Analisis Pemikiran Tan Malaka tentang Penjajahan Pikiran dan Kebodohan Masyarakat
45News id - Tan Malaka adalah salah satu tokoh revolusioner paling radikal dan visioner dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia bukan hanya seorang pejuang fisik, tetapi juga pemikir yang sangat peduli terhadap kemerdekaan mental dan intelektual bangsa. Baginya, penjajahan yang paling berbahaya bukanlah yang dilakukan dengan senjata atau kekuasaan politik, melainkan penjajahan pikiran dari suatu bentuk dominasi yang membuat masyarakat kehilangan kemampuan untuk berpikir secara bebas, kritis, dan rasional. Dalam berbagai tulisannya, termasuk karya monumentalnya Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Tan Malaka menekankan bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika rakyat Indonesia terbebas dari belenggu kebodohan dan cara berpikir yang tidak ilmiah.
Ia sangat muak melihat bagaimana masyarakat Indonesia, bahkan di tengah kemajuan teknologi dan pendidikan, masih terjebak dalam kepercayaan mistis dan takhayul. Dalam pandangannya, ketergantungan terhadap dukun, jimat, dan penjelasan gaib untuk fenomena duniawi adalah bentuk kemunduran intelektual yang menghambat kemajuan bangsa. Tan Malaka menyebut bahwa logika mistika merusak akal sehat dan menjauhkan masyarakat dari pemahaman yang objektif terhadap realitas. Ia mengkritik keras pola pikir yang cenderung menyalahkan roh jahat, nasib, atau kekuatan supranatural atas kegagalan dan penderitaan, alih-alih mencari solusi melalui ilmu pengetahuan dan kerja keras. Bagi Tan Malaka, kebodohan bukanlah sekadar kurangnya informasi, tetapi juga ketidakmampuan untuk berpikir secara kritis dan mandiri.
Dalam Madilog, Tan Malaka menawarkan jalan keluar dari belenggu tersebut. Ia memperkenalkan metode berpikir yang menggabungkan materialisme, dialektika, dan logika sebagai alat untuk memahami dunia secara rasional. Buku ini bukan hanya sebuah karya filsafat, tetapi juga manifesto pembebasan intelektual. Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk meninggalkan cara berpikir feodal dan mistis, dan mulai membangun kebudayaan yang berakar pada ilmu pengetahuan dan logika. Menurutnya, hanya dengan berpikir kritis dan ilmiah, bangsa Indonesia bisa membangun peradaban yang kuat dan mandiri, serta tidak mudah dijajah kembali oleh kekuatan asing atau oleh elit dalam negeri yang korup dan manipulatif.
Dalam pandangan Tan Malaka, salah satu hambatan terbesar dalam membebaskan masyarakat dari kebodohan adalah resistensi terhadap pemikiran kritis. Ia menyadari bahwa bertanya, meragukan, dan berpikir secara logis sering kali dianggap sebagai tindakan yang menyimpang dari norma sosial atau bahkan sebagai bentuk kurangnya iman. Masyarakat yang mempertanyakan dogma atau tradisi kerap dicap sesat, durhaka, atau tidak tahu sopan santun. Tan Malaka melihat bahwa ketakutan untuk berpikir adalah bentuk penjajahan mental yang paling halus namun paling mematikan. Kebodohan bukan hanya soal tidak bersekolah, melainkan juga soal tidak berani berpikir di luar batas yang ditentukan oleh kekuasaan dan tradisi.
Kondisi ini masih sangat relevan dalam masyarakat Indonesia kontemporer. Di tengah kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin luas, masih banyak acara televisi yang mempromosikan praktik mistis, dukun, dan ramalan gaib sebagai solusi atas masalah hidup. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebodohan bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga dipelihara secara aktif oleh media dan budaya populer. Masyarakat lebih mudah percaya pada hal-hal gaib daripada mencari penjelasan logis atau ilmiah. Ketika logika dan ilmu pengetahuan dianggap dingin dan tidak spiritual, maka mistisisme menjadi pelarian yang nyaman sekali meskipun menyesatkan.
Tan Malaka juga menyoroti peran pemerintah dan elit dalam mempertahankan kebodohan masyarakat. Ia menilai bahwa kekuasaan sering kali bergantung pada ketidaktahuan rakyat. Pemerintah yang otoriter dan elit agama yang konservatif cenderung mendukung narasi-narasi yang menumpulkan daya pikir masyarakat. Dengan menjaga agar rakyat tetap percaya pada hal-hal gaib dan tidak mempertanyakan kebijakan atau struktur sosial, mereka bisa mempertahankan status quo. Dalam konteks ini, kebodohan bukan hanya akibat, tetapi juga alat kontrol sosial dan ekonomi yang sangat efektif. Masyarakat yang tidak kritis akan lebih mudah diatur, lebih patuh, dan lebih bisa dimanipulasi.
Dalam pemikiran tajamnya jika kita menyoroti sistem pendidikan di Indonesia, Dari pemikiran Tan Malaka kita dapat menarik kesimpulan bagaimana pendidikan telah gagal menjadi alat pembebasan pikiran. Kita dapat melihat bahwa anak-anak sejak dini lebih banyak diajarkan untuk menghafal doa dan dogma daripada diajak memahami logika dan berpikir rasional. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang untuk membentuk manusia yang merdeka justru menjadi alat untuk mencetak generasi yang patuh, tidak kritis, dan mudah diarahkan. Dalam sistem seperti ini, sekolah bukan lagi tempat untuk membangun nalar, melainkan menjadi institusi yang menumpulkan daya pikir dan membentuk mentalitas pengikut.
Masalah ini diperparah oleh pilihan masyarakat sendiri yang sering kali lebih nyaman berada dalam posisi pasif. Banyak orang lebih memilih menjadi pengikut daripada pemikir, karena berpikir kritis dianggap melelahkan, berisiko, atau bahkan berbahaya. Dalam budaya yang menekankan kepatuhan dan keseragaman, keberanian untuk bertanya dan meragukan dianggap sebagai ancaman. Tan Malaka melihat ini sebagai bentuk ketakutan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan yang terus dipelihara oleh sistem sosial yang represif. Sistem ini tidak hanya menekan kreativitas dan logika, tetapi juga menciptakan struktur sosial yang menguntungkan segelintir elit yang berkuasa.
Sistem sosial yang ada, menurut Tan Malaka, berkontribusi besar terhadap kebodohan masyarakat. Ia menilai bahwa kebodohan bukanlah kondisi alami, melainkan hasil dari rekayasa sosial yang disengaja. Ketika masyarakat tidak diberi ruang untuk berpikir, bertanya, dan berdebat, maka mereka akan tetap berada dalam ketidakberdayaan. Kreativitas dibungkam, logika dianggap tidak penting, dan mistisisme dijadikan pelarian. Dalam kondisi seperti ini, kebodohan menjadi alat kontrol yang sangat efektif, baik secara politik maupun ekonomi. Pemerintah dan elit yang menikmati kekuasaan tidak memiliki insentif untuk mencerdaskan rakyat, karena rakyat yang cerdas akan menuntut keadilan dan perubahan.
Tan Malaka dengan tegas mengajak masyarakat untuk memulai revolusi pikiran. Ia menekankan bahwa hanya dengan berpikir kritis, bangsa ini bisa maju dan keluar dari belenggu ketertinggalan. Dalam Madilog, ia menawarkan kerangka berpikir yang berbasis pada materialisme, dialektika, dan logika sebagai senjata untuk melawan kebodohan dan mistisisme. Ia percaya bahwa akal sehat dan logika adalah fondasi utama bagi kebangkitan bangsa. Berpikir bukanlah kemewahan, melainkan keharusan. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, kemampuan untuk berpikir kritis menjadi syarat mutlak untuk meraih kemajuan dan kebebasan sejati.
Maka dari itu, Tan Malaka tidak hanya mengkritik kebodohan, tetapi juga menawarkan jalan keluar. Ia mengajak masyarakat untuk menolak segala bentuk mistisisme yang menghambat nalar, dan untuk memanfaatkan akal sehat sebagai alat perjuangan. Dalam pandangannya, kebodohan bukan takdir, melainkan kondisi yang bisa dan harus dilawan. Dengan berpikir kritis, masyarakat bisa membebaskan diri dari ketidakpastian dan ketidakberdayaan, serta membangun masa depan yang lebih adil dan bermartabat. Pesan Tan Malaka tetap relevan: kemerdekaan sejati dimulai dari keberanian untuk berpikir.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Analisis Pemikiran Tan Malaka tentang Penjajahan Pikiran dan Kebodohan Masyarakat"
Posting Komentar