Perubahan Disney dan Pengaruh terhadap mental Anak
45News id - Perjalanan Disney sebagai raksasa hiburan dunia dimulai dari sebuah mimpi sederhana yang lahir di awal abad ke-20. Pada tahun 1923, Walt Disney bersama saudaranya Roy O. Disney mendirikan Disney Brothers Cartoon Studio di Hollywood, California. Salah satu karya awal mereka adalah film pendek berjudul Alice’s Wonderland, yang menampilkan kombinasi live-action dan animasi. Film ini menjadi cikal bakal dari seri Alice Comedies, dan menandai langkah pertama Walt dalam dunia animasi. Studio kecil ini kemudian berkembang menjadi Walt Disney Studios, yang kelak menjadi pusat kreativitas dan inovasi dalam industri hiburan global.
Titik balik penting dalam sejarah Disney terjadi pada tahun 1928, ketika Walt menciptakan karakter ikonik Mickey Mouse. Debut Mickey dalam film Steamboat Willie bukan hanya memperkenalkan tokoh yang akan menjadi maskot abadi Disney, tetapi juga menandai revolusi teknis dalam dunia animasi: penggunaan suara yang tersinkronisasi secara penuh. Film ini menjadi sensasi dan membuka jalan bagi Disney untuk terus bereksperimen dengan teknologi dan narasi, termasuk dalam film animasi panjang pertama mereka, Snow White and the Seven Dwarfs, yang dirilis pada tahun 1937.
Setelah beberapa dekade penuh inovasi dan tantangan, Disney memasuki era kejayaan baru di bawah kepemimpinan Bob Iger, yang menjabat sebagai CEO mulai tahun 2005. Iger dikenal sebagai arsitek transformasi besar Disney, dengan strategi akuisisi yang agresif namun visioner. Ia berhasil membawa Pixar ke dalam keluarga Disney pada tahun 2006, diikuti oleh Marvel Entertainment pada 2009, dan Lucasfilm pada 2012. Langkah-langkah ini tidak hanya memperluas portofolio Disney, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin industri hiburan global.
Film-film hasil akuisisi tersebut menjadi tonggak kesuksesan Disney di era modern. Up dan Toy Story, hasil kolaborasi dengan Pixar, menyentuh hati penonton lintas generasi dengan cerita yang emosional dan visual yang memukau. Sementara itu, Marvel Cinematic Universe menjadi fenomena global, dengan Avengers: Infinity War dan Avengers: Endgame mencetak rekor box office. Pada tahun 2019, Endgame bahkan berhasil mengalahkan Avatar sebagai film terlaris sepanjang masa, dengan pendapatan lebih dari $2,799 miliar.
Setelah era kejayaan di bawah Bob Iger, transisi kepemimpinan ke Bob Chapek pada tahun 2020 membawa perubahan signifikan yang memicu kontroversi dan penurunan citra Disney. Di bawah Chapek, fokus perusahaan bergeser dari kreativitas dan nilai keluarga ke strategi finansial yang lebih agresif. Banyak pihak menilai bahwa Chapek lebih menekankan monetisasi aset lama daripada menciptakan karya baru yang bermakna. Franchise-franchise ikonik seperti Star Wars, Toy Story, dan The Lion King dieksploitasi melalui spin-off dan sekuel yang dinilai kurang berkualitas dan kehilangan esensi emosional yang dulu menjadi ciri khas Disney.
Yang paling mengkhawatirkan adalah penerapan agenda sosial yang dianggap tidak sesuai dengan karakter dan nilai-nilai asli Disney. Film seperti Lightyear dan Strange World menampilkan karakter dan narasi yang mengusung isu LGBTQ secara eksplisit, termasuk adegan ciuman sesama jenis dalam Lightyear. Meskipun Disney menyatakan bahwa ini adalah bagian dari inklusivitas dan representasi, banyak orang tua dan penonton merasa bahwa pesan-pesan tersebut terlalu dipaksakan dan tidak sesuai untuk konsumsi anak-anak.
Anak-anak, yang seharusnya menikmati dunia fantasi yang polos dan penuh imajinasi, kini dihadapkan pada konten yang membawa pesan ideologis kompleks. Dalam masa perkembangan psikologis mereka, paparan terhadap isu-isu dewasa yang belum mereka pahami sepenuhnya dapat membingungkan dan mengganggu proses pembentukan identitas. Banyak orang tua merasa bahwa Disney telah mengabaikan tanggung jawab moralnya sebagai penyedia hiburan anak, dan justru mengekspos anak-anak pada narasi yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Kontroversi ini berdampak langsung pada performa finansial Disney. Penolakan penonton terhadap film-film yang dianggap terlalu “agenda-driven” menyebabkan penurunan jumlah pelanggan Disney+ dan anjloknya saham perusahaan hingga lebih dari 8% dalam satu hari. Bahkan, saham Disney sempat menyentuh titik terendah dalam satu dekade terakhir. Kepercayaan publik terhadap Disney sebagai brand keluarga mulai terkikis, dan banyak yang mempertanyakan arah masa depan perusahaan.
Kembalinya Bob Iger sebagai CEO Disney pada akhir November 2022 membawa harapan baru bagi perusahaan yang tengah dilanda krisis. Setelah pensiun pada tahun 2020, Iger kembali untuk memimpin Disney selama dua tahun ke depan, menggantikan Bob Chapek yang dinilai gagal menjaga arah kreatif dan reputasi perusahaan. Namun, Iger tidak kembali ke panggung yang sama seperti sebelumnya, Disney saat itu sudah berada dalam kondisi yang jauh lebih kompleks dan penuh tantangan.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Iger adalah memulihkan kepercayaan publik terhadap Disney sebagai brand keluarga. Di bawah kepemimpinan sebelumnya, Disney mengalami penurunan kualitas konten, eksploitasi waralaba lama, dan penyisipan agenda sosial yang dianggap tidak sesuai dengan karakter asli film-filmnya. Konten seperti Lightyear dan Strange World memicu kontroversi karena menampilkan isu-isu dewasa yang tidak relevan bagi anak-anak, yang seharusnya menjadi audiens utama Disney.
Kekhawatiran terbesar datang dari para orang tua dan pendidik yang melihat bahwa film-film tersebut berpotensi mencuci otak anak-anak dengan narasi yang belum mereka pahami secara matang. Anak-anak, yang masih dalam tahap pembentukan nilai dan identitas, seharusnya disuguhkan cerita yang membangun imajinasi, empati, dan moralitas dan bukan pesan-pesan ideologis yang membingungkan dan bisa mengganggu perkembangan psikologis mereka. Ketika karakter yang dulu menjadi simbol kepolosan dan keberanian kini dimodifikasi untuk menyampaikan agenda tertentu, banyak yang merasa bahwa Disney telah kehilangan arah.
Bob Iger kini menghadapi dilema besar: bagaimana mengembalikan Disney ke akarnya sebagai pencipta keajaiban masa kecil, sambil tetap relevan di era digital dan sosial yang terus berubah. Ia telah memulai restrukturisasi internal, memangkas biaya hingga $5,5 miliar, dan mencoba mengembalikan fokus pada kualitas konten dan storytelling. Namun, masa depan Disney tetap tidak pasti. Persaingan di dunia streaming, tekanan dari investor, dan tuntutan sosial yang kompleks membuat jalan pemulihan tidak mudah.
Kini, lebih dari sebelumnya, suara publik menjadi penting. Apakah Disney masih bisa menjadi tempat aman bagi anak-anak untuk bermimpi? Ataukah sudah waktunya bagi orang tua untuk lebih selektif dan kritis terhadap apa yang dikonsumsi oleh generasi muda?(JS)
Belum ada Komentar untuk "Perubahan Disney dan Pengaruh terhadap mental Anak "
Posting Komentar