Pagelaran Wayang Kulit “Gagraq Porongan” di Desa Pabean: Merawat Tradisi, Menyulam Makna
Kamis, September 11, 2025
Tulis Komentar
45News id - Dalam semilir angin malam yang menyapu pelataran Desa Pabean, Kecamatan Sedati, ratusan warga berkumpul menyaksikan pertunjukan Wayang Kulit bertajuk Begawan Tunggulmetu, lakon klasik yang sarat makna spiritual dan refleksi kepemimpinan. Pertunjukan ini merupakan bagian dari rangkaian Pagelaran Wayang Kulit Gagraq Porongan pada Rabu malam(10/9/2025), sebuah inisiatif budaya yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo di titik desa Pabean sepanjang tahun 2025. Malam itu, pertunjukan ke-6 menjadi titik temu antara warisan leluhur dan harapan masa depan.
Dalang Ki Surono, maestro yang dikenal karena kepiawaiannya membawakan lakon-lakon bertema kontemplatif, memimpin pertunjukan dengan gaya khas yang memadukan narasi filosofis dan humor rakyat. Lakon Begawa Tunggulmetu sendiri mengisahkan seorang pertapa yang muncul dari pengasingan, membawa kebijaksanaan dan kritik terhadap kekuasaan yang lalim.
Kehadiran dua tokoh penting daerah, H. Subandi, SH, M.Kn dan H. Muhammad Hudiyono, SH, M.Si, menandai bahwa acara ini bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari strategi diplomasi budaya dan rekonsiliasi sosial. Dalam sambutannya, Wakil Bupati Subandi menekankan pentingnya pelestarian seni tradisional sebagai medium pendidikan karakter dan penguatan identitas lokal. “Wayang bukan hanya tontonan, tetapi tuntunan. Di dalamnya tersimpan nilai-nilai luhur yang harus terus kita wariskan,” ujarnya di hadapan warga yang memadati lapangan desa.
Pagelaran ini juga menjadi ruang dialog antar generasi. Anak-anak duduk bersila di barisan depan, menyimak tokoh-tokoh pewayangan yang bergerak di balik kelir, sementara para sesepuh desa mengenang masa-masa ketika wayang menjadi pusat kehidupan sosial. Di sela pertunjukan, narasi Ki Surono kerap menyelipkan kritik halus terhadap kondisi sosial-politik, mengajak penonton untuk merenung tanpa menggurui. Gaya “Gagraq Porongan” yang diusung dalam seri ini menampilkan kekhasan lokal, dengan iringan gamelan yang berpadu dengan tembang-tembang khas Sidoarjo.
Dalam sambutannya yang hangat dan penuh semangat, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo, Dr. Tirto Adi, M.Pd., menegaskan bahwa meskipun Pagelaran Wayang Kulit Gagraq Porongan berfokus pada pelestarian seni wayang sebagai warisan budaya adiluhung, perhatian terhadap bentuk seni lainnya tetap menjadi komitmen utama pemerintah daerah. Ia menyampaikan bahwa seni bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan ekosistem yang saling menghidupi—dari seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, hingga ekspresi kreatif anak-anak muda yang terus berkembang.
“Wayang memang menjadi pusat malam ini, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa seni tari, musik tradisional, teater rakyat, bahkan literasi dan seni kontemporer juga membutuhkan ruang dan dukungan yang sama,” ujar Dr. Tirto Adi di hadapan warga Desa Pabean. Ia menambahkan bahwa keberagaman ekspresi seni adalah kekuatan Sidoarjo, dan tugas pemerintah adalah memastikan bahwa setiap bentuk seni mendapat tempat untuk tumbuh, tampil, dan berdialog dengan masyarakat.
Pernyataan tersebut terasa selaras dengan keseluruhan atmosfer acara, di mana tari Remo, penampilan penyanyi cilik Bismo Daru, dan lawakan khas Abah Kirut menjadi bukti bahwa seni tradisi dan seni populer bisa saling melengkapi dalam satu panggung yang inklusif. Dr. Tirto Adi menutup sambutannya dengan harapan agar generasi muda Sidoarjo tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku dan pencipta seni yang mampu membawa nilai-nilai lokal ke panggung nasional dan global. Sebuah pesan yang tak hanya menghidupkan malam itu, tetapi juga menyulut semangat untuk terus merawat kebudayaan sebagai denyut kehidupan bersama.
Sebelum layar kelir dinaikkan dan bayangan wayang mulai menari, panggung Desa Pabean terlebih dahulu dihidupkan oleh denting gamelan dan gerak gemulai penari Remo. Seorang penari muda melangkah mantap di tengah lingkaran penonton, mengenakan kostum tradisional lengkap dengan ikat kepala dan selendang merah yang berkibar mengikuti irama. Tari Remo, yang berasal dari Surabaya dan menjadi simbol pembuka dalam pertunjukan Ludruk maupun Wayang Kulit, malam itu menjadi pembuka yang penuh energi dan kebanggaan. Gerakannya yang tegas namun anggun seolah menyapa para leluhur, mengundang mereka untuk turut hadir dalam perayaan budaya yang tak lekang oleh zaman.
Penyanyi cilik Asal Sidoarjo Bismo Daru
Tak lama setelah tepuk tangan meriah mengiringi akhir tarian, suasana berubah menjadi lebih lembut dan mengharukan. Seorang anak laki-laki bernama Bismo Daru, siswa kelas 5 SD asal Sidoarjo, naik ke panggung dengan senyum malu-malu namun penuh semangat. Dengan suara jernih dan penuh penghayatan, ia menyanyikan lagu-lagu yang mengangkat nilai kebersamaan dan Nostalgia. Warga yang hadir tampak terharu, beberapa bahkan merekam penampilan Bismo dengan ponsel mereka, seolah ingin menyimpan momen itu sebagai bukti bahwa harapan masa depan sedang tumbuh di tengah mereka.
Pelawak legendaris Sidoarjo Abah kirut
Setelah suasana syahdu yang dibawa oleh Bismo, panggung kembali bergemuruh oleh tawa ketika Abah Kirut, pelawak legendaris asal Sidoarjo, tampil dengan gaya khasnya yang jenaka dan penuh sindiran sosial. Dengan logat Jawa Timuran yang kental dan improvisasi yang spontan, Abah Kirut menyulap isu-isu keseharian menjadi bahan candaan yang menggelitik namun tetap mengandung kritik halus. Ia menyinggung harga sembako, jalan berlubang, hingga perilaku pejabat, semuanya dibalut dalam humor yang membuat penonton tertawa sambil mengangguk. Kehadirannya malam itu bukan hanya sebagai penghibur, tetapi juga sebagai pengingat bahwa tawa adalah bentuk lain dari keberanian untuk melihat kenyataan dan tetap berharap.
Rangkaian acara tersebut membentuk sebuah narasi kolektif yang kaya: dari gerak tari yang menghormati tradisi, suara anak yang menyuarakan masa depan, hingga tawa yang menyatukan warga dalam refleksi ringan namun bermakna. Semua elemen itu berpadu dalam satu malam yang tak hanya merayakan seni, tetapi juga menyulam kembali ikatan sosial yang mungkin sempat renggang. Di Desa Pabean, budaya bukan sekadar warisan, melainkan denyut nadi yang terus berdetak, menghidupkan ruang-ruang perjumpaan dan menyemai harapan baru.
Lebih dari sekadar pelestarian budaya, Pagelaran Wayang Kulit Gagraq Porongan adalah upaya membangun narasi kolektif yang menyatukan warga dalam pengalaman bersama. Di tengah gempuran budaya digital dan fragmentasi sosial, pertunjukan ini menjadi ruang pemulihan, tempat di mana masyarakat bisa berkumpul, tertawa, menangis, dan merenung bersama. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, menunjukkan komitmennya untuk menjadikan seni tradisi sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Pagelaran Wayang Kulit “Gagraq Porongan” di Desa Pabean: Merawat Tradisi, Menyulam Makna"
Posting Komentar