-->
Loading...

Antara Pewaris dan Perintis: Kontroversi Anak Umur 10 Tahun Ryu Kintaro di Era Digital

Ryu Kitaro

45news.id - Fenomena viral Ryu Kintaro sebagai “bocil perintis” telah menjadi sorotan tajam di media sosial Indonesia, memicu perdebatan luas tentang autentisitas perjuangan, privilese, dan etika representasi anak dalam ruang publik digital. Ryu, yang baru berusia 10 tahun, dikenal sebagai anak dari Christopher Sebastian seorang CEO Makko Group, sebuah konglomerasi bisnis otomotif dan kuliner. Ia aktif sebagai kreator konten di YouTube dan TikTok, serta menjalankan beberapa lini usaha seperti ayam krispi gerobakan dan jamu kekinian bernama Tjap Nyonya Enak, yang disebut-sebut menghasilkan omzet hingga Rp 1 miliar per tahun. Dalam berbagai kontennya, Ryu kerap membagikan motivasi bisnis dan narasi perjuangan, termasuk pernyataan bahwa hidup sebagai perintis itu menyenangkan karena “tidak ada yang menunjukkan arah dan tidak ada yang menjamin hasil”.

Namun, narasi tersebut justru menjadi titik awal kontroversi. Salah satu video yang paling memicu kritik adalah ketika Ryu terlihat berjualan susu dan makanan dari bagasi mobil Lexus milik keluarganya, yang bernilai miliaran rupiah. Kontras antara simbol kemewahan dan klaim perjuangan ini dianggap oleh banyak netizen sebagai bentuk glorifikasi privilese. Mereka menilai bahwa perjuangan Ryu tidak bisa disamakan dengan masyarakat umum yang merintis usaha dari nol tanpa dukungan modal, koneksi, atau fasilitas elite. Komentar-komentar pedas pun bermunculan, seperti “Coba kalau dia lahir miskin!” atau “Ya iyalah, modalnya banyak, anak siapa dulu,” yang mencerminkan kekecewaan publik terhadap narasi yang dianggap tidak empatik.

Lebih jauh, kritik juga diarahkan kepada orang tua Ryu, terutama sang ayah, yang dinilai terlalu mendorong anaknya tampil dewasa dan menjadi corong ambisi kapitalistik. Beberapa pengamat parenting dan psikolog anak menyuarakan kekhawatiran bahwa Ryu sedang menjalani masa kecil yang terlalu dibebani ekspektasi dewasa, dan bahwa konten-konten motivasi yang ia sampaikan belum tentu lahir dari pemahaman pribadi, melainkan hasil konstruksi narasi keluarga. Di sisi lain, ada pula yang memuji keberanian dan kedisiplinan Ryu dalam membangun bisnis sejak dini, meski tetap mempertanyakan konteks sosial yang melingkupinya.

Hal ini membuka ruang refleksi yang lebih luas tentang bagaimana media digital membentuk persepsi publik terhadap anak-anak, perjuangan, dan kesuksesan. Dalam masyarakat yang tengah bergulat dengan ketimpangan ekonomi dan akses pendidikan, narasi seperti yang dibawa Ryu bisa menjadi pisau bermata dua yang menginspirasi sebagian, namun menyakiti yang lain. Ia menjadi simbol dari benturan antara idealisme anak, privilese keluarga, dan ekspektasi sosial yang menuntut autentisitas. Fenomena ini juga menantang kita untuk meninjau ulang bagaimana nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, dan empati bisa tetap dijaga dalam membentuk karakter anak di era digital yang serba visual dan viral.

Kontroversi seputar Ryu Kintaro telah memicu diskusi luas di kalangan publik, terutama terkait etika parenting dan representasi anak dalam media digital. Banyak netizen menilai bahwa pernyataan-pernyataan Ryu, seperti “hidup sebagai perintis itu seru karena tidak ada yang menunjukkan arah dan tidak ada yang menjamin hasil,” terdengar tidak pantas keluar dari anak seusianya. Kritik ini bukan hanya menyasar isi kontennya, tetapi juga menyentuh aspek yang lebih dalam: siapa yang membentuk narasi tersebut dan untuk tujuan apa.

Sebagian besar komentar publik menyoroti bahwa Ryu berasal dari keluarga konglomerat, sehingga narasi perjuangan yang ia sampaikan dianggap tidak autentik. Netizen menyebut bahwa perjuangan Ryu tidak bisa disamakan dengan mereka yang benar-benar merintis dari nol tanpa modal atau koneksi. Bahkan, beberapa menyebut kontennya merendahkan mereka yang masih berjuang, karena terkesan menyindir ketidakmampuan orang lain untuk sukses. Di tengah gelombang kritik ini, perhatian pun beralih kepada orang tuanya, terutama sang ayah, yang dianggap membentuk citra Ryu demi strategi konten dan popularitas, bukan murni edukasi.

Dalam konteks ini, sejumlah psikolog dan pengamat parenting turut angkat bicara. Salah satunya adalah dr. Intan Mardiani, M.Psi, seorang psikolog anak dan keluarga, yang menekankan pentingnya edukasi empatik dalam mendampingi anak yang aktif di ruang publik. Ia menyatakan bahwa anak-anak publik figur memiliki panggung yang luas untuk bersuara, namun orang tua harus memastikan bahwa setiap ucapan anak di ruang publik mempertimbangkan konteks sosial dan dampaknya. Dia juga mengungkapkan bahwa anak diajarkan untuk tetap rendah hati meski berada di posisi privilese dan penting untuk tahu kapan menyampaikan opini dan bagaimana cara menyampaikannya.

Apa yang disampaikan oleh dr. Intan Mardiani, M.PSi itu merupakan pertimbangan yang logis. Hal ini juga untuk menghindarkan dari anggapan mengeksploitasi anak melalui “ragebait” konten yang sengaja dibuat untuk memicu emosi demi viralitas. 

Kontroversi ini membuka ruang refleksi yang lebih luas tentang bagaimana anak-anak diposisikan dalam era digital. Di satu sisi, mereka bisa menjadi inspirasi dan simbol semangat. Namun di sisi lain, mereka juga rentan terhadap tekanan sosial, ekspektasi publik, dan eksploitasi narasi. Dalam kasus Ryu, suara anak menjadi medan tarik-menarik antara privilese, pencitraan visual, dan tuntutan sosial yang sering kali tidak memberi ruang bagi anak untuk tumbuh secara alami dan empatik.


Guru Gembul

Guru Gembul melalui kanal YouTube-nya Gembulikum (https://youtu.be/dRMp5MVWDyg?si=CZ2Q3c3TSNWA_Yuy) dikenal sebagai komentator sosial yang tajam dan tidak segan mengkritisi fenomena viral, termasuk kasus Ryu Kintaro. Dalam salah satu videonya yang membahas kontroversi tersebut, Guru Gembul menyampaikan pandangan yang cukup kritis namun tetap bernuansa edukatif.

Mengangkat video PEWARIS VS PERINTIS dari kanal Gembulikum. Setelah di telusuri, dalam video tersebut Guru Gembul tidak secara eksplisit menyebut Ryu Kintaro atau mengkritik narasi anak-anak bicara bisnis. Sebaliknya, ia lebih fokus pada pembahasan filosofis tentang perbedaan antara “pewaris” dan “perintis” dalam konteks sosial dan ekonomi.

Dari sudut pandang Gembul, tampaknya yang perlu dikritisi bukan si anaknya, melainkan bagaimana wacana itu diangkat dan disebarkan secara masif, seolah-olah orisinil dan visioner. Ia memperlihatkan bahwa ketika anak-anak mulai mengulang kutipan dari buku seperti Rich Dad Poor Dad atau The Psychology of Money, kita perlu bertanya: apakah mereka sedang belajar, atau sedang dikonstruksi sebagai simbol perjuangan palsu yang membelokkan makna kerja keras dan kedewasaan?

Buku Rich Dad Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki dan The Psychology of Money karya Morgan Housel adalah dua teks populer yang sering menjadi rujukan dalam konten motivasi finansial, termasuk yang belakangan ini dikutip oleh figur-figur muda seperti Ryu Kintaro. Keduanya menawarkan perspektif yang kuat tentang kekayaan, kerja keras, dan cara berpikir yang dianggap “berbeda” dari arus utama pendidikan formal.

Dalam Rich Dad Poor Dad, Kiyosaki membandingkan dua figur ayah: satu yang kaya dan satu yang miskin, untuk menunjukkan perbedaan pola pikir tentang uang. Ayah miskin percaya pada pendidikan formal dan keamanan kerja, sementara ayah kaya menekankan pentingnya literasi keuangan dan membangun aset. Salah satu kutipan paling terkenal dari buku ini adalah: “The poor and the middle class work for money. The rich have money work for them.”. Kutipan ini sering digunakan untuk mendorong pembaca agar tidak hanya bergantung pada gaji, tetapi juga membangun sumber penghasilan pasif melalui investasi atau bisnis. Kiyosaki juga menulis, “The single most powerful asset we all have is our mind. If it is trained well, it can create enormous wealth.”Hal ini menjadi sebuah gagasan yang menekankan pentingnya pola pikir sebagai fondasi kekayaan.

Sementara itu, The Psychology of Money oleh Morgan Housel lebih menekankan pada aspek perilaku dan emosi dalam pengelolaan keuangan. Housel berargumen bahwa kesuksesan finansial bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana seseorang bersikap terhadap uang. Salah satu kutipan penting dari buku ini adalah: “Financial success is not a hard science. It’s a soft skill, where how you behave is more important than what you know.”. Ia juga menulis, “Luck and risk are siblings. They are both the reality that every outcome in life is guided by forces other than individual effort.”Hal ini  Menjadi sebuah pengingat bahwa keberhasilan tidak selalu lahir dari kerja keras semata, tetapi juga dari faktor eksternal yang tak bisa dikendalikan.

Kedua buku ini, meski sarat wawasan, bisa menjadi pedang bermata dua ketika dikutip secara literal oleh anak-anak yang belum memiliki pengalaman hidup yang cukup untuk memahami konteksnya.

Guru Gembul mengajak penonton untuk merenungkan bagaimana posisi seseorang . Apakah sebagai pewaris kekayaan, jabatan, atau pengaruh yang berbeda secara mendasar dari mereka yang merintis dari nol. Ia menekankan bahwa menjadi perintis bukan sekadar soal kerja keras, tapi juga soal membangun nilai dan identitas yang tidak diwariskan. Dalam konteks ini, ia tampak lebih mengajak refleksi daripada mengkritik individu atau fenomena viral tertentu. 

Maka, di tengah riuh rendah kritik dan pujian terhadap sosok Ryu Kintaro, satu hal yang tak bisa diabaikan adalah daya tarik human interest yang melekat pada dirinya. Ia bukan hanya anak kecil yang mengutip kalimat besar dari buku populer, tetapi juga cermin dari zaman yang sedang menggandrungi narasi-narasi sukses instan dan mentalitas entrepreneur muda. Dalam dirinya, kita melihat bukan hanya potensi, tapi juga tantangan: bagaimana anak-anak memahami makna keberhasilan di tengah derasnya arus informasi dan ekspektasi sosial.

Namun, yang patut dijaga adalah cara kita merespons fenomena semacam ini. Alih-alih menyanjung berlebihan atau mengolok-olok, kita bisa mengambil sikap yang lebih bijaksana dengan cara tetap memberikan ruang bagi anak-anak untuk tumbuh, bereksperimen, dan belajar tanpa dibebani simbolisme yang mereka sendiri belum pahami sepenuhnya. Ryu bisa jadi contoh bagaimana anak-anak belajar meniru dan menyampaikan gagasan; tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita sebagai orang dewasa membingkai ulang proses itu menjadi pembelajaran yang autentik, reflektif, dan manusiawi.

Sebab di balik popularitas dan kutipan-kutipan besar, Ryu adalah seorang anak yang sedang mencari makna dalam dunia yang sering kali lebih kompleks dari yang bisa ia cerna. Dan dalam pencarian itu, ia mengingatkan kita bahwa anak-anak bangsa perlu lebih dari sekadar narasi motivasi; mereka perlu pendampingan, ruang bertanya, dan kebijaksanaan kolektif untuk tumbuh menjadi individu yang utuh dan bukan hanya simbol. (Js)


Belum ada Komentar untuk "Antara Pewaris dan Perintis: Kontroversi Anak Umur 10 Tahun Ryu Kintaro di Era Digital"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel