-->
Loading...

Bocah Cerdas yang Bongkar Mitos Hantu Lewat Sains

SOSOK ALFARIZI - Lewat kanal YouTube dan akun media sosial bertajuk Gen Alfarizi, mereka menyajikan konten unik berupa penelusuran tempat angker di malam hari, termasuk area pemakaman, dengan pendekatan ilmiah dan edukatif. 

45news.id - Pada pertengahan tahun 2025 ini, di tengah riuhnya konten mistis yang semakin merajalela di media sosial Indonesia, muncul dua sosok muda yang menghadirkan angin segar dalam pendekatan terhadap dunia supranatural. Gen Alfarizi, seorang anak yang kritis dan penuh rasa ingin tahu, bersama adik perempuannya Shafiya, meluncurkan sebuah kanal YouTube dan akun media sosial yang diberi nama “Gen Alfarizi.” Dengan gaya yang ramah namun tajam secara intelektual, mereka mengunjungi berbagai lokasi yang dikenal angker seperti kuburan tua, goa gelap, hingga kota gaib Wentira yang lekat dengan legenda urban. Namun, berbeda dari konten mistis yang biasanya mengandalkan sensasi dan ketakutan, duo ini justru membongkar mitos-mitos hantu lewat pendekatan ilmiah dan psikologis. Mereka mengajak penonton untuk memahami fenomena mistis dari sudut pandang logika, seperti pengaruh kondisi mental, persepsi manusia terhadap ruang gelap, dan efek sugesi kolektif dalam menciptakan narasi horor. Konten mereka bukan hanya membantah kepercayaan tak berdasar, tetapi juga menjadi sarana edukasi yang menginspirasi generasi muda untuk berpikir kritis, mengolah rasa takut menjadi rasa ingin tahu, dan melihat dunia gaib sebagai cermin budaya, bukan ancaman. Di era digital yang sarat dengan informasi viral, Gen dan Shafiya menawarkan sebuah narasi tandingan yang tidak hanya berani, tetapi juga mendidik, memperkaya diskursus publik tentang mistisisme dan ilmu pengetahuan.

Salah satu video viralnya memperlihatkan Alfarizi duduk santai di tengah lingkungan yang oleh kebanyakan orang dianggap menyeramkandi kuburan tua pada malam hari. Namun alih-alih menampilkan ketegangan dramatis atau efek supranatural yang menakutkan, ia justru menyantap makanan ringan sambil menjelaskan dengan santai bahwa rasa takut terhadap hantu tidak bersumber dari makhluk gaib, melainkan dari kondisi psikologis dan evolusioner manusia. Ia mengurai bahwa kegelapan menciptakan keterbatasan visual, sehingga otak manusia, dalam upaya melindungi diri, mengaktifkan imajinasi sebagai respon terhadap ancaman yang tidak terlihat. Sosok-sosok gaib yang seolah muncul dalam benak, menurut Alfarizi, bukanlah entitas mistis nyata melainkan proyeksi mental yang muncul dari kecemasan dan keterbatasan inderawi. Narasi ini bukan hanya memberi rasa aman, tapi juga membangun kesadaran baru bahwa ketakutan dapat dijinakkan lewat akal dan pengetahuan.

Dalam sejumlah kontennya, Alfarizi juga dengan berani mengkritik konten-konten mistis yang ia anggap manipulatif, terutama yang memanfaatkan rasa takut demi kepentingan komersial atau eksistensi digital. Ia melontarkan slogan tajam seperti “STOP PEMBOHONGAN BERKEDOK MISTIS DAN SUPRANATURAL,” sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik eksploitasi narasi horor tanpa dasar ilmiah. Di balik slogan tersebut, tersirat ajakan untuk kembali kepada rasionalitas dan kejujuran dalam menyajikan konten. Ia pun mengenalkan istilah satir seperti “cocoklogi” dan “maksalogi” kombinasi antara ‘cocok-cocokan’ dan ‘akal-akalan’ untuk menyindir mereka yang mengaburkan fakta demi sensasi. Istilah ini bukan sekadar humor, tapi bagian dari strategi retoris untuk membongkar konstruksi budaya yang mempertahankan mitos tanpa kritik. Lewat pendekatan ini, Alfarizi bukan hanya tampil sebagai konten kreator, tapi juga sebagai pemikir muda yang mengajak generasi Alpha untuk menggunakan akal sehat dalam mengonsumsi informasi. Ia menjadikan ketakutan sebagai ruang edukatif, bukan komoditas hiburan, dan dalam prosesnya, membangun sebuah gerakan kecil yang memperjuangkan nalar di tengah arus mistisisme digital.

Istilah “neurosaint” yang diangkat oleh Gen Alfarizi adalah sebuah pendekatan naratif yang menggabungkan kekuatan logika ilmiah dan intuisi spiritual. Neurosaint bukan sekadar pencari fakta, tetapi simbol dari generasi yang berani mempertanyakan mitos dan menghadirkan penjelasan rasional terhadap hal-hal yang selama ini dianggap mistis. Lewat sudut pandang neurosains, fenomena seperti rasa takut, merinding, atau “melihat sosok gaib” dijelaskan sebagai respons biologis dari sistem saraf dan otak manusia bukan gangguan supranatural. Neurosaint hadir sebagai sosok yang tetap terbuka terhadap spiritualitas, tetapi menolak tunduk pada dogma yang tak berbasis ilmu. Ia adalah pencari makna, pemurni persepsi, dan penjaga akal sehat di tengah hiruk pikuk mitos yang berkembang dalam masyarakat. Dalam dunia branding dan narasi digital, konsep ini menawarkan landasan yang kuat untuk membangun citra yang berani, kritis, namun tetap selaras dengan nilai-nilai spiritual dan estetika yang bermakna.

Ketika seseorang memasuki ruang yang dianggap angker, tubuhnya merespons bukan karena makhluk gaib, melainkan karena mekanisme biologis yang tunduk pada hukum fisika. Melalui pendekatan fisioanalisa, tubuh dipahami sebagai sistem yang merespons ketegangan dan ancaman secara natural oleh otot mengencang, postur menunduk, pernapasan dangkal, dan gaya gravitasi tidak terbagi merata. Ketakutan bukan berasal dari jin atau entitas supranatural, tetapi dari kerja amygdala yang menyalakan alarm terhadap persepsi ancaman. Ilusi yang dirasakan bukan hanya visual seperti pareidolia yang membuat otak melihat sosok di balik bayangan tetapi juga postural, ketika tubuh kehilangan keseimbangan dan sensasi menjadi tidak stabil. Narasi ini merombak cara kita memandang mistisisme dengan landasan ilmiah, tanpa menafikan spiritualitas, melainkan memurnikannya dari mitos. Dalam konteks ini, ruang “angker” adalah laboratorium dari interaksi gaya, bukan altar dari energi tak kasat mata. Dan jalan penyembuhan bukan ruqyah semata, tapi melalui pendekatan terapeutik yang melibatkan stimulasi syaraf, latihan postural, dan pemahaman tubuh sebagai entitas yang tunduk pada hukum alam.


Gen Alfarizi dan Ferry irwandi dalam Channel youtube nya Bernama Malaka

Keberanian dan Kecerdasan Gen Alfarizi Mengundang Perhatian dari Youtuber Intelek seperti Ferry Irwandi. Interaksi antara Gen Alfarizi dan Ferry Irwandi menjadi titik penting dalam validasi gerakan ini. Ferry, seorang konten kreator dan aktivis digital yang dikenal dengan pemikiran kritis dan edukatif, menyebut konten Alfarizi sebagai “angin segar” bagi generasi muda. Pujian ini bukan sekadar apresiasi personal, melainkan pengakuan terhadap keberanian intelektual yang ditunjukkan oleh anak-anak dalam menghadapi dominasi logika mistika. Dalam salah satu video kolaboratif mereka, Ferry bahkan memberikan nasihat langsung kepada Alfarizi tentang pentingnya berpikir kritis dan membangun masa depan dengan fondasi nalar yang kuat. Ia melihat Alfarizi sebagai representasi dari generasi Alpha yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga berani mempertanyakan narasi yang sudah mapan.

Neurosains menjadi landasan penting dalam konten Gen Alfarizi. Mereka menjelaskan bahwa rasa takut terhadap hantu bukan berasal dari entitas gaib, melainkan dari kerja sistem saraf khususnya amygdala, bagian otak yang memproses emosi dan ancaman. Ketika berada di tempat gelap, otak manusia mengalami keterbatasan visual yang memicu pareidolia, yaitu kecenderungan mengenali pola seperti wajah dari objek acak. Hal ini diperkuat oleh kondisi psikologis seperti stres, kelelahan, atau sugesti sosial, yang dapat memicu halusinasi ringan. Penjelasan ini menunjukkan bahwa ketakutan bukanlah bukti keberadaan makhluk halus, melainkan respons biologis dan kognitif yang bisa dijelaskan secara ilmiah.

Ferry Irwandi, yang juga pernah berdiskusi dengan ahli bedah saraf dr. Ryu Hasan dalam konteks neurosains, memahami bahwa edukasi berbasis ilmu saraf memiliki potensi besar dalam membentuk masyarakat yang rasional dan kritis. Ia mendukung pendekatan Gen Alfarizi karena sejalan dengan visinya dalam Malaka Project sebuah gerakan pendidikan yang bertujuan menciptakan masyarakat baru yang cerdas dan empatik. Dalam konteks ini, interaksi Ferry dan Alfarizi bukan hanya kolaborasi konten, tetapi juga pertemuan dua generasi yang sama-sama memperjuangkan nalar di tengah arus digital yang sering kali menyesatkan.

Dalam ruang antara tubuh dan kesadaran, fisioanalisa dan neurosains menawarkan dua lensa yang saling melengkapi: satu menyoroti struktur fisik dan gaya yang bekerja pada tubuh, satu lagi menggali dalam sistem saraf yang memaknai dan mengatur respons tubuh terhadap dunia. Ketika seseorang merasa takut di tempat yang dianggap mistis, tubuhnya langsung bereaksi. Otot mengencang, pernapasan menjadi dangkal, dan postur berubah tanpa disadari. Fisioanalisa menjelaskan bahwa reaksi ini bukanlah hasil gangguan supranatural, tetapi murni interaksi gaya terhadap sistem biomekanik tubuh gravitasi menarik ke bawah, kontraksi otot meningkat, distribusi massa bergeser. Pada saat yang sama, neurosains menyoroti bahwa amygdala pada bagian otak yang mengatur rasa takut dan kewaspadaan yang telah mengirim sinyal bahaya, memicu sistem saraf simpatik untuk menyiapkan tubuh “melawan atau lari”.

Dengan memadukan pendekatan ini, kita mulai memahami bahwa persepsi mistis bukan sekadar ilusi visual seperti pareidolia, tetapi juga ilusi postural: tubuh kehilangan keseimbangan karena reaksi emosional, dan dalam ketidakseimbangan itu, lahirlah interpretasi yang bersifat spiritual atau supranatural. Di sinilah titik transendensi terbentuk bukan dengan menolak spiritualitas, tapi dengan memurnikannya dari mitos dan memberi ruang bagi tubuh untuk bicara dengan jujur melalui mekanika dan saraf. Ketika tubuh stabil, dan sistem saraf tenang, barulah pengalaman spiritual menjadi otentik, bukan karena rasa takut, tapi karena kesadaran yang hadir sepenuhnya. Maka, dalam ruang yang dulunya dianggap “angker,” kita menemukan bukan gangguan gaib, melainkan ruang untuk refleksi akan hubungan tubuh, pikiran, dan gaya alam yang tak kasat mata. Fisioanalisa dan neurosains berpadu bukan untuk menafikan iman, tetapi untuk menjelaskan cara tubuh meresponsnya secara elegan dan ilmiah.


Gen alfarizi dan Guru Gembul dalam Channel Youtube nya Gembulikum

Kemudian juga mengundang perhatian dari Youtuber intelek lain seperti Guru Gembul kolaborasi antara Guru Gembul dan Gen Alfarizi dalam video “Kalau Gak Kritis Susah Kaya dan Mudah Ditipu” merupakan peristiwa menarik dalam lanskap pendidikan digital Indonesia. Video ini mempertemukan dua sosok dari generasi yang sangat berbeda, namun saling melengkapi dalam menyuarakan pentingnya keberanian berpikir di tengah derasnya arus informasi yang sering kali menyesatkan. Guru Gembul, yang dikenal melalui kanal YouTube-nya dengan pendekatan filsafat dan analisis sosial, mengangkat isu tentang bagaimana ketidakmampuan berpikir kritis bisa membuat individu mudah dimanipulasi dan terjebak dalam mitos-mitos palsu. Di sisi lain, Gen Alfarizi hadir sebagai antitesis dari pandangan umum terhadap anak-anak seusianyadan ia berbicara dengan wawasan psikologi dan ilmu saraf untuk menjelaskan bagaimana mitos mistis terbentuk, bekerja, dan mengakar dalam budaya melalui proses sugesti, pareidolia, hingga fungsi amygdala.

Percakapan antara mereka tidak disampaikan dengan gaya formal akademik, melainkan melalui dialog yang ringan namun kaya akan nilai-nilai filosofis dan edukatif. Guru Gembul mengajak penonton untuk menyadari bahwa literasi media dan skeptisisme terhadap narasi dominan adalah kunci dalam membentuk masyarakat yang lebih cerdas dan tahan terhadap manipulasi. Ia juga menyoroti bagaimana kecenderungan cocoklogi, yaitu menyambungkan dua hal yang tidak relevan secara logis dan dapat merusak pola pikir masyarakat dan menciptakan kepercayaan semu yang menjauhkan dari rasionalitas. Gen Alfarizi, dengan gaya bicaranya yang jernih dan berani, memecah narasi-narasi horor populer dan membongkarnya menggunakan pendekatan ilmiah, memberi contoh langsung dari kunjungannya ke lokasi-lokasi “angker” yang justru terbukti biasa saja jika dilihat melalui lensa psikologi dan sains.

Yang membuat video ini menonjol adalah keberhasilan mereka menyatukan bahasa ilmu dan bahasa publik. Di satu sisi, mereka berbicara tentang konsep-konsep seperti pareidolia dan neurosains; di sisi lain, mereka membungkusnya dalam narasi sederhana yang bisa dijangkau oleh penonton awam, terutama generasi muda. Guru Gembul bahkan menyebut Alfarizi sebagai “bocah yang tidak biasa,” karena kemampuan intelektualnya yang tak lazim di usianya. Publik pun merespons dengan sangat positif, menyebut bahwa video ini adalah titik balik bagaimana konten edukatif bisa menjadi alternatif dari konten hiburan yang sering kali hanya mengejar klik dan eksploitasi emosi.

Apa yang dilakukan Gen Alfarizi dan Shafiya mengandung kekuatan human interest yang sangat mendalam. Narasi ini bukan sekadar perjalanan intelektual dua anak muda dalam membongkar mitos mistis, melainkan juga tentang keberanian mereka menempatkan diri sebagai subjek yang merdeka secara berpikir di tengah ekosistem digital yang sering kali menggiring opini publik ke arah ketakutan, mitos, dan konsumsi pasif. Human interest muncul kuat lewat keberadaan Alfarizi sebagai anak kecil yang duduk santai di kuburan malam hari, mengunyah camilan sambil mengurai konsep psikologi evolusioner. Ketika anak seusianya kerap diasosiasikan dengan kelembutan, kerentanan, atau ketergantungan, ia justru tampil sebagai sosok rasional, independen, dan kritis. Momen itu menyentuh karena ia membalikkan stereotip tentang anak-anak sebagai penerima pasif budaya, menjadi agen yang mampu menafsirkan dan mengkoreksi budaya populer lewat lensa ilmiah.

Lebih jauh, kemampuan Alfarizi menjelaskan neurosains dan konsep seperti pareidolia, amygdala, hingga fungsi kognitif otak dengan bahasa sederhana, menyiratkan sebuah lompatan penting dalam literasi sains anak Indonesia. Human interest dalam narasi ini tidak hanya menyentuh karena keberanian dan kecerdasannya, tetapi juga karena ia mampu membawa kompleksitas ilmu ke ranah keseharian anak-anak. Ia menjadi semacam jembatan antara dunia abstrak pengetahuan dan kehidupan riil remaja digital sekaligus menunjukkan bahwa edukasi tidak harus datang dari figur dewasa atau institusi, tetapi bisa tumbuh dari rasa penasaran dan kejujuran berpikir anak-anak itu sendiri.

Ketika Guru Gembul dan Ferry Irwandi menyebut Alfarizi sebagai “bocah tidak biasa”, itu bukan hanya pujian intelektual, tapi pengakuan terhadap nilai kemanusiaan yang ada dalam proses belajar dan berbagi. Narasi ini menyentuh karena memperlihatkan bahwa anak-anak bukan hanya objek pendidikan, melainkan subjek yang mampu menciptakan wacana, membangun keberanian, dan menjadi penyambung pesan moral dan rasionalitas di tengah budaya populer yang manipulatif. (js)





Belum ada Komentar untuk "Bocah Cerdas yang Bongkar Mitos Hantu Lewat Sains"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel