Membentuk Karakter Digital Anak: Peluang dan Risiko Platform Game
45news.id - Di tengah maraknya dunia digital, Roblox telah menjadi ruang eksploratif yang digemari anak-anak, menawarkan kebebasan berkreasi dan bermain peran sosial. Narasi tersebut menggambarkan dinamika kompleks antara potensi edukatif dan risiko etis dalam penggunaan platform digital seperti Roblox oleh anak-anak. Dalam konteks perkembangan psikososial anak, Roblox berfungsi sebagai ruang eksploratif yang mendukung tahap perkembangan “industry vs. inferiority” menurut Erik Erikson, di mana anak-anak belajar merasa kompeten melalui pencapaian dan kreativitas(https://www.verywellmind.com/industry-versus-inferiority-2795736). Game seperti Adopt Me! dan Brookhaven memungkinkan anak-anak membangun dunia virtual, berperan sosial, dan mengembangkan empati melalui interaksi dengan pemain lain. Aktivitas ini dapat memperkuat keterampilan komunikasi, kerja sama, dan pemecahan masalah, yang merupakan bagian dari literasi digital dan sosial yang penting di era modern.
Tahapan industry vs. inferiority dalam teori psikososial Erik Erikson berlangsung pada usia sekitar 6 hingga 11 tahun, ketika anak-anak mulai masuk ke lingkungan sekolah dan sosial yang lebih luas. Pada fase ini, mereka berusaha mengembangkan rasa kompetensi melalui pencapaian intelektual, sosial, dan keterampilan praktis. Pertanyaan utama yang muncul dalam diri anak adalah “Bagaimana saya bisa menjadi baik dalam sesuatu?”, yang mendorong mereka untuk membandingkan kemampuan diri dengan teman sebaya serta mencari validasi atas usaha mereka. Jika anak berhasil melalui tahap ini dengan dukungan dan penghargaan yang memadai, mereka akan mengembangkan virtue berupa kompetensi yakni keyakinan bahwa mereka mampu menghadapi tantangan hidup. Sebaliknya, jika anak terus mengalami kegagalan tanpa umpan balik konstruktif, mereka bisa merasa inferior, tidak berguna, dan kehilangan rasa percaya diri. Dalam konteks dunia digital, game seperti Roblox dapat mendukung proses perkembangan ini melalui simulasi sosial dan eksplorasi kreatif yang melatih komunikasi, empati, dan pemecahan masalah. Namun, potensi positif ini hanya bisa maksimal jika anak mendapatkan pengawasan yang aktif dan bijak. Tanpa bimbingan, anak bisa mengalami distorsi nilai atau bahkan tekanan sosial yang mengarah pada perasaan tidak mampu. Maka, memahami teori ini membantu orang tua dan pendidik menyadari bahwa pengalaman bermain di dunia virtual bukan sekadar hiburan, tetapi bagian penting dari pembentukan karakter anak di era digital.
Namun, di balik potensi tersebut, terdapat ancaman tersembunyi berupa konten dewasa yang menyusup melalui komunitas tidak terverifikasi dan platform eksternal seperti TikTok. Studi oleh Revealing Reality (https://www.unicef.org/indonesia/id/siaran-pers/data-survei-baru-hingga-56-persen-insiden-eksploitasi-seksual-dan-perlakuan-yang-salah) menunjukkan bahwa anak-anak semuda lima tahun dapat mengakses ruang virtual dengan konten seksual eksplisit, berinteraksi dengan orang dewasa tanpa verifikasi usia, dan bahkan diminta informasi pribadi seperti akun Snapchat. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak semuda lima tahun dapat dengan mudah mengakses ruang virtual yang mengandung konten seksual eksplisit, berinteraksi dengan orang dewasa tanpa verifikasi usia, dan bahkan diminta untuk membagikan informasi pribadi seperti akun Snapchat. Temuan ini menyoroti adanya dissonansi etika digital, yaitu ketidaksesuaian antara citra platform yang tampak ramah anak dan realitas interaksi yang terjadi di dalamnya. Dalam banyak kasus, komunitas virtual yang tidak terverifikasi menjadi celah bagi predator daring untuk menyusup dan memanipulasi anak-anak melalui teknik grooming. Studi ini juga menunjukkan bahwa anak-anak yang belum memiliki kapasitas kognitif untuk menyaring informasi secara mandiri berisiko menginternalisasi perilaku menyimpang sebagai norma sosial, terutama jika tidak ada batasan atau pengawasan yang jelas dari orang dewasa. Dalam kerangka teori interaksionisme simbolik, hal ini berarti simbol-simbol dan interaksi yang mereka alami di dunia virtual dapat membentuk persepsi dan nilai yang menyimpang dari fitrah perkembangan anak.
Dibandingkan dengan game kompetitif seperti Mobile Legends dan Free Fire, yang menurut studi dapat memicu perilaku agresif, bicara toxic, dan penurunan empati, Roblox memiliki potensi edukatif yang lebih besar. Namun, potensi tersebut hanya dapat dimaksimalkan jika ada pengawasan aktif dari orang tua dan pendidik. Tanpa pengawasan, anak-anak rentan mengalami distorsi nilai, yaitu perubahan persepsi terhadap etika, relasi sosial, dan identitas diri akibat paparan konten yang tidak sesuai usia.
Secara ilmiah, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori regulasi emosi dan kognisi sosial. Penelitian menunjukkan bahwa intensitas bermain Roblox dapat memengaruhi kemampuan anak dalam memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi emosi mereka, terutama jika mereka menghadapi kegagalan atau konflik dalam permainan. Fenomena dampak bermain Roblox terhadap regulasi emosi anak telah diteliti secara mendalam oleh Hazrina Imania dalam skripsinya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.(https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/83498/1/SKRIPSI%20HAZRINA%20%281120018400051%29%20watermark.pdf). Penelitian ini berfokus pada anak usia dini 5–6 tahun dan menunjukkan bahwa intensitas bermain Roblox dapat memengaruhi kemampuan anak dalam memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi emosi mereka. Anak-anak yang bermain secara intensif cenderung mengalami kesulitan dalam mengenali dan mengelola emosi, terutama saat menghadapi konflik atau kegagalan dalam permainan. Hal ini berdampak pada perilaku sosial mereka di dunia nyata, seperti menjadi mudah tersinggung, sulit berinteraksi dengan teman sebaya, dan menunjukkan kecenderungan materialistik akibat tekanan sosial dalam game. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara terhadap orang tua sebagai subjek, dan hasilnya menegaskan pentingnya pengawasan orang tua dalam menjaga keseimbangan emosi anak saat bermain game digital.
Dari narasi tersebut perlu menekankan solusi yang konkret dan berlapis, bukan hanya sebagai respons terhadap risiko digital, tetapi sebagai strategi pembentukan ekosistem pendidikan karakter yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Dalam menghadapi dualitas Roblox yaitu antara imajinasi dan ancaman yang di mana pendekatan solutif dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkat: keluarga, institusi pendidikan, dan desain platform digital.
Pertama, pada tingkat keluarga, orang tua harus diposisikan sebagai fasilitator sekaligus penjaga nilai. Literasi digital perlu dimulai dari rumah melalui dialog terbuka tentang pengalaman bermain anak, penetapan batas waktu bermain, serta pemanfaatan fitur kontrol orang tua (parental control) yang tersedia di platform. Orang tua juga dianjurkan untuk mendampingi anak saat bermain, bukan sekadar mengawasi, agar dapat memahami konteks interaksi dan menanamkan nilai-nilai seperti empati, tanggung jawab, dan kesadaran terhadap konsekuensi perilaku digital.
Kedua, institusi pendidikan perlu mengintegrasikan pendidikan karakter digital ke dalam kurikulum. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis proyek (project-based learning) yang mengajak anak untuk membuat simulasi sosial atau desain game dengan narasi etis. Guru berperan sebagai pendamping reflektif yang tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga proses berpikir dan nilai-nilai yang diinternalisasi anak selama berkarya. Kolaborasi dengan psikolog anak dan pakar media digital dapat memperkuat strategi pedagogis agar relevan dengan kondisi nyata.
Ketiga, pada tingkat desain platform, pengembang game seperti Roblox perlu mempertimbangkan integrasi sistem kurasi berbasis usia dan algoritma etis yang dapat memfilter konten dan komunitas secara otomatis. Desain antarmuka dan mekanik game pun harus mampu memberikan pengalaman eksploratif tanpa membuka celah untuk konten yang menyimpang. Inisiatif seperti kid-safe server, avatar dengan ekspresi terbatas, atau sandbox eksklusif untuk anak bisa menjadi opsi yang lebih aman tanpa menghilangkan aspek kreativitas.
Dengan menerapkan solusi dari tiga tingkat ini secara terpadu, visualisasi narasi tentang dunia anak dalam Roblox dapat menjadi gerakan kolektif yang tidak hanya mengkritisi ancaman, tetapi juga merancang harapan. Ia menjadi refleksi masa depan pendidikan karakter digital yang tidak melawan teknologi, tapi menggunakannya sebagai medium penyemaian nilai.
Belum ada Komentar untuk "Membentuk Karakter Digital Anak: Peluang dan Risiko Platform Game"
Posting Komentar