimpangan sosial semakin melebar, terutama di wilayah pedesaan dan pegunungan yang minim akses terhadap layanan publik. Generasi muda, yang dulu menjadi motor perubahan dalam gerakan anti-monarki dan perang saudara, kini merasa kecewa dan apatis terhadap proses politik yang mereka anggap telah dibajak oleh elite partai.
Gelombang demonstrasi yang mengguncang Nepal pada September 2025 bukanlah sekadar luapan emosi sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan yang telah lama terpendam. Pemicu utamanya adalah keputusan pemerintah untuk menutup akses ke berbagai platform media digital, termasuk Facebook, Instagram, YouTube, dan WhatsApp. Langkah ini diklaim sebagai upaya untuk menekan penyebaran informasi palsu dan ujaran kebencian, namun bagi rakyat Nepal, terutama generasi muda, kebijakan tersebut dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. Di negara yang hampir setengah penduduknya berusia di bawah 40 tahun, media sosial bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga ruang untuk menyuarakan aspirasi dan membangun solidaritas. Maka, ketika ruang itu ditutup, protes pun meledak dengan intensitas yang tak terduga.
Meski pemerintah telah memblokir komunikasi digital, demonstrasi tetap berlanjut. Massa turun ke jalan, menyuarakan kemarahan terhadap korupsi, ketidakadilan, dan stagnasi politik. Namun, di tengah semangat protes damai yang diusung oleh kelompok seperti Hami Nepal, muncul faksi-faksi lain yang menunggangi momentum tersebut untuk agenda yang lebih destruktif. Bentrokan pun tak terhindarkan. Menurut laporan saksi mata dan penyelenggara aksi, kerusuhan mulai terjadi ketika kelompok eksternal dan kader partai politik tertentu bergabung dalam demonstrasi dan memprovokasi aparat keamanan. Tembakan peluru tajam dilepaskan, menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya. Situasi pun berubah dari protes damai menjadi kerusuhan nasional.
Salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai dalang utama di balik eskalasi kerusuhan adalah Pushpa Kamal Dahal, atau yang lebih dikenal sebagai Prachanda. Mantan perdana menteri ini memiliki sejarah panjang dalam memanfaatkan ketegangan sosial untuk kepentingan politik. Ia pernah memimpin pemberontakan Maois yang mengguncang Nepal selama satu dekade, dan kini kembali disebut sebagai aktor yang menggerakkan faksi-faksi radikal dalam demonstrasi terbaru. Rumah pribadi Prachanda bahkan menjadi sasaran amukan massa, menandakan bahwa rakyat tidak lagi melihatnya sebagai simbol revolusi, melainkan sebagai bagian dari elite korup yang harus disingkirkan.
Demonstrasi besar-besaran yang mengguncang Nepal pada tahun 2025 bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Gerakan ini terinspirasi oleh gelombang protes global yang telah mengguncang berbagai negara dalam dekade terakhir. Dari kerusuhan di Tunisia yang memicu Arab Spring, hingga demonstrasi di Chili yang menuntut reformasi sosial, dan krisis politik di Sri Lanka yang menjatuhkan dinasti Rajapaksa, semuanya menjadi referensi dan pembelajaran bagi rakyat Nepal. Bahkan Indonesia, dengan sejarah reformasi dan demonstrasi mahasiswa yang menggulingkan rezim otoriter, menjadi salah satu sumber inspirasi utama. Generasi muda Nepal melihat bahwa perubahan bisa dimulai dari jalanan, dari suara yang bersatu, dan dari keberanian untuk menantang kekuasaan yang korup.
Kesamaan pola dalam demonstrasi ini sangat mencolok. Di banyak negara, pemicu awalnya adalah kebijakan yang dianggap menindas atau tidak adil, seperti kenaikan harga, pembatasan kebebasan, atau korupsi yang merajalela. Di Nepal, larangan terhadap media sosial menjadi titik nyala, namun akar kemarahan jauh lebih dalam. Ketimpangan ekonomi, stagnasi sosial, dan frustrasi terhadap elite politik yang terus berfoya-foya di tengah penderitaan rakyat menjadi bahan bakar utama. Seperti di Sri Lanka, di mana nepotisme dan korupsi melumpuhkan ekonomi, rakyat Nepal pun menyaksikan bagaimana pemimpin mereka hidup dalam kemewahan sementara jutaan warga berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kondisi ekonomi Nepal saat ini sangat memprihatinkan. Sekitar 30% penduduk usia produktif bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah dan Asia Tenggara, karena minimnya peluang kerja di dalam negeri. Remitansi dari para pekerja migran menjadi tulang punggung ekonomi nasional, namun juga mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pembangunan berkelanjutan. Tingkat kemiskinan yang dilaporkan sekitar 20% jelas tidak mencerminkan realitas di lapangan. Seperti halnya di Indonesia, angka resmi sering kali menutupi kenyataan bahwa jutaan orang hidup dalam kondisi rentan, tanpa akses memadai terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Korupsi menjadi pemicu utama kemarahan rakyat. Ketika rakyat harus antre untuk bahan bakar, air bersih, dan layanan kesehatan, para pejabat terlihat menikmati fasilitas mewah, perjalanan luar negeri, dan proyek-proyek yang sarat kepentingan pribadi. Ketidakpuasan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut rasa keadilan yang dilanggar. Rakyat Nepal merasa bahwa suara mereka tidak didengar, bahwa sistem politik telah dibajak oleh segelintir elite yang hanya peduli pada kekuasaan dan keuntungan pribadi. Demonstrasi yang terjadi bukan sekadar protes, tetapi bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas dan menutup ruang partisipasi publik.
Keseluruhan situasi di Nepal menggambarkan kompleksitas politik dan sosial yang dipengaruhi oleh sejarah panjang, intervensi asing, dan kegagalan internal. Dari kerajaan yang dulu kuat, melalui perang saudara dan transisi demokrasi, hingga kini menghadapi krisis legitimasi, Nepal terus berjuang untuk menemukan bentuk pemerintahan yang benar-benar mewakili rakyatnya. Demonstrasi yang terjadi adalah cerminan dari keresahan mendalam terhadap pemerintahan yang ada, dan sekaligus harapan bahwa perubahan masih mungkin terjadi. Di tengah penindasan informasi dan korupsi yang merajalela, rakyat Nepal tetap berusaha mengungkapkan suara mereka karena dalam setiap teriakan di jalanan, tersimpan impian akan masa depan yang lebih adil dan bermartabat.
Apa yang terjadi di Nepal bukan sekadar kisah tentang kerusuhan dan demonstrasi, melainkan cermin yang memantulkan bayangan dari banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketika rakyat Nepal turun ke jalan, dipicu oleh larangan media sosial dan kemarahan terhadap korupsi yang merajalela, kita melihat pola yang sangat familiar: generasi muda yang kecewa, elite politik yang hidup dalam kemewahan, dan sistem pemerintahan yang semakin jauh dari rakyatnya. Demonstrasi itu bukan hanya tentang kebijakan digital, tetapi tentang ketimpangan sosial yang sudah lama dibiarkan tumbuh, tentang pengangguran yang tak tertangani, dan tentang janji-janji reformasi yang tak pernah benar-benar ditepati.
Indonesia, meski berbeda dalam konteks dan skala, memiliki kemiripan dalam dinamika sosial-politik. Kita pernah mengalami masa ketika suara mahasiswa dan rakyat menjadi penentu arah sejarah. Reformasi 1998 adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari keresahan kolektif. Namun, seiring waktu, kita juga menyaksikan bagaimana elite politik bisa kembali membentuk lingkaran kekuasaan yang tertutup, bagaimana angka kemiskinan dan pengangguran sering kali tidak mencerminkan realitas di lapangan, dan bagaimana korupsi tetap menjadi penyakit kronis yang sulit diberantas. Seperti di Nepal, kita pun pernah melihat bagaimana anak-anak pejabat memamerkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan rakyat, memicu rasa ketidakadilan yang mendalam.
Pelajaran dari Nepal adalah bahwa demokrasi bukan sekadar sistem pemilu atau struktur pemerintahan, tetapi tentang partisipasi aktif rakyat dan transparansi kekuasaan. Ketika ruang digital dibungkam, ketika kritik dianggap ancaman, dan ketika kekuasaan tidak lagi berpihak pada rakyat, maka demonstrasi menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa. Kita harus belajar bahwa menjaga kebebasan berekspresi, membuka ruang dialog, dan menegakkan keadilan sosial bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Karena jika tidak, sejarah akan berulang dan suara rakyat akan kembali menggema di jalanan.
Hikmahnya, kita di Indonesia harus terus waspada dan kritis. Jangan sampai kita terjebak dalam ilusi stabilitas yang menutupi ketimpangan. Jangan biarkan demokrasi hanya menjadi ritual lima tahunan tanpa makna. Dan yang paling penting, jangan biarkan suara rakyat dibungkam oleh kenyamanan segelintir orang. Nepal telah menunjukkan bahwa ketika harapan hilang, keberanian akan mengambil alih. Kita bisa belajar dari mereka, agar tidak perlu mengalami hal serupa untuk menyadari pentingnya keadilan dan integritas dalam bernegara.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Situasi Sosial dan Politik di Nepal: Sebuah Analisis Mendalam Dan Kesamaan Pola Kerusuhan yang Mirip Dengan Indonesia"
Posting Komentar