Film animasi Merah Putih: One For All menghabiskan Dana 6,7 M menjadi Keresahan Publik
45news.id - Film animasi Merah Putih: One For All hadir di tengah momen sakral peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80, namun alih-alih disambut dengan antusiasme, film ini justru memicu gelombang keresahan dan kritik dari masyarakat luas. Sebagai karya yang digadang-gadang menjadi simbol nasionalisme dan kebanggaan anak bangsa, ekspektasi publik terhadap film ini sangat tinggi. Namun, kenyataan yang tersaji di layar justru jauh dari harapan. Kualitas visual yang ditampilkan dinilai tidak memenuhi standar industri animasi modern. Gerakan karakter terlihat kaku, pencahayaan dan tekstur tampak datar, dan secara keseluruhan, tampilan grafisnya dianggap tidak mampu bersaing bahkan dengan karya animasi lokal yang telah lebih dulu hadir. Poster promosi dan desain karakter pun tak luput dari sorotan. Banyak yang menyebutnya generik, tidak memiliki ciri khas, dan gagal merepresentasikan kekayaan budaya Indonesia yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam sebuah karya bertema kemerdekaan.
Lebih jauh, narasi yang diusung dalam film ini juga menjadi titik lemah yang banyak disorot. Cerita tentang sekelompok anak dari berbagai latar belakang budaya yang berpetualang mencari bendera pusaka memang terdengar menjanjikan di atas kertas, namun dalam eksekusinya, alur cerita tersebut dinilai terlalu dangkal dan penuh dengan klise. Karakter-karakter yang seharusnya menjadi representasi keberagaman Indonesia justru tampil datar, tanpa pengembangan yang berarti. Dialog yang mereka ucapkan pun terasa seperti kutipan dari pidato seremonial, bukan hasil dari proses penulisan naskah yang menggali emosi dan dinamika karakter secara mendalam. Akibatnya, pesan-pesan tentang persatuan dan perjuangan yang ingin disampaikan kehilangan daya pukau dan tidak mampu menyentuh hati penonton.
Kekecewaan publik semakin diperparah dengan fakta bahwa film ini diproduksi dalam waktu yang sangat singkat, hanya sekitar satu hingga dua bulan. Dalam industri animasi, waktu produksi yang terbatas seperti ini hampir mustahil menghasilkan karya yang matang secara teknis maupun artistik. Ketika informasi mengenai anggaran produksi yang mencapai hampir Rp7 miliar mencuat ke publik, pertanyaan pun bermunculan: bagaimana mungkin dana sebesar itu tidak berbanding lurus dengan kualitas hasil akhir? Banyak yang merasa bahwa alokasi dana tersebut tidak digunakan secara efektif, dan bahwa film ini lebih terlihat sebagai proyek seremonial yang dikejar tenggat waktu daripada sebagai karya seni yang lahir dari proses kreatif yang tulus dan mendalam.
Kritik dari tokoh industri film turut memperkuat keresahan masyarakat. Sutradara Hanung Bramantyo, misalnya, secara terbuka mempertanyakan urgensi penayangan film ini di tengah antrean ratusan film Indonesia lain yang telah menunggu giliran. Ia menyebut film ini “kopet,” sebuah istilah yang mencerminkan kekecewaan terhadap kualitas dan keputusan strategis di balik peluncurannya. Di media sosial, warganet ramai-ramai menyuarakan ketidakpuasan mereka, mempertanyakan mengapa film ini dijadikan simbol perayaan kemerdekaan padahal secara teknis dan naratif dianggap tidak layak. Kekecewaan ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga menyangkut harapan masyarakat terhadap representasi nasional yang bermartabat dan membanggakan.
Fenomena ini membuka ruang refleksi yang lebih dalam tentang bagaimana seharusnya karya seni, terutama yang mengusung tema kemerdekaan, dirancang dan diproduksi. Sebuah karya yang ingin menyuarakan semangat nasionalisme tidak cukup hanya dengan niat baik atau semangat simbolik. Ia harus dibangun dengan integritas, ketekunan, dan penghormatan terhadap proses kreatif. Ketika sebuah film bertema kemerdekaan justru menimbulkan pertanyaan tentang motivasi di balik pembuatannya, maka momen perayaan itu pun berubah menjadi ajakan untuk introspeksi. Apakah kita sedang merayakan kemerdekaan dengan jiwa yang merdeka, atau sekadar menjalankan seremoni yang kehilangan makna? Film Merah Putih: One For All mungkin telah gagal memenuhi ekspektasi, tetapi kegagalannya bisa menjadi titik tolak untuk membangun ekosistem seni yang lebih jujur, berkualitas, dan benar-benar mencerminkan semangat bangsa.
Kritik yang dilontarkan oleh Hanung Bramantyo bukanlah sekadar keluhan teknis, melainkan sebuah pernyataan yang mencerminkan keresahan mendalam terhadap arah kebijakan perfilman nasional. Ketika seorang sineas senior mempertanyakan urgensi penayangan sebuah film animasi yang dinilai belum layak edar, itu menunjukkan bahwa ada persoalan sistemik dalam proses kurasi dan distribusi karya seni di Indonesia. Penayangan Merah Putih: One For All di tengah antrean panjang film-film lokal lain yang telah melalui proses produksi bertahun-tahun, seolah menunjukkan bahwa aspek simbolik dan seremonial lebih diutamakan daripada kualitas dan kesiapan karya itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah film ini ditayangkan karena memang layak, atau karena ada kepentingan tertentu yang mendorongnya untuk tampil sebagai wajah kemerdekaan?
Di ranah digital, respons masyarakat tak kalah keras. Warganet dari berbagai latar belakang menyuarakan kekecewaan mereka secara terbuka, bahkan dengan nada yang sangat kritis. Banyak yang merasa bahwa film ini tidak pantas dijadikan simbol perayaan kemerdekaan karena kualitasnya dianggap jauh dari standar yang seharusnya. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah karya yang dinilai lemah secara teknis dan naratif bisa mendapatkan panggung sebesar itu, sementara banyak karya anak bangsa lain yang lebih matang dan bermutu justru tidak mendapatkan perhatian serupa. Kekecewaan ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga menyangkut rasa keadilan dan penghargaan terhadap proses kreatif yang sesungguhnya.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia semakin kritis dan peduli terhadap kualitas representasi budaya mereka. Mereka tidak lagi menerima begitu saja simbol-simbol nasional yang disodorkan tanpa pertimbangan artistik dan intelektual yang matang. Dalam konteks ini, Merah Putih: One For All menjadi semacam cermin yang memantulkan kegelisahan kolektif: bahwa semangat kemerdekaan tidak bisa hanya diwujudkan dalam bentuk karya yang seremonial dan instan. Ia harus lahir dari proses yang jujur, mendalam, dan menghormati nilai-nilai perjuangan yang menjadi fondasi bangsa.
Kritik yang muncul bukan berarti menolak semangat nasionalisme, melainkan justru bentuk cinta terhadap tanah air yang menuntut kualitas dan integritas. Masyarakat ingin melihat karya seni yang benar-benar menggugah, yang mampu menghidupkan kembali semangat persatuan dan perjuangan dengan cara yang relevan dan menyentuh. Mereka ingin agar setiap simbol kemerdekaan, termasuk film animasi, menjadi refleksi dari kemerdekaan yang sesungguhnya dalam memajukan kemerdekaan berpikir, berkarya, dan menyuarakan kebenaran. Dalam konteks ini, kegagalan Merah Putih: One For All bisa menjadi pelajaran penting bagi para pembuat kebijakan dan pelaku industri kreatif: bahwa apresiasi publik tidak bisa dibeli dengan simbolisme, melainkan harus diraih melalui kualitas, ketulusan, dan penghormatan terhadap proses.
Keresahan yang muncul dari penayangan Merah Putih: One For All bukan sekadar soal estetika atau teknis produksi, melainkan cerminan dari harapan yang lebih besar: bahwa karya seni, apalagi yang mengusung tema kemerdekaan, harus memiliki kedalaman makna, integritas, dan kualitas yang mampu menggugah kesadaran kolektif. Masyarakat tidak hanya menginginkan tontonan yang menghibur, tetapi juga karya yang mampu membangkitkan semangat, menyentuh hati, dan merepresentasikan perjuangan bangsa dengan cara yang jujur dan bermakna. Ketika sebuah film yang seharusnya menjadi simbol nasional justru menimbulkan pertanyaan tentang motivasi di balik pembuatannya, maka momen perayaan itu berubah menjadi ruang refleksi yang penting. Apakah kita benar-benar sedang merayakan kemerdekaan, atau hanya menjalankan seremoni yang kehilangan jiwa dan makna?
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari publik bukanlah bentuk kebencian, melainkan ekspresi dari kecintaan terhadap bangsa dan harapan akan kemajuan budaya yang autentik. Ketika dana besar digelontorkan untuk sebuah proyek yang hasilnya dianggap tidak sepadan, wajar jika masyarakat mulai bertanya-tanya: apakah ini hanya proyek simbolik, atau ada kepentingan lain yang tersembunyi di baliknya? Dalam iklim sosial yang semakin terbuka dan kritis, dugaan-dugaan pun bermunculan. Jangan-jangan, proyek ini bukan sekadar karya seni, melainkan bagian dari praktik yang lebih gelap, seperti pencucian uang atau pengalihan dana publik yang tidak transparan. Tentu saja, tuduhan semacam ini harus dibuktikan dengan data dan investigasi yang mendalam, tetapi keresahan publik sudah cukup menjadi alarm bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Narasi ini bukan untuk menghasut, melainkan untuk menggugah kesadaran. Masyarakat perlu lebih kritis dalam melihat setiap proyek yang mengatasnamakan nasionalisme. Kita harus berani bertanya: siapa yang diuntungkan? Apa dampaknya bagi publik? Dan apakah nilai-nilai yang diusung benar-benar tercermin dalam karya tersebut? Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang kebebasan berpikir, berkarya, dan mengawasi. Ketika publik mulai berani mempertanyakan, itu artinya demokrasi budaya sedang tumbuh. Dan dari keresahan ini, semoga lahir karya-karya yang lebih jujur, lebih bermutu, dan benar-benar mencerminkan semangat Indonesia yang merdeka.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Film animasi Merah Putih: One For All menghabiskan Dana 6,7 M menjadi Keresahan Publik"
Posting Komentar