Rakyat marah Bukan Kejahatan
45News id - Gelombang protes yang mengguncang Jakarta sejak 25 Agustus 2025 bukan sekadar respons spontan terhadap kebijakan pemerintah, melainkan luapan kekecewaan yang telah lama terpendam. Di tengah tuntutan atas transparansi anggaran DPR, kenaikan pajak, dan ketimpangan sosial yang semakin mencolok, tragedi yang menimpa Affan Kurniawan merupakan seorang pengemudi ojek online berusia 20 tahun menjadi titik balik emosional yang menyulut kemarahan publik. Affan tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat sedang mengantar pesanan makanan di kawasan Senayan. Video amatir yang merekam detik-detik kendaraan melaju dan menyeret tubuh Affan memicu gelombang solidaritas dari sesama pengemudi ojol, mahasiswa, dan warga sipil. Jenazahnya diantar dalam iring-iringan motor menuju pemakaman, menjadi simbol nyata dari korban sipil dalam konflik yang seharusnya tidak memakan nyawa.
Aksi protes kemudian meluas ke berbagai titik strategis di Jakarta, termasuk Polda Metro Jaya dan Blok M. Di depan markas kepolisian, massa membakar ban, mencoret gerbang dengan cat semprot, dan mencoba merusak kamera pengawas sebagai bentuk perlawanan terhadap tindakan represif aparat. Demonstran yang terdiri dari mahasiswa lintas kampus, pengemudi ojol, dan warga urban menyuarakan tuntutan yang beragam, mulai dari pencabutan tunjangan DPR hingga reformasi institusi kepolisian. Namun, harapan untuk konsentrasi aksi di satu titik masih belum terwujud, dengan massa yang terpecah di berbagai lokasi, memperlihatkan betapa luas dan kompleksnya ketidakpuasan masyarakat.
Penanganan aparat terhadap demonstrasi ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Penggunaan gas air mata secara masif, termasuk di area pemukiman dan kampus, dianggap sebagai bentuk kekerasan negara terhadap warganya. Di Bandung, situasi serupa terjadi ketika aparat menembakkan gas air mata yang akhirnya menyebar ke area kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas). Mahasiswa yang masih berada di dalam kampus terdampak langsung, memicu kemarahan dan kritik terbuka terhadap Kapolda Jawa Barat dalam mimbar mahasiswa di Gedung Sate. Meski aparat berdalih bahwa tindakan tersebut merupakan respons terhadap provokasi kelompok anarko, banyak pihak menilai bahwa penggunaan kekuatan secara brutal di ruang akademik adalah pelanggaran terhadap prinsip perlindungan sipil.
Di Jakarta, organisasi masyarakat sipil seperti Lokataru Foundation menyebut tindakan aparat sebagai cerminan memburuknya kebebasan sipil di era pemerintahan Prabowo Subianto. Penangkapan ratusan demonstran, termasuk anak-anak di bawah umur, serta pemukulan terhadap jurnalis, memperkuat narasi bahwa aparat telah melampaui batas dalam menjalankan tugasnya. LBH Jakarta melaporkan bahwa banyak peserta aksi mengalami luka-luka dan trauma, sementara proses hukum terhadap aparat yang terlibat dalam kematian Affan masih berjalan lambat dan tertutup.
Di tengah gelombang protes yang menyapu berbagai kota, muncul pula arus kontra yang tak kalah kuat: propaganda digital yang mengajak masyarakat untuk tidak turun ke jalan. Narasi-narasi ini menyebar melalui media sosial, grup pesan instan, dan kanal influencer, mengemas pesan damai yang pada permukaannya tampak menenangkan, namun di baliknya menyimpan agenda pengalihan perhatian. Seruan untuk “jangan ikut demo” atau “aksi ini sudah ditunggangi” menjadi senjata retoris yang digunakan untuk meredam kemarahan publik. Dalam konteks ini, kesadaran menjadi medan pertempuran utama, yaitu antara suara organik rakyat dan orkestrasi narasi yang dikendalikan oleh kepentingan tertentu. Beberapa influencer bahkan mengaku ditawari kerja sama untuk menyebarkan pesan perdamaian yang diklaim berasal dari pemerintah dan DPR. Namun, banyak yang menolak, menyadari bahwa narasi semacam itu justru berpotensi menenggelamkan tuntutan rakyat yang sah.
Sorotan terhadap identitas dan tindakan provokatif dalam aksi juga semakin tajam. Keterlibatan anggota TNI dalam pengamanan aksi sipil memunculkan pertanyaan serius tentang batas peran militer dalam negara demokratis. Aliansi Perempuan Indonesia, dalam aksinya di depan DPR, secara tegas menuntut agar militer dikembalikan ke barak dan tidak lagi dilibatkan dalam urusan sipil. Mereka menolak pendekatan militeristik yang justru memperbesar eskalasi kekerasan. Di lapangan, laporan tentang sweeping ke kampus, penangkapan aktivis, dan intimidasi terhadap warga sipil memperkuat kekhawatiran bahwa ruang demokrasi sedang terancam. Bahkan Panglima TNI sendiri mengakui bahwa keterlibatan prajurit di lapangan adalah atas permintaan resmi dari Polri, namun publik tetap menuntut komitmen terhadap supremasi sipil dan pembatasan peran militer dalam pengamanan sipil.
Di balik semua itu, algoritma dan data menjadi aktor tak kasat mata yang memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik. Algoritma media sosial menyaring dan menyebarkan konten berdasarkan interaksi, bukan akurasi, sehingga unggahan yang emosional lebih cepat viral daripada informasi yang faktual. Dalam konteks aksi massa, ini bisa menjadi pedang bermata dua: memperkuat solidaritas atau memperkeruh keadaan dengan disinformasi. Aktivis dan analis seperti Ferry Irwandi bahkan mengembangkan teori “Friction Shifting Theory” yang menunjukkan bagaimana algoritma dapat dimanipulasi untuk menciptakan gesekan sosial dan mengarahkan opini publik. Maka, literasi digital dan kemampuan analisis data menjadi kunci untuk memahami dinamika aksi secara lebih jernih. Identifikasi sumber informasi, pelacakan pola interaksi, dan pemetaan sentimen publik adalah langkah strategis untuk menghindari jebakan narasi palsu dan menjaga integritas gerakan sosial.
Di tengah kompleksitas ini, generasi muda tampil sebagai kekuatan kritis yang tak bisa diabaikan. Bonus demografi yang sedang dialami Indonesia bukan sekadar angka statistik, melainkan potensi nyata yang bisa menjadi berkah atau bencana. Generasi muda yang melek teknologi, cerdas secara sosial, dan berani bersuara telah membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor utama dalam perubahan. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika pemerintah mampu menyediakan ruang partisipasi yang adil, pendidikan yang berkualitas, dan kebijakan yang berpihak pada masa depan. Tanpa itu, bonus demografi bisa berubah menjadi beban demografi dengan meningkatnya pengangguran, frustrasi sosial, dan ketimpangan struktural.
Respon pemerintah terhadap situasi ini masih terbelah antara retorika dan tindakan nyata. Di satu sisi, ada pernyataan bahwa aspirasi rakyat dihormati dan dialog akan dibuka. Di sisi lain, tindakan represif aparat, lambannya proses hukum terhadap pelanggaran, dan minimnya langkah konkret dari DPR memperlihatkan ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan. Peneliti dari BRIN bahkan menyebut bahwa sebagian anggota DPR lebih memilih “jalan-jalan” ke luar negeri daripada menghadapi tuntutan rakyat. Jika pemerintah ingin meredam krisis ini secara bermartabat, maka identifikasi akar masalah harus dilakukan dengan jujur dan menyeluruh. Bukan sekadar menenangkan situasi, tetapi membenahi sistem yang melahirkan ketidakpuasan itu sendiri.
Di tengah riuhnya suara-suara dari jalanan dan linimasa digital, keberanian untuk berbicara menjadi fondasi utama dari gerakan rakyat yang tengah berlangsung. Dalam iklim sosial yang kerap menekan ekspresi publik, keberanian bukan sekadar tindakan individual, melainkan bentuk solidaritas kolektif yang menolak untuk bungkam di hadapan ketidakadilan. Ketika satu suara dibungkam, yang lain harus bersuara lebih lantang. Ketika satu tubuh jatuh, yang lain harus berdiri untuk mengangkatnya. Inilah semangat yang mengalir dalam aksi-aksi protes yang menyebar dari Jakarta hingga Bandung, dari kampus hingga pangkalan ojol. Seruan untuk menjaga satu sama lain bukan hanya slogan, melainkan praktik nyata di lapangan: mahasiswa yang melindungi pengemudi ojol dari gas air mata, warga yang membuka rumah sebagai tempat berlindung, dan relawan yang mendokumentasikan kekerasan agar tidak tenggelam dalam lupa.
Namun, di balik keberanian itu, tersimpan pula kekhawatiran yang lebih luas: bahwa jika pemerintah terus gagal menjalankan fungsinya secara adil dan transparan, maka celah itu bisa dimanfaatkan oleh kekuatan asing yang memiliki kepentingan tersendiri. Ketidakpercayaan terhadap DPR dan aparat bukan hanya soal kebijakan yang tidak populer, tetapi juga tentang legitimasi moral dan kapasitas institusional. Survei terbaru menunjukkan bahwa satu dari empat warga Indonesia tidak lagi percaya pada pemerintah. Ketika kepercayaan publik runtuh, maka stabilitas nasional pun ikut terancam. Dalam lanskap geopolitik yang semakin kompleks, Indonesia tidak bisa bertahan hanya dengan retorika. Ia membutuhkan tata kelola yang berakar pada keadilan, bukan sekadar kekuasaan.
Di sinilah media sosial memainkan peran ganda: sebagai ruang mobilisasi dan sebagai medan pertarungan narasi. Unggahan video kematian Affan, tagar #ReformasiDikorupsi, dan poster digital 17+8 Tuntutan Rakyatmenjadi katalisator yang menggerakkan massa. Algoritma media sosial menyaring konten berdasarkan emosi dan interaksi, bukan kebenaran. Maka, literasi digital menjadi senjata penting dalam menjaga integritas gerakan. Melacak asal mula isu, memverifikasi informasi, dan memahami pola penyebaran konten adalah bagian dari strategi perlawanan yang tidak kalah penting dari aksi fisik di jalanan. Dunia digital dan dunia nyata kini saling berkelindan, menciptakan lingkaran umpan balik yang memperkuat solidaritas sekaligus membuka celah bagi manipulasi.
Aksi protes adalah cermin dari masyarakat yang merasa terpinggirkan, yang tidak lagi melihat dirinya diwakili oleh lembaga-lembaga negara. Evaluasi dan reformasi dalam penanganan isu kemanusiaan menjadi kebutuhan mendesak, bukan pilihan. Pemerintah harus membuka ruang dialog yang tulus, bukan sekadar formalitas. Reformasi birokrasi, transparansi anggaran, dan perlindungan terhadap hak sipil harus menjadi prioritas. Di saat yang sama, masyarakat perlu terus meningkatkan kesadaran akan pentingnya data, teknologi, dan solidaritas dalam memahami dan mengubah situasi sosial.
Gerakan ini bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang masa depan. Tentang generasi muda yang menolak warisan ketidakadilan. Tentang rakyat yang menuntut negara untuk kembali kepada prinsip-prinsip kemanusiaan. Dan tentang harapan bahwa Indonesia bisa menjadi rumah yang adil bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang berkuasa. Jika keberanian untuk berbicara terus dijaga, maka suara rakyat akan tetap bergema di jalanan, di ruang digital, dan di hati mereka yang tak pernah berhenti bermimpi tentang keadilan.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Rakyat marah Bukan Kejahatan"
Posting Komentar