Mengenang Kudatuli: Perjuangan Menegakkan Demokrasi Dan Keadilan
Ketegangan memuncak pada dini hari 27 Juli. Sekitar pukul 01.00 WIB, sekitar 300 pendukung Megawati berjaga di kantor PDI, sebagian tidur di pelataran dan trotoar. Menjelang subuh, mobil-mobil polisi mulai melintas, menandakan sesuatu akan terjadi. Pukul 06.15 WIB, massa berbaju merah yang mengaku pendukung Soerjadi tiba di depan kantor. Mereka datang dengan truk-truk, membawa batu dan benda keras. Bentrokan pun pecah. Spanduk di depan kantor dibakar, lemparan batu saling bersahutan, dan suasana berubah menjadi medan perang.
Pukul 08.00 WIB, aparat keamanan mengambil alih kantor DPP PDI sepenuhnya. Jalan Diponegoro ditutup, dan akses ke lokasi diblokir. Sekitar 50 pendukung Megawati yang masih berada di dalam kantor diangkut dengan truk dan ambulans. Namun, massa di luar kantor terus berdatangan. Ribuan orang, termasuk aktivis LSM dan mahasiswa, berkumpul di bawah jembatan layang Cikini, menggelar mimbar bebas sebagai bentuk solidaritas. Bentrokan kembali terjadi antara massa dan aparat, memicu kerusuhan yang meluas ke Salemba dan Kramat.
Menjelang siang, kerusuhan semakin brutal. Tiga bus kota terbakar, termasuk satu bus tingkat. Gedung-gedung di Salemba ikut terbakar. Aparat militer dikerahkan dalam jumlah besar: lima panser, 17 truk, dan kendaraan pemadam kebakaran. Namun, api belum berhasil dipadamkan hingga malam. Di tengah kekacauan, wartawan pun menjadi korban. Sukma, fotografer dari majalah Ummat, dipukuli dan diseret oleh pasukan loreng saat meliput bentrokan.
Komnas HAM mencatat enam bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pelanggaran kebebasan berkumpul, perlindungan jiwa, perlakuan tidak manusiawi, dan perlindungan atas harta benda. Lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang dinyatakan hilang. Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp100 miliar. Investigasi dilakukan oleh Komnas HAM sehari setelah kejadian, dipimpin oleh Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa. Namun, hasil penyelidikan tidak pernah ditindaklanjuti secara tuntas oleh pemerintah.
Pasca peristiwa, pemerintah Orde Baru menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang kerusuhan. Budiman Sudjatmiko dan sejumlah aktivis PRD dijebloskan ke penjara. Tuduhan itu dianggap sebagai upaya pengalihan isu dan pembungkaman oposisi. Dalam pengadilan koneksitas era Presiden Megawati, hanya seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang divonis ringan. Dua perwira militer yang diadili, Kolonel Budi Purnama dan Letnan Suharto, divonis bebas.
Kudatuli bukan sekadar konflik internal partai. Ia adalah cerminan represi politik Orde Baru terhadap suara rakyat. Peristiwa ini menjadi titik balik yang membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya demokrasi. Mimbar bebas yang digelar pendukung Megawati menjadi simbol keberanian sipil, dan penyerbuan terhadapnya menjadi bukti bahwa kekuasaan saat itu tidak segan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan dominasi.
Gerakan reformasi 1998 yang menggulingkan Soeharto tidak bisa dilepaskan dari Kudatuli. Tragedi ini menjadi katalis perubahan, membuka jalan bagi demokratisasi dan kebebasan politik. PDIP menjadikan Kudatuli sebagai fondasi moral perjuangan politiknya. Setiap tahun, peringatan digelar dengan tabur bunga dan doa bersama di kantor pusat PDIP. Bagi mereka, Kudatuli adalah pusaka politik yang harus dijaga dan diwariskan.
Namun, luka Kudatuli belum sepenuhnya sembuh. Para korban dan keluarga masih menuntut keadilan. Komnas HAM menyebut penyelesaian kasus ini membutuhkan dukungan politik lintas pihak. Sayangnya, hingga kini, kasus Kudatuli hanya berada di tahap pengawasan biasa. Monumen 27 Juli yang dibangun di lokasi kejadian menjadi pengingat bisu bahwa sejarah kelam itu belum sepenuhnya dituntaskan.
Kudatuli adalah pelajaran pahit tentang harga demokrasi. Ini merupakan titik nadir demokrasi. Ia mengajarkan bahwa suara rakyat bisa dibungkam, tetapi tidak bisa dipadamkan. Dari abu kerusuhan itu, lahir semangat baru untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan demokratis. Kudatuli bukan hanya milik PDIP, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia yang percaya bahwa keberanian sipil adalah fondasi utama dalam melawan tirani dan membangun masa depan yang lebih bermartabat. (js)
Belum ada Komentar untuk "Mengenang Kudatuli: Perjuangan Menegakkan Demokrasi Dan Keadilan"
Posting Komentar