Bahlil: BBM Bukan Sekadar Komoditas, Tapi Hak Publik
45News id - Shell Indonesia tengah menghadapi sorotan publik setelah sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mereka mengalami kekosongan stok BBM sejak awal tahun 2025. Kelangkaan ini mencakup berbagai jenis bahan bakar seperti bensin RON 92, RON 95, RON 98, serta solar CN 51. Kondisi tersebut memicu kekhawatiran di kalangan konsumen dan pekerja, terlebih setelah unggahan viral di media sosial menyebutkan bahwa sebagian besar pegawai SPBU telah dirumahkan dan pasokan BBM tidak akan tersedia hingga tahun depan. Shell Indonesia pun memberikan klarifikasi atas situasi ini, menyebutkan bahwa hambatan rantai pasok global menjadi penyebab utama kekosongan stok.
Menurut pernyataan resmi Shell Indonesia, proses pengadaan BBM impor mengalami keterlambatan karena izin impor baru disetujui oleh pemerintah pada 23 Januari 2025, meskipun permohonan telah diajukan sejak September 2024. Setelah izin diperoleh, perusahaan harus melalui serangkaian tahapan seperti pengujian mutu dan distribusi, yang memakan waktu hingga 20 hari sebelum BBM dapat tersedia di SPBU. Shell menyatakan bahwa mereka terus berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mempercepat proses distribusi dan memastikan kelancaran operasional di seluruh jaringan SPBU.
Kekosongan stok BBM di SPBU swasta Indonesia sepanjang 2025 tidak hanya dialami oleh Shell, tetapi juga melanda jaringan BP-AKR, Vivo Energy, dan ExxonMobil. Kelangkaan ini memicu keresahan publik, terutama di wilayah Jabodetabek dan kota-kota besar lain, di mana SPBU swasta terpantau tutup atau hanya melayani produk non-BBM. Dampaknya terasa langsung oleh konsumen dan pekerja, dengan banyak pegawai SPBU dirumahkan sementara akibat penyesuaian operasional. Di tengah spekulasi publik, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya memberikan penjelasan resmi mengenai akar persoalan dan langkah penanganannya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa cadangan BBM SPBU swasta memang telah menipis, meskipun secara nasional stok BBM masih cukup untuk 18 hingga 21 hari ke depan. Ia menjelaskan bahwa badan usaha swasta telah diberikan kuota impor BBM sebesar 110% dari realisasi tahun sebelumnya. Namun, kuota tersebut telah habis sebelum akhir tahun, sehingga permintaan tambahan impor tidak dapat dipenuhi secara langsung. Hal ini berkaitan dengan pengaturan neraca komoditas yang diatur dalam Perpres Nomor 61 Tahun 2024, di mana pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan rencana kebutuhan dan kuota impor komoditas strategis seperti BBM.
Sebagai solusi, Bahlil menginisiasi rapat koordinasi antara Pertamina dan badan usaha swasta pada 19 September 2025. Hasilnya, disepakati bahwa SPBU swasta akan membeli BBM murni dari Pertamina, bukan lagi melalui jalur impor langsung. BBM yang dijual berupa base fuel dengan bahan bakar dengan kadar oktan murni tanpa campuran aditif yang nantinya akan dicampur oleh masing-masing badan usaha sesuai standar mereka. Pemerintah juga menetapkan adanya surveyor independen untuk menjamin kualitas dan transparansi dalam proses distribusi BBM tersebut.
Kesepakatan ini mencakup empat poin utama: pertama, pengambilan stok BBM murni dari Pertamina oleh badan usaha swasta; kedua, adanya surveyor bersama untuk menjamin mutu BBM sebelum dicampur aditif; ketiga, penetapan harga yang adil dan terbuka bagi semua pihak; dan keempat, target distribusi BBM ke SPBU swasta paling lambat tujuh hari setelah rapat teknis. Bahlil menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup kegiatan impor, namun pengaturan ini diperlukan untuk menjaga stabilitas perdagangan nasional dan mengurangi tekanan defisit akibat impor migas.
Langkah kolaboratif ini menjadi jalan tengah antara kebutuhan pasar dan regulasi negara. Bahlil juga menekankan bahwa BBM termasuk dalam cabang industri strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga pengelolaannya harus berada di bawah kendali negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Ia berharap agar semua pihak memahami bahwa kebijakan ini bukan bentuk pembatasan, melainkan upaya menjaga ketersediaan dan distribusi BBM secara merata di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, badan usaha swasta menyambut baik kesepakatan ini meskipun harus menyesuaikan sistem distribusi dan pencampuran aditif mereka. Beberapa SPBU mulai mempersiapkan fasilitas pencampuran internal dan menyesuaikan harga jual agar tetap kompetitif. Konsumen pun diharapkan bersabar menunggu normalisasi pasokan, sementara pekerja SPBU yang terdampak masih menanti kepastian operasional dan status kerja mereka.
Situasi ini menunjukkan pentingnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta dalam menjaga ketahanan energi nasional. Kelangkaan BBM di SPBU swasta menjadi pelajaran bahwa pengaturan kuota dan distribusi harus lebih adaptif terhadap dinamika pasar. Pemerintah melalui Bahlil Lahadalia telah mengambil langkah strategis untuk menjembatani kepentingan nasional dan kelangsungan bisnis swasta, dengan harapan pasokan BBM kembali stabil dan masyarakat dapat terlayani secara optimal.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Bahlil: BBM Bukan Sekadar Komoditas, Tapi Hak Publik"
Posting Komentar