-->
Loading...

Mengenang Kudatuli: Perjuangan Menegakkan Demokrasi Dan Keadilan

ilustrasi ini dibuat menggunakan AI Copilot

45news.id - PDI Perjuangan menggelar peringatan 29 tahun Peristiwa 27 Juli 1996 di semua daerah. Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI yang masih dikuasai oleh DPP PDI pimpinan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri oleh kelompok pendukung Soerjadi. Peristiwa itu kemudian meluas menjadi kerusuhan massal di Jakarta. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996). Peristiwa yang sarat dengan muatan politik ini kemudian semakin mengukuhkan Megawati sebagai simbol perlawanan terhadap otoritarian rezim Orde Baru dan simbol perjuangan rakyat dalam menegakkan demokrasi dan keadilan.

Di era Orde Baru, masyarakat hanya diberikan 3 (tiga) pilihan politiknya dalam menyampaikan aspirasi politiknya di Pemilu. Yaitu 2 (dua) partai politik (PPP dan PDI) dan Golkar (Golongan Karya). Sejak Pemilu 1977 hingga Pemilu 1997, surat suara menampilkan gambar lambang ketiga OPP (Organisasi Peserta Pemilu) tersebut. Tampilnya keluarga Bung Karno yang ditandai dengan bergabungnya putra putri Bung Karno yaitu Megawati dan Guruh di PDI, membuat suhu politik menghangat. Kampanye PDI di 2 (dua) kali Pemilu yaitu 1987 dan 1992, mampu menghadirkan massa yang meningkat tajam dibanding Pemilu sebelumnya, apalagi bila mendatangkan Megawati dan Guruh sebagai juru kampanye nasional. Massa kampanye semakin penuh sesak. Itu kemudian linier dengan peningkatan jumlah suara PDI di Pemilu dan kursi DPR bagi PDI yang naik secara signifikan. 

Mendekati Pemilu 1997, suhu politik di internal PDI meningkat. Sebagian pengurus DPP PDI mendapatkan ijin pemerintah menggelar Kongres di Medan. Meskipun tanpa adanya restu dan kehadiran Ketua Umum PDI, Megawati Soekarnoputri yang tetap mempertahankan mandat peserta Munas PDI 1993 untuk masa periode hingga 1998, Kongres Medan 1996 tetap berlangsung dengan dihadiri oleh Mendagri sebagai wakil pemerintah yang juga merestui Soerjadi sebagai Ketua Umum.   

Hingga sampailah pada suatu pagi yang menyengat di Jakarta, 27 Juli 1996, suhu politik Indonesia mencapai titik didih. Di Jalan Diponegoro No. 58, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menjadi pusat ketegangan nasional. Di balik pagar kantor itu, ratusan pendukung Megawati Soekarnoputri berjaga, mempertahankan mandat KLB PDI di Surabaya dan Munas PDI di Jakarta tahun 1993 yang menetapkannya sebagai Ketua Umum PDI. Mereka menolak hasil Kongres Medan 1996 yang direstui pemerintah dan menetapkan Soerjadi sebagai ketua umum. Mimbar bebas digelar setiap hari sebagai bentuk perlawanan damai terhadap intervensi kekuasaan. Namun, mimbar itu dianggap ancaman oleh aparat keamanan dan elite politik, bahkan Panglima ABRI saat itu, Jenderal Feisal Tanjung, menuduh kegiatan tersebut sebagai makar. 


Ketegangan memuncak pada dini hari 27 Juli. Sekitar pukul 01.00 WIB, sekitar 300 pendukung Megawati berjaga di kantor PDI, sebagian tidur di pelataran dan trotoar. Menjelang subuh, mobil-mobil polisi mulai melintas, menandakan sesuatu akan terjadi. Pukul 06.15 WIB, massa berbaju merah yang mengaku pendukung Soerjadi tiba di depan kantor. Mereka datang dengan truk-truk, membawa batu dan benda keras. Bentrokan pun pecah. Spanduk di depan kantor dibakar, lemparan batu saling bersahutan, dan suasana berubah menjadi medan perang.

Pukul 08.00 WIB, aparat keamanan mengambil alih kantor DPP PDI sepenuhnya. Jalan Diponegoro ditutup, dan akses ke lokasi diblokir. Sekitar 50 pendukung Megawati yang masih berada di dalam kantor diangkut dengan truk dan ambulans. Namun, massa di luar kantor terus berdatangan. Ribuan orang, termasuk aktivis LSM dan mahasiswa, berkumpul di bawah jembatan layang Cikini, menggelar mimbar bebas sebagai bentuk solidaritas. Bentrokan kembali terjadi antara massa dan aparat, memicu kerusuhan yang meluas ke Salemba dan Kramat.

Menjelang siang, kerusuhan semakin brutal. Tiga bus kota terbakar, termasuk satu bus tingkat. Gedung-gedung di Salemba ikut terbakar. Aparat militer dikerahkan dalam jumlah besar: lima panser, 17 truk, dan kendaraan pemadam kebakaran. Namun, api belum berhasil dipadamkan hingga malam. Di tengah kekacauan, wartawan pun menjadi korban. Sukma, fotografer dari majalah Ummat, dipukuli dan diseret oleh pasukan loreng saat meliput bentrokan.

Komnas HAM mencatat enam bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pelanggaran kebebasan berkumpul, perlindungan jiwa, perlakuan tidak manusiawi, dan perlindungan atas harta benda. Lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang dinyatakan hilang. Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp100 miliar. Investigasi dilakukan oleh Komnas HAM sehari setelah kejadian, dipimpin oleh Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa. Namun, hasil penyelidikan tidak pernah ditindaklanjuti secara tuntas oleh pemerintah.

Pasca peristiwa, pemerintah Orde Baru menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang kerusuhan. Budiman Sudjatmiko dan sejumlah aktivis PRD dijebloskan ke penjara. Tuduhan itu dianggap sebagai upaya pengalihan isu dan pembungkaman oposisi. Dalam pengadilan koneksitas era Presiden Megawati, hanya seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang divonis ringan. Dua perwira militer yang diadili, Kolonel Budi Purnama dan Letnan Suharto, divonis bebas.

Kudatuli bukan sekadar konflik internal partai. Ia adalah cerminan represi politik Orde Baru terhadap suara rakyat. Peristiwa ini menjadi titik balik yang membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya demokrasi. Mimbar bebas yang digelar pendukung Megawati menjadi simbol keberanian sipil, dan penyerbuan terhadapnya menjadi bukti bahwa kekuasaan saat itu tidak segan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan dominasi.

Gerakan reformasi 1998 yang menggulingkan Soeharto tidak bisa dilepaskan dari Kudatuli. Tragedi ini menjadi katalis perubahan, membuka jalan bagi demokratisasi dan kebebasan politik. PDIP menjadikan Kudatuli sebagai fondasi moral perjuangan politiknya. Setiap tahun, peringatan digelar dengan tabur bunga dan doa bersama di kantor pusat PDIP. Bagi mereka, Kudatuli adalah pusaka politik yang harus dijaga dan diwariskan.

Namun, luka Kudatuli belum sepenuhnya sembuh. Para korban dan keluarga masih menuntut keadilan. Komnas HAM menyebut penyelesaian kasus ini membutuhkan dukungan politik lintas pihak. Sayangnya, hingga kini, kasus Kudatuli hanya berada di tahap pengawasan biasa. Monumen 27 Juli yang dibangun di lokasi kejadian menjadi pengingat bisu bahwa sejarah kelam itu belum sepenuhnya dituntaskan.

Kudatuli adalah pelajaran pahit tentang harga demokrasi. Ini merupakan titik nadir demokrasi. Ia mengajarkan bahwa suara rakyat bisa dibungkam, tetapi tidak bisa dipadamkan. Dari abu kerusuhan itu, lahir semangat baru untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan demokratis. Kudatuli bukan hanya milik PDIP, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia yang percaya bahwa keberanian sipil adalah fondasi utama dalam melawan tirani dan membangun masa depan yang lebih bermartabat. (js)


Belum ada Komentar untuk "Mengenang Kudatuli: Perjuangan Menegakkan Demokrasi Dan Keadilan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel