Generasi Alpha itu sering membuat Kesal?
45news id - Generasi Alpha, yang lahir antara tahun 2010 hingga 2025, merupakan generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam era digital. Mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga bagian dari ekosistem digital itu sendiri. Sejak usia dini, anak-anak dari generasi ini telah terbiasa dengan perangkat pintar, kecerdasan buatan, dan konektivitas internet yang tak terbatas. Hal ini menjadikan mereka sebagai digital natives sejati, yang memiliki kemampuan intuitif dalam mengoperasikan teknologi dan menyerap informasi dengan kecepatan luar biasa. Menurut Irvan Usman, tenaga edukatif dari Universitas Negeri Gorontalo, “Generasi Alpha tumbuh di tengah revolusi industri keempat, sebuah era yang ditandai oleh otomatisasi, kecerdasan buatan, dan transformasi digital yang masif”.
Kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh Generasi Alpha terlihat dari banyaknya anak-anak yang sudah mampu menciptakan konten digital, menjadi programmer, bahkan editor video sejak usia belia. Mereka tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga produsen yang aktif. Platform seperti YouTube dan TikTok menjadi ruang ekspresi dan eksplorasi kreativitas mereka. Fenomena ini menunjukkan pergeseran besar dalam cara anak-anak belajar dan berinteraksi dengan dunia. Mereka memiliki akses luas terhadap informasi dan sumber daya yang memungkinkan mereka untuk berkembang lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, di balik prestasi gemilang ini, terdapat tantangan besar yang mengintai.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Generasi Alpha adalah fenomena yang dikenal sebagai “brain rot”, yaitu dampak negatif dari paparan konten digital yang tidak sesuai usia. Anak-anak kini lebih cepat terpapar pada kekerasan, bahasa kasar, dan perilaku menyimpang melalui media sosial dan platform hiburan. Studi dari Britopian (2024) menunjukkan bahwa ketergantungan pada perangkat digital dapat menghambat perkembangan sosial dan emosional anak-anak Gen Alpha, yang lebih nyaman dengan interaksi virtual daripada interaksi langsung. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah perilaku dan kurangnya keterampilan sosial yang esensial dalam kehidupan nyata.
Penyebab utama dari paparan konten negatif ini adalah kurangnya pengawasan dari orang tua. Banyak orang tua yang memberikan gadget kepada anak-anak sebagai cara untuk menenangkan mereka, tanpa batasan waktu atau kontrol terhadap konten yang dikonsumsi. Padahal, tindakan ini justru membuka pintu bagi anak-anak untuk mengakses informasi yang belum tentu sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Konten yang berlabel “untuk anak-anak” sering kali mengandung unsur kekerasan atau bahasa yang tidak pantas, yang dapat merusak pola pikir dan nilai-nilai yang sedang dibentuk dalam diri anak.
Dalam konteks ini, peran orang tua menjadi sangat krusial. Mereka harus memahami kapan dan bagaimana memberikan akses teknologi kepada anak-anak. Pengawasan aktif dan pendidikan digital menjadi kunci untuk memastikan bahwa anak-anak menggunakan teknologi secara sehat dan produktif. Michel Foucault, dalam konsep episteme-nya, menekankan pentingnya struktur pengetahuan dominan dalam membentuk persepsi dan interaksi sosial. Dalam hal ini, orang tua dan pendidik harus menjadi agen perubahan yang membentuk struktur pengetahuan positif bagi Generasi Alpha, agar mereka tidak terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan.
Selain orang tua, generasi yang lebih tua secara umum memiliki tanggung jawab untuk membimbing Generasi Alpha. Mereka harus menjadi teladan dan pembimbing dalam menghadapi dunia digital yang kompleks. Kesadaran sosial yang tinggi di kalangan Gen Z dan Gen Alpha, seperti keterlibatan dalam gerakan sosial dan kampanye lingkungan, menunjukkan bahwa mereka memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Namun, potensi ini harus diarahkan dengan bijak agar tidak terdistorsi oleh informasi yang tidak akurat atau manipulatif. Menurut McKinsey & Company (2024), paparan informasi yang luas melalui media digital membentuk nilai-nilai dan harapan generasi muda terhadap tanggung jawab sosial dan keberlanjutan.
Diskusi dan interaksi antar generasi menjadi penting untuk menciptakan pemahaman bersama. Masyarakat perlu membuka ruang dialog yang inklusif, di mana anak-anak dapat menyuarakan pendapat mereka dan orang dewasa dapat memberikan arahan yang konstruktif. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang sehat dan mendukung perkembangan anak-anak secara holistik. Generasi Alpha bukan hanya tantangan, tetapi juga kesempatan besar bagi masyarakat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik melalui pendidikan, teknologi, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Generasi Alpha adalah generasi yang penuh potensi dan tantangan. Mereka memiliki akses yang lebih besar untuk belajar dan berprestasi, namun juga menghadapi risiko signifikan akibat paparan teknologi yang tidak terkontrol. Penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat luas untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan pengawasan, agar anak-anak dapat tumbuh dengan baik di era informasi yang kompleks ini. Dengan pendekatan yang bijak dan kolaboratif, kita dapat memastikan bahwa Generasi Alpha menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Generasi Alpha itu sering membuat Kesal?"
Posting Komentar