-->
Loading...

Game Upin & Ipin Universe Tuai Kontroversi: Dari Harapan Besar hingga Seruan Boikot

Gambar Diambil dari platform Steam

45news.id - Setelah penantian panjang dan ekspektasi tinggi dari para penggemar animasi anak-anak asal Malaysia, game Upin & Ipin Universe akhirnya resmi dirilis pada 17 Juli 2025 untuk berbagai platform seperti PC, PlayStation 4 dan 5, serta Nintendo Switch. Game ini digadang-gadang sebagai tonggak baru dalam industri game Asia Tenggara, terutama karena dibangun dengan Unreal Engine 5 dan dikembangkan oleh Streamline Studios yang sebelumnya terlibat dalam proyek besar seperti Death Stranding dan Street Fighter 6. Namun, hanya dalam hitungan hari, harapan itu berubah menjadi gelombang kritik yang membanjiri media sosial dan forum komunitas gamer ternama seperti Steam, Reddit, dan X (dulu Twitter).

Salah satu isu paling ramai dibicarakan adalah soal harga. Dengan banderol Rp579 ribu hingga Rp654 ribu tergantung platform, banyak gamer merasa harga tersebut tidak sepadan dengan kualitas yang ditawarkan. Di Steam, ulasan bertagar “Mixed” menjadi bukti bahwa sentimen publik terbelah. Beberapa pengguna menyebut harga game ini “tidak masuk akal” untuk ukuran game yang ditujukan bagi anak-anak dan keluarga. Komparasi pun bermunculan gamer membandingkan harga Upin & Ipin Universe dengan game AAA seperti The Witcher 3 atau Elden Ring, yang menawarkan dunia lebih luas, cerita lebih kompleks, dan grafis yang jauh lebih matang.

Kekecewaan semakin dalam ketika masalah teknis mulai bermunculan. Meskipun dibangun dengan Unreal Engine 5, banyak pemain melaporkan bug serius seperti animasi patah-patah, karakter tersangkut objek, dan glitch visual yang mengganggu pengalaman bermain. Salah satu yang paling viral adalah kemunculan karakter Tok Dalang yang berdiri di atas air dalam posisi tak wajar cuplikan ini tersebar luas di kanal YouTube dan TikTok, memicu gelombang tawa sekaligus kritik dari komunitas streamer. Beberapa gamer bahkan menyebut game ini terasa seperti proyek yang belum selesai, dirilis terburu-buru demi mengejar momentum pasar.

Di media sosial, tagar seperti #BoikotLesCopaque dan #BoikotStreamlineMedia sempat menjadi tren di Malaysia, menandakan kekecewaan yang melampaui sekadar urusan teknis. Komunitas gamer ternama seperti Windah Basudara dan Nmia Gaming turut mengangkat isu ini, termasuk dugaan penggunaan klip konten tanpa izin dan masalah internal perusahaan pengembang. Banyak gamer yang awalnya ingin mendukung produk lokal, akhirnya merasa kecewa karena kualitas dan transparansi yang tidak sesuai harapan.

Narasi yang berkembang di media sosial bukan hanya soal harga dan bug, tetapi juga soal harapan yang dikhianati. Upin & Ipin Universe seharusnya menjadi game ramah anak yang menyenangkan dan terjangkau. Namun, bagi banyak gamer, ia justru menjadi simbol dari bagaimana ekspektasi bisa runtuh jika eksekusi tidak dilakukan dengan hati-hati dan menghargai komunitas yang menjadi basis utamanya.



Windah Basudara Seorang Streamer Content Creator Youtube Terkenal

Insiden yang menimpa Windah Basudara saat menayangkan gameplay Upin & Ipin Universe bukan sekadar persoalan teknis terkait klaim hak cipta, melainkan sebuah cerminan dari ketimpangan sistemik dalam ekosistem industri game regional dan perlakuan terhadap konten kreator. Windah, seorang figur publik yang selama ini dikenal konsisten mendukung produk lokal dengan cara yang autentik dan organik, menjadi korban dari mekanisme perlindungan hak cipta yang tidak memihak. Meskipun ia membeli game tersebut dengan uang pribadi dan memainkan versi resmi dalam siaran langsung yang ditonton jutaan orang, YouTube secara otomatis memberikan empat klaim hak cipta karena penggunaan musik dalam game. Klaim ini berdampak langsung pada pendapatan yang seharusnya ia terima dari tayangan tersebut, yang diperkirakan mencapai puluhan juta rupiah. Ironisnya, pihak pengembang justru memanfaatkan cuplikan dari siaran Windah sebagai bahan promosi tanpa izin atau bentuk kompensasi apapun.

Reaksi keras dari komunitas gamer terhadap insiden ini memperlihatkan keresahan kolektif atas cara industri memandang konten kreator bukan sebagai mitra, tetapi sebagai instrumen promosi gratis. Banyak yang menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk eksploitasi: Windah menyumbang visibilitas, namun tak diberi perlindungan atau penghargaan setimpal. Klarifikasi dari pihak Les’ Copaque menyatakan bahwa klaim hak cipta bersifat otomatis dan tidak disengaja. Mereka menjanjikan fitur "Streamer Mode" untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Namun publik menilai ini sebagai respons yang reaktif dan terlalu lambat. Isu utamanya bukan hanya pada klaim otomatis, tetapi pada kurangnya transparansi dan etika dalam relasi antara pengembang dan kreator. Ketika video Windah dijadikan alat marketing, nilai moral dan profesionalitas pun dipertanyakan.

Situasi ini membuka ruang refleksi: apakah sistem digital saat ini benar-benar siap untuk melindungi hak-hak konten kreator di Asia Tenggara? Konten kreator memainkan peran penting dalam menghidupkan game baru di mata publik. Mereka menjadi jembatan antara industri dan konsumen, menghadirkan pengalaman nyata dari produk yang dipromosikan. Jika mereka diperlakukan tanpa etika terutama dalam konteks regional yang masih membangun reputasi industri dampaknya bisa merusak kepercayaan jangka panjang. Windah Basudara, dalam hal ini, bukan hanya menjadi korban, tetapi simbol dari tantangan yang dihadapi para kreator lokal dalam ekosistem digital yang belum sepenuhnya adil dan inklusif.

Game Upin & Ipin Universe mungkin terlihat sebagai permainan ringan berbasis nostalgia bagi sebagian orang dewasa. Namun, bagi anak-anak, game ini bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah ruang imajinatif yang kaya akan interaksi sosial, pengenalan budaya lokal, dan pembentukan nilai-nilai kemanusiaan yang halus namun mendalam. Di dalam dunia digital Kampung Durian Runtuh, anak-anak tidak hanya berinteraksi dengan karakter-karakter ikonik mereka juga belajar memahami makna gotong royong, ketekunan, dan empati melalui tindakan-tindakan kecil seperti menanam padi, membantu Tok Dalang merangkai wayang, atau sekadar mengantar kuih kepada Mak Uda. Misi-misi sederhana itu menjadi pengalaman pendidikan yang tidak terasa seperti pelajaran formal, melainkan bagian dari kehidupan yang akrab dan menyenangkan.

Bagi anak-anak diaspora di luar negeri, game ini menjadi medium yang menghubungkan mereka dengan akar budaya yang mulai terasa jauh. Melalui karakter Upin, Ipin, Kak Ros, dan Opah, mereka mengenal bahasa Melayu, nilai kekeluargaan, serta suasana kampung yang mungkin tak lagi mereka jumpai dalam keseharian. Bahkan para orang tua pun ikut terlibat, duduk di samping anak-anak mereka, mengenang masa lalu dan menciptakan kembali kenangan melalui permainan digital. Human interest dalam konteks ini bukan hanya tentang anak yang bermain game, tetapi tentang lintas generasi yang saling memahami melalui layar dan kenangan bersama.

Namun dunia virtual ini tidak selalu ideal. Game Upin & Ipin Universe tidak lepas dari kendala teknis seperti bug, kontrol yang tidak intuitif, dan harga rilis yang cukup tinggi. Anak-anak dari latar belakang ekonomi yang terbatas mungkin tidak dapat menikmati permainan ini secara langsung, hanya menonton cuplikan di YouTube atau mendengar cerita dari teman. Tapi justru dari keterbatasan inilah tumbuh rasa ingin tahu yang tulus. Anak-anak mulai menggambar karakter dengan tangan mereka sendiri, membuat cerita versi mereka, dan aktif di komunitas daring. Teknologi yang terbatas tidak menghalangi kreativitas maupun keterikatan emosional mereka terhadap dunia yang mereka cintai.

Dalam arus digital yang dipenuhi algoritma dan konsumsi instan, Upin & Ipin Universe menghadirkan sesuatu yang nyaris tak  terlupakan: momen-momen mikro yang menyentuh jiwa anak-anak. Interaksi sederhana seperti menyapa Mei Mei di pagi hari, memilih kuih favorit Opah, atau menata taman kecil bersama Fizi bukan sekadar fitur permainan ia menjadi cerminan nilai kemanusiaan yang tumbuh perlahan. Nilai yang hadir bukan dari narasi besar atau kejadian luar biasa, melainkan dari tindakan ringan yang menghubungkan anak dengan dunia luar, membangun rasa hormat, kasih sayang, dan spiritualitas. Dalam permainan ini, nilai-nilai itu tumbuh diam-diam, membentuk jiwa-jiwa kecil menjadi lebih peka, hangat, dan terhubung.

Upin & Ipin Universe kini merepresentasikan titik temu antara ambisi industri kreatif lokal dan kenyataan keras pengembangan produk digital. Sebagai warisan budaya pop yang telah menemani masa kecil jutaan anak di Asia Tenggara, IP ini memikul harapan besar saat melangkah ke dunia game. Publik menginginkan bukan sekadar permainan, tapi pengalaman yang menghidupkan kembali suasana kampung, nilai kekeluargaan, dan identitas lokal dalam balutan teknologi interaktif. Namun, seiring peluncurannya, ekspektasi tersebut mulai goyah. Pengguna menghadapi kendala teknis seperti bug yang mengganggu, antarmuka yang membingungkan, serta fitur yang belum matang secara desain dan performa. Lebih dari itu, cara pengelolaan dan komunikasi dari pihak developer dianggap tidak transparan, menciptakan ketegangan antara komunitas pemain dan tim pengembang. Kritik ini memunculkan gerakan boikot yang tidak sekadar menolak produk, melainkan menggugat tanggung jawab kreator terhadap warisan budaya yang mereka kelola. Banyak pemain merasa bahwa cinta mereka terhadap karakter dan nilai-nilai yang diusung IP ini tidak dihargai sebagaimana mestinya. 

Maka, Upin & Ipin Universe menjadi refleksi penting: bahwa potensi IP lokal untuk bersaing di skala global tidak cukup hanya dengan kekuatan nostalgia atau branding, melainkan harus ditopang oleh eksekusi teknis yang solid dan hubungan yang jujur dengan komunitas pengguna. Ke depan, nasib game ini akan sangat bergantung pada bagaimana developer merespons kritik dengan rendah hati dan tindakan nyata. Jika mereka mampu membuka ruang dialog, melakukan perbaikan substansial, dan merawat kepercayaan yang telah lama ditanamkan oleh publik, bukan tidak mungkin Upin & Ipin Universe dapat bangkit sebagai contoh keberhasilan IP lokal yang berdaya tahan. Namun jika respons tetap minimal dan reaktif, game ini justru akan dikenang sebagai pelajaran pahit tentang bagaimana harapan bisa runtuh ketika visi kreatif tidak berjalan seiring dengan komitmen profesional. (js)

Belum ada Komentar untuk "Game Upin & Ipin Universe Tuai Kontroversi: Dari Harapan Besar hingga Seruan Boikot"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel