-->
Loading...

Tren Viral dalam Pendidikan: Dampak Negatif Menuju Masa Depan LC jadi masuk Akal


45News id - Fenomena viral di media sosial, khususnya TikTok, telah merambah dunia pendidikan dengan cara yang semakin mengundang perdebatan. Salah satu tren yang mencuat adalah video anak-anak sekolah yang diajarkan tarian oleh guru mereka, lalu dipublikasikan secara luas untuk mengejar popularitas daring. Tarian seperti “Tabola Bale” dan momen perpisahan siswa SD yang diwarnai dengan joget TikTok telah menjadi sorotan publik, bukan karena nilai seni atau budaya yang ditampilkan, melainkan karena gerakan yang dianggap tidak sesuai dengan usia anak-anak dan terlalu dewasa untuk konteks pendidikan. Dalam banyak kasus, guru bahkan menjadi pengarah utama dalam produksi konten ini, seolah-olah peran mereka telah bergeser dari pendidik menjadi sutradara viralitas.

Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang arah pendidikan saat ini. Ketika sekolah, yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter dan pengembangan intelektual, justru menjadi panggung untuk mengejar likes dan views, maka pertanyaan besar tentang kualitas pendidikan pun tak terelakkan. Apakah kurikulum dan nilai-nilai moral telah dikalahkan oleh algoritma media sosial? Apakah guru kini lebih sibuk mengatur koreografi daripada membimbing siswa memahami nilai kejujuran, kerja keras, dan empati? Ketika tarian yang tidak memiliki nilai edukatif menjadi fokus utama kegiatan sekolah, maka pendidikan kehilangan substansinya.

Kritik terhadap praktik ini semakin tajam ketika melihat dampaknya terhadap siswa. Anak-anak yang seharusnya dibimbing untuk mengenali potensi diri dan membangun karakter positif justru diarahkan untuk menjadi ikon viral yang instan. Mereka belajar bahwa pengakuan publik lebih penting daripada proses belajar, bahwa popularitas lebih bernilai daripada integritas. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak persepsi mereka tentang makna pendidikan dan mengaburkan batas antara hiburan dan pembelajaran. Guru, yang seharusnya menjadi teladan moral dan intelektual, berisiko kehilangan otoritasnya ketika lebih dikenal sebagai kreator konten daripada pendidik.

Pengajaran yang tidak bermanfaat, apalagi yang mengandung unsur eksploitasi atau ketidaksesuaian usia, bukan hanya tidak mendidik namun ia bisa merusak. Anak-anak yang terbiasa tampil dengan gaya dewasa dalam konteks yang tidak tepat dapat mengalami distorsi identitas dan kesulitan memahami batasan sosial. Pendidikan bukanlah panggung hiburan, melainkan proses panjang yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan tanggung jawab. Ketika guru dan institusi pendidikan lebih memilih jalan pintas viralitas, maka mereka telah mengabaikan tugas utama mereka: membentuk manusia yang utuh, bukan sekadar figur yang viral sesaat.

Reaksi publik terhadap video viral yang menampilkan anak-anak sekolah menari dengan gaya yang dianggap tidak sesuai usia mereka, menuai gelombang kritik tajam dari netizen. Komentar-komentar yang membanjiri media sosial bukan sekadar ekspresi ketidaksetujuan, melainkan cerminan kekhawatiran mendalam tentang arah pendidikan di Indonesia. Banyak yang mempertanyakan, apakah sekolah masih menjadi tempat belajar yang aman dan bermartabat, atau telah berubah menjadi panggung hiburan yang mengejar sensasi sesaat. Ungkapan seperti “Guru kok ngajarin joget, bukan ngajarin akhlak” atau “Sekolah bukan tempat cari viral” menjadi suara-suara yang menggugah kesadaran kolektif masyarakat.

Kritik ini bukan ditujukan kepada anak-anak yang menari, melainkan kepada sistem dan metode pengajaran yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Anak-anak adalah cerminan dari lingkungan yang membentuk mereka. Ketika guru, sebagai figur otoritatif dan panutan, mengarahkan siswa untuk tampil dalam konten yang lebih mengutamakan hiburan daripada nilai edukatif, maka tanggung jawab moral terletak pada pendidik dan institusi. Netizen menyadari bahwa anak-anak tidak bersalah dalam hal ini; mereka hanya mengikuti arahan orang dewasa yang seharusnya membimbing mereka ke arah yang benar.

Prof. Yohanes Surya bersama 3 Siswa didikannya

Dalam sorotan tajam terhadap kondisi pendidikan saat ini, pernyataan Prof. Yohanes Surya menjadi penyejuk sekaligus pengingat yang menggugah. “Tidak ada anak yang bodoh,” tegasnya, sebuah kalimat yang bukan sekadar motivasi, melainkan hasil dari pengalaman empiris yang mendalam. Prof. Yohanes telah membuktikan bahwa anak-anak yang dianggap tidak mampu, bahkan oleh lingkungan mereka sendiri, bisa berprestasi luar biasa jika diberi kesempatan belajar dengan metode yang tepat. Ia pernah meminta dicarikan anak-anak “paling bodoh” di Papua mereka adalah anak-anak yang bahkan belum bisa menghitung 2+2—dan dalam waktu kurang dari dua tahun, mereka berhasil meraih medali dalam ajang Olimpiade Sains Asia. Ini bukan keajaiban, melainkan hasil dari pendekatan pendidikan yang memanusiakan dan memahami cara belajar anak.

Kisah tersebut menjadi bukti bahwa potensi anak bukan ditentukan oleh latar belakang atau kecerdasan bawaan, melainkan oleh bagaimana mereka diajar dan siapa yang mengajar. Sayangnya, metode pengajaran saat ini justru menunjukkan pergeseran yang mengkhawatirkan. Dari yang semula menekankan pemahaman dan eksplorasi, kini bergeser ke arah penghafalan dan pencapaian nilai semata. Guru dahulu dikenal sebagai sosok yang sabar, penuh dedikasi, dan berusaha memahami karakter setiap siswa. Mereka mengajar dengan hati, bukan hanya dengan buku teks. Sementara itu, guru masa kini malah terjebak dalam tekanan administratif dan tuntutan kurikulum yang kaku dan sering kali kehilangan ruang untuk berinovasi dan membangun hubungan yang bermakna dengan siswa.

Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan pembebasan justru menjadi beban yang menekan. Anak-anak tidak lagi belajar untuk memahami, melainkan untuk lulus ujian. Mereka tidak lagi diajak berpikir kritis, melainkan diminta menghafal jawaban. Ketika sistem pendidikan gagal melihat anak sebagai individu yang unik, maka kita sedang menciptakan generasi yang kehilangan arah dan makna belajar.

Di tengah derasnya arus viralitas yang menyusup ke ruang-ruang pendidikan, muncul gelombang skeptisisme terhadap efektivitas sistem pendidikan saat ini. Banyak pihak mulai mempertanyakan: apakah sekolah masih menjadi tempat untuk menumbuhkan pemahaman dan karakter, atau telah bergeser menjadi panggung pencitraan instan? Ketika konten viral lebih dihargai daripada proses belajar yang bermakna, maka pendidikan kehilangan arah dan esensinya. Skeptisisme ini bukan sekadar keluhan, melainkan refleksi dari kekecewaan yang mendalam terhadap sistem yang seharusnya menjadi fondasi masa depan bangsa.

Dalam kondisi seperti ini, penting untuk mengembalikan semangat belajar yang sejati. Yakni dorongan untuk memahami, bukan sekadar menghafal. Siswa perlu didorong untuk aktif bertanya, untuk merasa aman ketika mereka tidak paham, dan untuk percaya bahwa kebingungan adalah bagian dari proses belajar. Sayangnya, budaya bertanya sering kali terpinggirkan oleh tekanan nilai dan standar ujian. Padahal, pertanyaan adalah jendela menuju pemahaman yang lebih dalam. Guru seharusnya menjadi fasilitator yang membuka ruang diskusi, bukan hanya penyampai materi yang harus dihafal.

Refleksi ini mengungkapkan kekhawatiran yang nyata: bahwa pendidikan kita sedang kehilangan makna. Ketika viralitas menjadi tujuan, maka nilai-nilai seperti integritas, empati, dan daya pikir kritis terancam tergeser. Kita membutuhkan perubahan yang mendasar dalam metode pengajaran dan bukan sekadar revisi kurikulum, tetapi perubahan paradigma. Pendidikan harus kembali menjadi proses yang membebaskan, yang membentuk manusia seutuhnya, bukan hanya pencetak nilai atau pencari popularitas.

Harapan itu masih ada. Ia terletak pada guru-guru yang berani melawan arus, pada sekolah-sekolah yang memilih mendidik daripada menghibur, dan pada masyarakat yang sadar bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan hari ini. Mari kita jaga agar ruang kelas tetap menjadi tempat tumbuhnya pemahaman, bukan panggung viralitas. Karena pendidikan yang bermakna bukanlah yang paling banyak ditonton, melainkan yang paling dalam membekas dalam jiwa.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Tren Viral dalam Pendidikan: Dampak Negatif Menuju Masa Depan LC jadi masuk Akal"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel