-->
Loading...

Perang Santet (1998-1999)

45News id - Pada akhir dekade 1990-an, Banyuwangi dan sejumlah wilayah di Jawa Timur diguncang oleh serangkaian peristiwa kelam yang hingga kini masih menyisakan trauma kolektif. Kasus kekerasan terhadap orang-orang yang diduga sebagai dukun santet menjadi titik balik dalam sejarah sosial Indonesia, memperlihatkan bagaimana ketakutan, stigma, dan kekacauan politik dapat bertranformasi menjadi tragedi. Peristiwa ini bermula pada 6 Februari 1998, ketika Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik, mengeluarkan radiogram kepada seluruh kepala desa untuk mendata para dukun dan paranormal. Tujuan awalnya adalah melindungi mereka dari potensi kekerasan akibat sentimen negatif masyarakat. Namun, niat baik itu berubah menjadi bencana ketika data tersebut bocor dan jatuh ke tangan kelompok tak dikenal yang kemudian melakukan aksi brutal terhadap orang-orang yang tercantum dalam daftar tersebut.

Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik

Gejala awal dari kekacauan ini muncul dalam bentuk kejadian-kejadian aneh yang menyelimuti Banyuwangi. Warga mulai melaporkan kemunculan orang-orang asing yang tampak seperti orang gila, berkeliaran tanpa identitas jelas. Di malam hari, rumah-rumah tertentu mulai ditandai dengan simbol-simbol misterius seperti tanda silang, anak panah, atau coretan-coretan yang mengarah ke rumah seseorang yang diduga memiliki ilmu hitam. Vandalisme ini bukan sekadar teror visual, melainkan menjadi penanda kematian. Dalam banyak kasus, rumah yang telah ditandai akan mengalami pemadaman listrik secara tiba-tiba, lalu penghuni rumah akan diculik atau dibunuh secara sadis oleh kelompok yang disebut masyarakat sebagai “ninja” yang merupakan sosok berpakaian serba hitam yang beroperasi dalam gelap.

Kekerasan ini tidak hanya menimpa mereka yang benar-benar memiliki praktik spiritual atau pengobatan alternatif, tetapi juga menyasar orang-orang tua, penyandang disabilitas, atau mereka yang dianggap “berbeda” oleh masyarakat. Tuduhan santet menjadi alat pembenaran untuk melakukan pembunuhan tanpa proses hukum. Dari Januari hingga Maret 1998, tercatat lima kasus pembunuhan, namun jumlah korban meningkat drastis menjadi puluhan pada September, dan mencapai lebih dari 300 orang hingga akhir 1999. Pemerintah pusat sempat membantah keterlibatan, namun minimnya penegakan hukum dan ketakutan warga untuk bersuara membuat tragedi ini berlangsung nyaris tanpa perlawanan. Banyak korban hilang begitu saja, dan keluarga mereka memilih diam demi keselamatan.

Salah satu kasus yang paling mengguncang dalam rangkaian kekerasan terhadap dukun santet di Banyuwangi adalah tragedi yang menimpa Pak Bondan. Ia dikenal sebagai seorang penyembuh tradisional yang hidup sederhana di pinggiran kota. Malam itu, lampu rumahnya padam berulang kali, sebuah pola yang telah menjadi pertanda kematian di tengah masyarakat yang dicekam teror. Tak lama kemudian, sekelompok orang berseragam hitam menyerbu rumahnya. Keesokan harinya, jasad Pak Bondan ditemukan dengan luka-luka mencolok, tubuhnya penuh sayatan dan memar, seolah menjadi pesan brutal bagi siapa pun yang dianggap memiliki “ilmu hitam.” Tidak ada proses hukum, tidak ada pembelaan. Hanya kematian yang sunyi, dan masyarakat yang memilih bungkam.

Kekerasan ini tidak berhenti di Banyuwangi. Dalam waktu singkat, pola serupa menyebar ke daerah-daerah lain seperti Jember, Bondowoso, Situbondo, bahkan hingga pelosok desa di Jawa Timur. Di setiap tempat, korban dituduh sebagai dukun santet tanpa bukti yang jelas. Mereka bisa saja seorang tetua desa, seorang penyembuh, atau bahkan hanya orang yang dianggap “berbeda.” Tuduhan itu cukup untuk mengundang eksekusi. Masyarakat yang semula hanya penonton, perlahan berubah menjadi pelaku atau pendukung diam. Ketakutan menjadi bahan bakar kekerasan, dan stigma terhadap praktik spiritual tradisional berubah menjadi alat pemusnahan.

Metode eksekusi yang digunakan oleh para pelaku menunjukkan tingkat organisasi yang mengerikan. Kelompok yang dikenal sebagai “ninja” yang berpakaian serba hitam, bergerak cepat dan senyap sehingga menjadi simbol teror. Mereka tidak hanya membunuh, tetapi menciptakan atmosfer horor yang sistematis. Rumah korban ditandai terlebih dahulu, lampu dipadamkan, lalu korban disergap dalam gelap. Beberapa korban diculik dan tak pernah ditemukan, sementara yang lain dibunuh secara terbuka sebagai bentuk intimidasi. Skema pembunuhan ini begitu rapi dan berulang, sehingga banyak pihak meyakini bahwa para pelaku bukanlah warga biasa, melainkan individu-individu yang terlatih dan memiliki akses terhadap informasi serta logistik yang tidak umum.

Dalam upaya memahami kekerasan terhadap mereka yang dituduh sebagai dukun santet di Banyuwangi dan sekitarnya, berbagai teori dan hipotesis bermunculan, masing-masing mencoba menjelaskan akar dari tragedi yang mengguncang masyarakat Jawa Timur pada akhir 1990-an. Salah satu teori yang sempat diangkat oleh pihak kepolisian adalah adanya perang antar dukun santet, seolah-olah konflik internal antar praktisi spiritual menjadi pemicu pembunuhan berantai. Namun, teori ini dianggap menyesatkan dan terlalu menyederhanakan kompleksitas sosial-politik yang melatarbelakangi kekerasan tersebut. Di sisi lain, muncul dugaan bahwa banyak korban sebenarnya adalah aktivis Nahdlatul Ulama (NU), yang secara historis memiliki posisi kritis terhadap kekuasaan. Dalam konteks transisi menuju Reformasi, kekerasan terhadap mereka bisa jadi merupakan bentuk pembalasan atau upaya pembungkaman terhadap kelompok yang dianggap berpengaruh secara ideologis.

Dampak sosial dari kekerasan ini sangat mendalam dan menyebar luas. Ketakutan merasuki masyarakat, membuat keluarga korban enggan melapor atau mencari keadilan. Intimidasi terhadap saksi dan warga sekitar menciptakan atmosfer teror yang membungkam solidaritas dan memperkuat stigma terhadap praktik spiritual tradisional. Penegakan hukum terbukti lemah dan tidak efektif. Meski ratusan tersangka ditangkap, proses hukum berjalan lambat dan tidak transparan. Banyak kasus berakhir tanpa kejelasan, dan pelaku utama tetap tak teridentifikasi. Negara tampak absen dalam melindungi warganya, dan masyarakat dibiarkan berhadapan sendiri dengan kekerasan yang terorganisir dan sistematis.

Motif di balik kekerasan ini pun menjadi bahan spekulasi yang tak kunjung terjawab. Di tengah krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik, muncul dugaan bahwa pembantaian terhadap mereka yang dianggap “berbahaya” secara ideologis adalah bagian dari perebutan kekuasaan lokal. Kekerasan menjadi alat untuk mengamankan posisi, membungkam oposisi, dan mengendalikan sumber daya. Hipotesis tentang perebutan tanah juga mengemuka, mengingat banyak korban adalah pemilik lahan atau tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dalam pengelolaan sumber daya lokal. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, kekerasan menjadi strategi untuk menghapus hambatan dalam proses akuisisi tanah secara ilegal, memperlihatkan bagaimana ekonomi dan politik bisa bersekutu dalam menciptakan tragedi.

Tragedi kekerasan terhadap dukun santet di Banyuwangi bukanlah rangkaian insiden acak, melainkan menunjukkan pola keteraturan yang mengindikasikan perencanaan matang dan keterlibatan pihak-pihak yang memiliki kekuatan struktural. Dari pendataan resmi yang bocor hingga metode eksekusi yang berulang dan terorganisir, semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa kekerasan ini tidak dilakukan oleh massa spontan, melainkan oleh kelompok yang terlatih dan memiliki agenda tersembunyi. Temuan Komnas HAM bahkan menyebutkan bahwa pembantaian ini memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan bukti permulaan yang cukup untuk menunjukkan keterlibatan aktor intelektual. Pola kekerasan yang menyebar lintas wilayah, penggunaan simbol-simbol teror, dan penghilangan korban secara sistematis memperkuat dugaan bahwa ini bukan sekadar ledakan emosi masyarakat, melainkan operasi yang diarahkan secara strategis.

Kekerasan ini juga memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan hukum di tengah masyarakat yang dicekam ketakutan. Ketika tuduhan liar bisa berujung pada eksekusi brutal tanpa proses hukum, maka yang runtuh bukan hanya nyawa manusia, tetapi juga fondasi keadilan itu sendiri. Keluarga korban yang memilih diam, aparat yang lamban, dan masyarakat yang terpecah antara rasa takut dan stigma, semuanya menjadi bagian dari ekosistem kekerasan yang dibiarkan tumbuh. Dalam konteks transisi politik menuju Reformasi, peristiwa ini menjadi cermin dari bagaimana kekuasaan bisa memanipulasi ketakutan untuk mengamankan kepentingan tertentu. Dugaan motif politik, perebutan tanah, dan konflik ideologis menjadi lapisan-lapisan yang memperumit tragedi ini, menjadikannya bukan hanya soal santet, tetapi soal siapa yang berhak hidup dan siapa yang bisa dihilangkan tanpa pertanggungjawaban.

Yang paling mengkhawatirkan adalah potensi terulangnya peristiwa serupa di masa depan. Ketika sistem hukum tidak mampu memberikan keadilan, dan masyarakat dibiarkan hidup dalam ketakutan serta prasangka, maka benih kekerasan akan terus tumbuh. Tuduhan terhadap yang “berbeda”, yang “tidak biasa”, atau yang “tidak sesuai norma” bisa kembali menjadi alasan untuk melakukan pembunuhan. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, di mana informasi bisa dimanipulasi dan stigma bisa menyebar lebih cepat dari fakta, maka kekerasan seperti di Banyuwangi bukan hanya kenangan kelam, tetapi ancaman laten yang bisa muncul kapan saja. Tanpa refleksi kolektif dan reformasi sistemik, luka sejarah ini bisa menjadi pola berulang yang terus menghantui generasi berikutnya.

Kasus Banyuwangi adalah peringatan keras bahwa ketakutan yang dilegitimasi oleh kekuasaan bisa berubah menjadi mesin pembunuh yang tak terlihat. Ia mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya soal hukum, tetapi soal keberanian untuk melawan stigma, melindungi yang rentan, dan membongkar narasi-narasi palsu yang digunakan untuk membenarkan kekerasan. Dalam menghadapi masa depan, kita tidak hanya perlu mengingat, tetapi juga membangun sistem yang mampu mencegah tragedi serupa. Karena jika kita gagal belajar dari sejarah, maka kita sedang menyiapkan panggung bagi kekerasan yang sama untuk kembali terjadi dengan wajah yang berbeda, tetapi luka yang sama dalam.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Perang Santet (1998-1999)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel