-->
Loading...

Indonesia Akan Masuk Mode Darurat Militer?


Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin Dalam rapat terbatas yang digelar di kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang pada 29 Agustus 2025

45News id - Gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia pada akhir Agustus 2025 bukan sekadar luapan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan tunjangan DPR. Ia menjelma menjadi sebuah krisis multidimensi yang mengguncang fondasi sosial dan politik negara. Awalnya, protes-protes berlangsung damai, digerakkan oleh mahasiswa, buruh, dan kelompok sipil yang menuntut transparansi dan keadilan anggaran. Namun, dalam hitungan hari, demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan yang meluas ke berbagai kota besar. Gedung-gedung pemerintahan dibakar, fasilitas publik dirusak, dan rumah pejabat negara, termasuk kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani, menjadi sasaran amuk massa. Media sosial dipenuhi dengan video-video dramatis: api membubung dari kantor DPRD, warga berlarian menghindari gas air mata, dan aparat keamanan kewalahan menghadapi gelombang massa yang tak terkoordinasi.

Di tengah memuncaknya ketegangan nasional, usulan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin untuk menetapkan status darurat militer menjadi titik api dalam dinamika politik Istana. Dalam rapat terbatas yang digelar di kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang pada 29 Agustus 2025, Sjafrie tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang kedaruratan, sebuah dokumen yang jika disahkan akan memberikan kewenangan penuh kepada militer untuk mengambil alih penanganan krisis sosial yang saat itu telah meluas ke berbagai daerah. Menurut laporan investigatif Tempo, Sjafrie menyampaikan bahwa “dengan status darurat militer, tentara bakal memimpin upaya meredam demonstrasi”.

Presiden Prabowo, yang dikenal memiliki latar belakang militer dan naluri strategis, sempat mempertimbangkan usulan tersebut dengan serius. Ia bahkan menghubungi seorang jenderal purnawirawan untuk meminta pertimbangan moral dan historis atas langkah yang akan diambil. Namun, respons dari lingkaran dalam Istana dan elite politik sangat tegas: penolakan. Para menteri, tokoh partai, dan pejabat negara melakukan berbagai pendekatan, dari diplomasi pribadi hingga tekanan politik, untuk meyakinkan Presiden agar tidak menandatangani draf tersebut. Mereka menilai bahwa pemberlakuan darurat militer akan menjadi preseden berbahaya bagi demokrasi Indonesia dan berpotensi memperburuk situasi sosial yang sudah rapuh.

Di tengah tarik-menarik dua kubu antara yang mendukung pendekatan militeristik dan yang mengusung jalur sipil dari Prabowo akhirnya mengambil keputusan yang menentukan. Ia memilih untuk tidak menetapkan status darurat militer. Keputusan ini bukan hanya meredakan ketegangan politik internal, tetapi juga menjadi sinyal bahwa pemerintah masih berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan pada 31 Agustus 2025, Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa “TNI dan pemerintah menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk memberlakukan darurat militer. Semua langkah yang diambil bertujuan untuk menjaga stabilitas negara dan memastikan proses demokrasi tetap berjalan sesuai dengan konstitusi”.

Penetapan darurat militer bukanlah keputusan yang ringan, melainkan langkah konstitusional yang memiliki konsekuensi luas terhadap struktur kekuasaan, hak-hak sipil, dan kehidupan demokratis. Dalam kerangka hukum Indonesia, Perpu No. 23 Tahun 1959 menjadi landasan utama yang mengatur keadaan bahaya, termasuk darurat militer. Namun, dasar konstitusionalnya berakar pada Pasal 12 UUD 1945, yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya dan menetapkan syarat serta akibatnya melalui undang-undang. Artinya, keputusan ini berada sepenuhnya dalam domain eksekutif, dan penafsirannya sangat bergantung pada subjektivitas Presiden sebagai kepala negara.

Ketika darurat militer diberlakukan, kekuasaan sipil secara formal dialihkan ke otoritas militer. Ini berarti bahwa militer tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga dapat mengambil alih fungsi-fungsi administratif dan pemerintahan di wilayah yang terdampak. Dalam praktiknya, hal ini bisa mencakup penetapan jam malam, pembatasan kebebasan berkumpul, pengendalian media, hingga kewenangan penahanan administratif tanpa proses hukum biasa. Meski langkah-langkah ini dimaksudkan untuk meredam krisis, mereka juga membuka ruang bagi penyimpangan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama jika tidak disertai dengan pengawasan ketat dan batasan waktu yang jelas.

Secara internasional, penetapan darurat militer harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum humaniter dan hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara pihak dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap penangguhan hak (derogation) selama keadaan darurat harus bersifat proporsional, tidak diskriminatif, dan sementara. Negara juga wajib melaporkan kepada PBB mengenai hak-hak apa saja yang ditangguhkan dan alasan penangguhannya. Dengan kata lain, meskipun hukum nasional memberikan ruang bagi tindakan luar biasa, hukum internasional tetap menjadi pagar etis dan legal yang tidak boleh diabaikan.

Dalam konteks Indonesia, sejarah darurat militer membawa jejak panjang yang kompleks. Dari masa konfrontasi hingga penanganan konflik internal, pendekatan militeristik sering kali meninggalkan luka sosial dan trauma kolektif. Oleh karena itu, setiap wacana tentang pemberlakuan darurat militer harus dipertimbangkan secara matang, tidak hanya dari sisi keamanan, tetapi juga dari perspektif keadilan, demokrasi, dan rekonsiliasi sosial. Negara tidak boleh tergoda untuk menggunakan kekuatan sebagai solusi instan atas ketidakpuasan publik, melainkan harus memperkuat institusi sipil, membuka ruang dialog, dan membangun kepercayaan yang menjadi fondasi stabilitas jangka panjang.

Dalam menghadapi wacana darurat militer, kita tidak hanya dihadapkan pada pilihan antara stabilitas dan kebebasan, tetapi juga pada ujian kedewasaan demokrasi kita sendiri. Ketika negara terguncang oleh krisis sosial, godaan untuk mengambil jalan pintas melalui kekuasaan koersif selalu mengintai. Namun sejarah telah mengajarkan bahwa kekuatan yang tidak dibatasi oleh hukum dan akuntabilitas publik sering kali meninggalkan luka yang dalam dan berkepanjangan. Maka, keputusan untuk tidak menetapkan status darurat militer bukan sekadar strategi politik, melainkan pernyataan nilai: bahwa bangsa ini memilih untuk berdiri di atas fondasi sipil, dialog, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Sebagai warga negara, kita memiliki peran penting dalam menjaga agar prinsip-prinsip demokrasi tidak hanya menjadi retorika, tetapi menjadi praktik yang hidup dalam setiap keputusan publik. Kita perlu waspada terhadap narasi yang membenarkan kekerasan atas nama ketertiban, dan sebaliknya, mendorong pendekatan yang mengutamakan transparansi, partisipasi, dan keadilan. Dalam situasi genting, sikap bijak bukan berarti diam atau pasrah, melainkan aktif mengawal proses politik dengan kritis dan empatik. Kita harus berani bertanya: apakah solusi yang ditawarkan benar-benar menyelesaikan akar masalah, atau hanya menekan gejalanya?

Narasi ini bukan hanya tentang satu momen politik, tetapi tentang arah masa depan bangsa. Apakah kita akan membiarkan ketakutan mengatur kebijakan, atau memilih keberanian untuk membangun ruang yang lebih inklusif dan manusiawi? Di tengah riuhnya opini dan tekanan, sikap bijak adalah kemampuan untuk melihat melampaui kepentingan jangka pendek, dan berani memperjuangkan nilai-nilai yang akan membentuk generasi mendatang. Karena pada akhirnya, demokrasi bukanlah warisan, melainkan tanggung jawab yang harus terus diperjuangkan dengan akal sehat, hati yang terbuka, dan keberanian untuk berkata: kita bisa lebih baik dari ini.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Indonesia Akan Masuk Mode Darurat Militer?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel