-->
Loading...

Filsafat Digital dan Kebodohan Massal: Dari Estetika ke Esensi

 

Ilustrasi dari Tiktonism

45news.id Fenomena pergeseran makna filsafat dalam ranah media sosial bukan hanya sekadar gejala konsumsi cepat konten visual, tetapi cerminan krisis intelektual yang lebih dalam. Di tengah arus estetika dan algoritma yang mendahulukan keterpautan emosional dan penampilan visual, filsafat tak lagi ditempatkan sebagai praktik berpikir mendalam untuk memahami eksistensi manusia, melainkan sebagai hiasan retoris demi validasi sosial. TikTok, Instagram, dan platform sejenis menjadi panggung populer bagi kutipan filsuf yang dikemas secara dramatis: musik piano melankolis, tone suara syahdu, latar visual yang gelap dan serius. Namun, banyak dari konten ini tidak mengajak pada pembacaan kritis atau refleksi, melainkan sekadar mengutip demi pencitraan intelektual.

Quote dari Friedrich Nietzche yang Viral di platform Tiktok

Istilah seperti "nihilisme", "stoikisme", atau kutipan terkenal seperti “God is dead” dari Friedrich Nietzsche kerap digunakan secara serampangan. Nihilisme, misalnya, bukan sekadar pandangan bahwa hidup itu tidak memiliki makna. Dalam pemikiran Nietzsche, nihilisme adalah hasil dari runtuhnya sistem nilai lama, terutama nilai-nilai religius dan moral yang tak lagi relevan di masyarakat modern. Ketika Nietzsche menulis “God is dead,” ia tak sedang membuat pernyataan teologis, melainkan menyampaikan kritik atas hilangnya fondasi spiritual dan makna hidup di tengah modernitas. Banyak pengguna media sosial yang menganggap kutipan ini sebagai pernyataan ateistik yang provokatif, padahal konteksnya jauh lebih mendalam dan kompleks.

Stoikisme pun mengalami nasib serupa. Banyak konten viral yang menggambarkan filsafat ini sebagai ajaran untuk “tidak peduli” terhadap apapun demi kebebasan batin. Padahal, stoikisme menekankan prinsip tanggung jawab, penguasaan diri, serta kemampuan untuk membedakan antara hal-hal yang bisa kita kontrol dan yang tidak. Stoikisme bukan tentang pasrah atau dingin terhadap dunia, tetapi tentang pembentukan kebijaksanaan melalui pengendalian emosi dan penerimaan terhadap kenyataan. Tokoh seperti Seneca atau Marcus Aurelius tidak mengajarkan ketidakpedulian, tetapi kedalaman hidup yang bersumber dari refleksi terhadap penderitaan dan kebaikan.

Fenomena ini menunjuk pada satu kondisi yang mengkhawatirkan yaitu disebut “fudo intelektual”, atau upaya untuk tampil seolah-olah berilmu tanpa landasan pemahaman yang sahih. Fudo berasal dari kata “pseudo” yang berarti palsu, dan “intelektual” yang seharusnya merujuk pada individu yang menjadikan pemikiran sebagai laku hidup. Di media sosial, fudo intelektual muncul lewat konten provokatif, kutipan luar konteks, dan klaim tentang filsafat yang dibungkus dengan narasi dramatik. Pengguna kerap mengutip Sartre, Camus, atau Kierkegaard tanpa memahami latar historis dan persoalan yang mereka angkat, misalnya eksistensialisme yang bertanya tentang makna hidup manusia dalam dunia yang absurd dan tak pasti bukan sekadar narasi untuk membenarkan keputusasaan.

Di tengah tren ini, filsafat sebagai seni berpikir kritis telah kehilangan peran utamanya. Validasi dalam bentuk likes dan shares menjadi tujuan, bukan pemahaman. Konten yang viral lebih diutamakan daripada konten yang benar. Padahal filsafat sejatinya menuntut pembacaan, perenungan, dan pergulatan ide yang panjang dan melelahkan. Membaca Nietzsche, memahami absurditas ala Camus, atau merenungkan kesadaran menurut Heidegger bukanlah proses yang bisa disingkat dalam format video satu menit. Transformasi filsafat menjadi aksesori digital bukan hanya membuatnya kehilangan makna, tetapi juga membuat masyarakat berjarak dari potensi transformatif yang sebenarnya dimiliki oleh pemikiran filosofis.

Validasi sosial kini menjadi bentuk baru pengakuan eksistensial, menggantikan pencarian makna sebagai pusat kehidupan. Kita tak lagi bertanya "mengapa manusia menderita" atau "bagaimana hidup seharusnya dijalani," melainkan "berapa banyak yang mengklik suka atas kutipan eksistensial yang aku bagikan." Transisi dari pertanyaan reflektif ke pertanyaan performatif menunjukkan pergeseran orientasi masyarakat modern dari kontemplasi ke konsumsi. Bahkan filsafat pun kini tampak lebih cocok sebagai aksesoris identitas digital daripada metode berpikir. Di tengah kebisingan algoritmik, bahkan pertanyaan yang seharusnya mendalam pun diubah menjadi format yang mudah dijual tanpa tantangan, tanpa kompleksitas.

Padahal filsafat, sejak zaman Yunani Kuno, tidak hadir sebagai cara untuk tampil cerdas, melainkan sebagai proses untuk menjadi manusia seutuhnya. Socrates tidak menantang warga Athena agar mereka tampak bijak, tetapi agar mereka mempertanyakan hidup dan nilai-nilai yang mereka anggap pasti. Filsafat adalah seni memahami keberadaan dan bukan sekadar definisi, melainkan pengalaman dan transformasi. Ketika ruang publik didominasi oleh pemahaman dangkal dan pencitraan intelektual, masyarakat perlahan kehilangan kemampuan untuk menavigasi tantangan zaman secara reflektif. Hasilnya bukan hanya disorientasi moral, tetapi fragmentasi sosial yang akut.

Di sinilah titik human interest dalam narasi ini menjadi penting dan bukan sekadar kritik terhadap fenomena, melainkan ajakan untuk kembali ke substansi. Tidak cukup hanya “terlihat bijak” dengan kutipan Sartre, melainkan “hidup dengan kebijaksanaan” melalui pembacaan, dialog, dan refleksi. Masyarakat perlu dikenalkan pada keberanian membaca karya asli, meski sulit dan tidak populer. Kita perlu membedakan antara konten yang memikat dan konten yang mencerahkan. Dan kita perlu menghadirkan filsafat sebagai ruang keheningan dari sebuah jeda di tengah hiruk pikuk digital, tempat individu dapat memulihkan relasi dengan dirinya, sesama, dan dunia.

Akhirnya, jika kita benar-benar menginginkan masyarakat yang berpikir, maka pendidikan bukan hanya soal mentransfer informasi, melainkan mengasah nalar. Bukan hanya mengajarkan “apa yang harus dikatakan agar terlihat pintar,” tetapi bagaimana menyusun pertanyaan yang jujur dan berani. Transformasi filsafat kembali ke akarnya bukan tugas para akademisi saja, tapi tugas kolektif yang melibatkan para pendidik, kreator konten, pemikir publik, bahkan pengguna media sosial sehari-hari. Karena di era di mana kebijaksanaan bisa dipalsukan lewat estetika, keberanian berpikir kritis adalah bentuk revolusi yang paling otentik.

Filsafat tidak hadir untuk membuat kita “terlihat bijak,” tetapi untuk membentuk cara berpikir dan cara hidup yang bijak. Ketika ia direduksi menjadi simbol estetik, kita justru menciptakan budaya kebodohan yang disamarkan sebagai pencapaian intelektual. Dan ini bukan hanya berbahaya bagi pemahaman publik terhadap filsafat, tetapi juga bagi kesehatan mental masyarakat, yang mulai membentuk identitas berdasarkan konten kosong yang viral, bukan dari nilai-nilai dan refleksi yang sebenarnya bermakna.

Terlalu banyak konten yang disajikan bukan untuk mengedukasi atau menginspirasi, melainkan untuk menarik perhatian sesaat. Ironisnya, kutipan-kutipan filosofis yang sejatinya mengajak pada refleksi, kini menjadi latar dalam video yang lebih fokus pada pencitraan daripada pemahaman. Dan ketika penderitaan, kehampaan, atau ketidakpedulian dipoles agar estetik, kita justru mengabaikan kerentanan psikologis yang bisa tumbuh di balik layar. Konten yang tampak mendalam bisa jadi hanya cangkang kosong, disukai karena bentuknya, bukan karena substansinya.

Maka kita perlu belajar untuk tidak menjadi konsumen pasif. Setiap kali kita melihat video yang menggugah emosi atau kutipan yang terdengar bijak, kita bisa bertanya: apakah ini mengajak saya berpikir, atau sekadar membuat saya merasa pintar? Apakah pesan yang disampaikan memiliki konteks, atau hanya potongan yang diambil karena estetika? Kecermatan dalam bersosial media bukan berarti menjadi skeptis terhadap segala hal, tetapi membangun kesadaran akan pengaruhnya terhadap cara kita memahami dunia dan diri sendiri.

Kita adalah kurator dari perhatian kita sendiri. Ketika kita memilih untuk tidak memberikan sorotan pada konten yang menyesatkan, kita sedang membentuk lanskap digital yang lebih sehat. Cermat bukan berarti sinis, melainkan berani memilah mana yang patut direnungkan dan mana yang hanya pantas dilewatkan. Karena di balik setiap swipe, ada nilai yang sedang dibentuk, apakah itu nilai kebijaksanaan, atau sekadar estetika yang tak berakar. Dan jika media sosial adalah cermin zaman, maka kecermatan adalah bentuk tanggung jawab untuk tidak membiarkan bayangan palsu menjadi kenyataan bersama.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Filsafat Digital dan Kebodohan Massal: Dari Estetika ke Esensi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel