Menggali Akar Pendidikan: Antara Pilihan Institusi dan Ketangguhan Mental Anak
45news.id - Di tengah arus perubahan zaman, pertanyaan yang muncul di benak banyak orang tua hari ini bukan lagi sekadar tentang di mana anak harus bersekolah, melainkan bagaimana pendidikan dapat membentuk karakter yang kuat dan bernilai. Pilihan antara sekolah negeri, swasta, maupun pesantren kini menjadi topik diskusi yang tak hanya berputar pada fasilitas atau gengsi, tetapi juga pada nilai-nilai yang ditanamkan.
Sekolah negeri memang menawarkan biaya yang lebih terjangkau dan keberagaman sosial yang luas. Namun, tidak bisa disangkal bahwa dalam praktiknya, banyak fasilitas di sekolah negeri kalah bersaing dibandingkan institusi swasta. Sebaliknya, sekolah swasta terkesan lebih bergengsi, dengan pendekatan pendidikan yang lebih inovatif dan dukungan fasilitas yang lengkap dan namun kendalanya terletak pada biaya yang cenderung tidak ramah bagi keluarga menengah ke bawah. Sementara itu, pesantren, terutama yang modern, membawa kekuatan dalam pembentukan spiritual dan kedisiplinan, tapi juga tak lepas dari tantangan biaya dan ragam pendekatan yang mungkin tidak merata di setiap tempat.
Namun, dari semua perbedaan bentuk institusi pendidikan tersebut, muncul sebuah keresahan yang lebih mendalam: apakah benar pilihan sekolah menjadi penentu karakter dan masa depan anak? Pengamatan terhadap generasi Z dan Alpha menunjukkan bahwa terlepas dari jenis sekolah yang ditempuh, masih banyak anak muda yang menunjukkan perilaku kurang berdampak, cenderung reaktif, dan mudah dipengaruhi. Ini menegaskan sebuah hal penting: lemahnya mental dan karakter bukanlah hasil dari di mana mereka belajar, tetapi bagaimana mereka dibentuk.
Anak-anak dengan mental yang rentan yang tidak diberi ruang untuk refleksi, tidak terbiasa mengambil tanggung jawab atas keputusan, dan kurang mendapatkan bimbingan yang berakar pada nilai spiritual yang akan tetap mudah terseret dalam perilaku negatif, meskipun fasilitas sekolah mereka tergolong premium. Tanpa fondasi karakter yang kuat dan daya tahan psikologis, institusi pendidikan hanya menjadi latar belakang belaka, bukan agen transformasi.
Pilihan institusi pendidikan seperti sekolah negeri, swasta, dan pesantren memang memberi warna berbeda bagi perjalanan belajar anak. Namun, berdasarkan teori ekologi perkembangan oleh Urie Bronfenbrenner, karakter anak tidak hanya ditentukan oleh satu lapisan lingkungan (misalnya sekolah), tetapi dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara sistem mikrosistem (keluarga, sekolah), mesosistem (relasi antar lingkungan), dan bahkan makrosistem (budaya, kebijakan pendidikan). Artinya, sekolah hanyalah satu simpul kecil dalam jaringan besar pembentuk identitas anak.
Keresahan terhadap arah pendidikan di Indonesia bukan sekadar persoalan institusi, tapi menyentuh fondasi terdalam dari proses pembentukan karakter anak. Di tengah pilihan antara sekolah negeri, swasta, maupun pesantren, masyarakat terus mempertanyakan: apakah benar lembaga pendidikan yang dipilih mampu melahirkan generasi yang tangguh dan berdaya saing? Sekolah negeri dikenal dengan akses yang lebih luas dan biaya terjangkau, namun kerap kali tertinggal dari segi fasilitas dan pembaruan kurikulum. Sekolah swasta, di sisi lain, menawarkan pendekatan inovatif dan gengsi sosial, tapi juga menyisakan tantangan besar dalam hal biaya bagi keluarga menengah ke bawah.
Pesantren pun hadir dalam ragam pendekatan dari yang tradisional salafiyah hingga modern berbasis teknologi namun keduanya menghadapi dilema dalam menciptakan keseimbangan antara pendidikan agama dan perkembangan sosial anak. Namun, satu hal yang tak dapat dielakkan dari pengamatan terhadap generasi Z dan Alpha adalah kenyataan bahwa institusi pendidikan belum tentu menentukan ketangguhan mental seorang anak. Terlepas dari tempat mereka belajar, banyak yang masih menunjukkan perilaku impulsif, mudah dipengaruhi, dan minim daya reflektif. Penelitian yang mendukung hal ini datang dari Jean Twenge dan W. Keith Campbell melalui jurnal Preventive Medicine Reports tahun 2018(Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2018). Associations between Screen Time and Lower Psychological Well-Being among Children and Adolescents Evidence from a Population-Based study. Preventive Medicine Reports, 12, 271-283. - References - Scientific Research Publishing), yang menyatakan bahwa anak-anak dengan paparan layar berlebih terutama media sosial menunjukkan penurunan kualitas kesejahteraan psikologis seperti rendahnya rasa ingin tahu, kendali diri, stabilitas emosi, dan kesulitan menjalin relasi sosial. Bahkan penggunaan layar 4–7 jam per hari sudah cukup untuk menurunkan kualitas mental secara signifikan.
Hal ini memperkuat pandangan bahwa anak-anak dengan karakter lemah, yang tidak dibentuk dengan nilai spiritual dan pembiasaan refleksi, akan tetap rentan meskipun bersekolah di institusi bergengsi. Tanpa pelatihan berpikir kritis, tanpa pembiasaan tanggung jawab, dan tanpa dukungan emosional di rumah dan sekolah, maka pendidikan hanya menjadi kendaraan administratif menuju ijazah bukan proses transformasi menjadi manusia utuh. Sistem pendidikan Indonesia sendiri kerap dikritik oleh kaum intelektual karena dianggap terlalu berorientasi pada angka dan penyeragaman, serta kehilangan identitas filosofisnya.
Dalam iklim seperti ini, pendidikan seharusnya tidak lagi ditentukan oleh gedung sekolah atau jenis kurikulum, tetapi oleh seberapa besar ia mampu membentuk jiwa yang sadar akan nilai hidup, tangguh terhadap tekanan, dan memiliki arah dalam menghadapi zaman. Maka, pertanyaan yang lebih relevan hari ini bukanlah “Di mana anak harus bersekolah?” tetapi “Apa fondasi nilai yang harus kita tanam agar mereka menjadi pribadi yang kuat, berpikir mandiri, dan memiliki akhlak yang kokoh?” Pendidikan sejati adalah proses pembentukan karakter yang dilandasi tauhid, adab, dan tanggung jawab sosial dan inilah narasi baru yang perlu diperjuangkan.
Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970)The "Banking" Model of Education - Pros & Cons (2025), Paulo Freire melontarkan kritik tajam terhadap sistem pendidikan konvensional yang ia sebut sebagai banking model of education. Menurut Freire, pendekatan ini memandang murid sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh guru dengan pengetahuan, tanpa memberi ruang bagi murid untuk berpikir kritis atau mengembangkan kesadaran terhadap realitas sosial mereka. Guru menjadi pihak yang dominan, dan proses belajar berlangsung satu arah, di mana murid hanya menerima, menghafal, dan mengulang informasi tanpa makna personal. Freire menulis bahwa pendidikan semacam ini bukanlah proses pembebasan, melainkan cara mempertahankan struktur kekuasaan yang menindas. Sebagai alternatif, ia mengusulkan problem-posing education, yakni pendidikan berbasis dialog yang membangkitkan refleksi kritis dan kesadaran sosial. Dalam model ini, murid dan guru menjadi subjek yang saling belajar, berbagi pengalaman, dan berkontribusi dalam menciptakan pemahaman bersama atas dunia. Di Indonesia, kritik Freire tetap relevan, karena meskipun reformasi kurikulum telah dilakukan, sistem pendidikan masih didominasi oleh orientasi pada hasil ujian dan nilai seragam, yang mengikis ruang kontemplatif serta pencarian makna yang lebih dalam. Pendidikan seharusnya melampaui sekadar transfer informasi; ia harus menjadi proses pembentukan kesadaran dan pembebasan individu dari belenggu ketidaktahuan struktural.
Di titik inilah nilai spiritual dan refleksi personal yang banyak ditemukan dalam pendekatan pesantren atau pendidikan berbasis karakter memegang peran penting. Konsep tauhid misalnya, bila benar-benar ditanamkan, akan membentuk anak yang tidak hanya disiplin, tetapi juga memiliki orientasi hidup yang melampaui kepentingan duniawi. Sayangnya, pendekatan spiritual semacam ini sering kali dianggap sekadar pelengkap, bukan fondasi.
Nilai spiritual dan refleksi personal yang menjadi ciri khas pendekatan pesantren serta pendidikan berbasis karakter sesungguhnya memegang peran krusial dalam membentuk manusia yang utuh. Tauhid, sebagai prinsip spiritual yang mendasar, jika benar-benar ditanamkan sejak dini, tidak hanya menumbuhkan disiplin dalam perilaku anak, tetapi juga membentuk orientasi hidup yang lebih tinggi dari yang melampaui capaian duniawi semata. Tauhid menanamkan kesadaran bahwa hidup memiliki tujuan transendental dan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi moral dan spiritual. Di tengah tekanan sosial, budaya konsumtif, dan tuntutan kompetisi modern, anak yang tumbuh dengan fondasi tauhid akan memiliki daya tahan batin dan kompas nilai yang kokoh. Namun sayangnya, pendekatan seperti ini sering kali direduksi menjadi pelengkap atau nilai tambahan, bukan fondasi utama dalam sistem pendidikan arus utama. Padahal, tanpa landasan spiritual yang kuat, pendidikan hanya menghasilkan individu yang cerdas secara teknis, namun rapuh secara batin dan kehilangan orientasi makna hidup. Di sinilah urgensi mengembalikan spiritualitas dan refleksi personal sebagai inti pendidikan yang bukan sekadar ornamen religius, melainkan prinsip arah hidup.
Pendidikan sejatinya bukanlah proyek institusional semata, melainkan proses personal dan keluarga yang berlangsung sejak dini, dimulai dari ruang yang paling intim dan penuh nilai: rumah. Tanpa pembiasaan refleksi di rumah, anak tidak terbiasa untuk memahami dirinya secara utuh. Tanpa pelatihan tanggung jawab oleh orang tua, anak akan canggung dan kehilangan arah saat menghadapi pilihan-pilihan kompleks dalam hidupnya. Dan tanpa bimbingan spiritual yang konsisten, anak mudah goyah menghadapi tekanan sosial, budaya populer, bahkan dinamika pergaulan yang kadang menjauhkan dari nilai hidup yang dalam.
Sementara sekolah memang menyediakan struktur, metode, dan sarana pembelajaran, ia sejatinya hanya pelengkap penguat dari nilai-nilai yang sudah ditanam di rumah. Mental orang tua, sikap kesehariannya, dan cara mereka memperlakukan anak jauh lebih berdampak daripada kurikulum akademik. Bila rumah gagal menjadi ruang asuh yang membangun kesadaran, maka anak akan tumbuh mencari arah dari lingkungan luar yang belum tentu sejalan dengan nilai-nilai luhur. Banyak orang tua hari ini cenderung menyerahkan tanggung jawab pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, berharap lembaga tersebut membentuk anak menjadi pribadi ideal. Padahal, lembaga pendidikan tidak bisa mengisi kekosongan karakter yang seharusnya dibentuk di rumah.
Dalam pandangan ini, sekolah bukanlah "tempat utama membentuk manusia," melainkan "ruang kolaboratif" yang memperkuat dan memperluas pendidikan yang telah dibangun oleh keluarga. Pendidikan karakter, kejujuran, tanggung jawab, dan spiritualitas harus menjadi bagian dari kebiasaan keluarga di meja makan, dalam doa bersama, dalam sikap orang tua terhadap pekerjaan dan kehidupan sosial. Pendidikan bukan hanya tentang menyuruh anak belajar, tetapi tentang memperlihatkan cara hidup yang bermakna. Ketika anak melihat orang tuanya berintegritas, peduli, disiplin, dan bertauhid, ia tidak hanya meniru perilaku, tapi menyerap ruh pendidikan itu sendiri.
Maka, titik awal dari pendidikan bukanlah gedung sekolah, melainkan ruang refleksi dan interaksi di rumah. Dan inilah misi utama setiap orang tua: membangun mental anak yang kuat, arif, dan tahan banting di tengah dunia yang kompleks. Sekolah akan berfungsi optimal ketika nilai-nilai ini sudah tertanam, karena ia tidak lagi bekerja sendirian, melainkan bekerjasama dengan fondasi yang telah dibangun sejak dini.
Belum ada Komentar untuk "Menggali Akar Pendidikan: Antara Pilihan Institusi dan Ketangguhan Mental Anak"
Posting Komentar