Pidato Presiden SBY tentang Kepemimpinan dan Kekuasaan dalam The World Disorder and The Future of Our Civilization
45news.id - Dalam pidato bertajuk “The World Disorder and The Future of Our Civilization” yang disampaikan pada 30 Juli 2025, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkat tema besar tentang krisis peradaban dan tantangan kepemimpinan global. Pidato ini bukan sekadar refleksi politik, melainkan sebuah seruan moral dan intelektual kepada para pemimpin dunia untuk meninjau ulang cara mereka memaknai dan menjalankan kekuasaan.
SBY menegaskan bahwa pemimpin sejati tidak boleh menempatkan diri di atas hukum. Ia mengingatkan bahwa sejarah telah menunjukkan bagaimana negara-negara besar seperti Prancis sebelum Revolusi 1789 mengalami keruntuhan karena pemimpinnya memegang kekuasaan absolut yang mengklaim bahwa “negara adalah saya, hukum adalah saya, konstitusi adalah saya.” Peringatan ini bukan hanya retorika, melainkan refleksi atas fenomena kontemporer di mana kekuasaan sering kali digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk rakyat.
SBY mengutip pemikir klasik dan kontemporer untuk memperkuat argumennya. Lord Acton dengan kutipan terkenalnya “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” menjadi landasan etis. Francis Fukuyama, yang dikenal dengan analisisnya tentang kemunduran demokrasi, dan Yuval Noah Harari, yang menyoroti ancaman baru seperti kecerdasan buatan dan disinformasi digital, menunjukkan bahwa tantangan kekuasaan kini jauh lebih kompleks dan multidimensi.
Dalam konteks peradaban modern, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkat isu-isu kontemporer yang mengancam keberlangsungan peradaban modern dengan cara yang sangat reflektif dan filosofis. Ia menyoroti bahwa ancaman terhadap peradaban saat ini tidak lagi bersifat konvensional seperti invasi militer atau krisis ekonomi semata, melainkan telah bergeser ke bentuk-bentuk baru yang lebih kompleks dan tak kasat mata: kecerdasan buatan (AI), disinformasi digital, krisis iklim, dan senjata biologis. Menurut SBY, kemunculan teknologi mutakhir seperti AI membawa potensi destruktif yang luar biasa jika tidak dikendalikan secara bijak. Ia mengutip pemikiran Yuval Noah Harari yang menyatakan bahwa umat manusia kini cukup kuat untuk menghancurkan seluruh peradaban, namun belum cukup bijak untuk mengendalikan kekuatan yang dimilikinya. Disinformasi digital, lanjut SBY, menjadi senjata baru yang dapat merusak tatanan sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi demokratis. Sementara itu, krisis iklim dan senjata biologis menjadi ancaman eksistensial yang menuntut respons kolektif dan lintas batas negara.
Dalam menghadapi semua ini, SBY menekankan bahwa daya tahan suatu peradaban tidak ditentukan oleh kekuatan militer atau kejayaan ekonomi, melainkan oleh kematangan moral, ketangguhan sosial, dan kemampuan beradaptasi secara cerdas. Ia menyitir bahwa mereka yang bertahan bukanlah yang paling kuat secara fisik, tetapi yang paling mampu mengelola perubahan dengan kebijaksanaan dan etika. Pidato ini menjadi seruan penting bagi para pemimpin dunia untuk tidak hanya fokus pada kekuasaan dan dominasi, tetapi juga pada pembangunan nilai-nilai kemanusiaan yang inklusif dan berkelanjutan.
Pidato ini menjadi peringatan moral bagi para pemimpin politik, bisnis, dan masyarakat sipil di seluruh dunia. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan peringatan moral yang kuat kepada para pemimpin lintas sektor politik, bisnis, dan masyarakat sipil di seluruh dunia. Ia menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk dominasi, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan kebijaksanaan dan etika. Peringatan ini muncul dari refleksi historis dan kontemporer tentang bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali telah menjadi akar keruntuhan banyak peradaban. Kutipan dari Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power tends to corrupt absolutely,” menjadi pengingat bahwa kekuasaan memiliki potensi destruktif jika tidak dibatasi oleh hukum, moralitas, dan kesetiaan terhadap rakyat.
SBY mengajak para pemimpin untuk tidak terjebak dalam ego dan ambisi pribadi, melainkan untuk menempatkan kepentingan kolektif dan stabilitas global sebagai prioritas utama. Ia menyoroti bahwa dunia saat ini berada dalam kondisi disorder dan ketidakteraturan yang ditandai oleh konflik, ketimpangan, dan ancaman eksistensial seperti perubahan iklim dan teknologi destruktif. Dalam konteks ini, kekuasaan yang dijalankan secara etis menjadi fondasi penting untuk membangun masa depan peradaban yang damai dan berkeadilan. Pidato ini bukan hanya seruan politik, tetapi juga manifestasi nilai-nilai kemanusiaan yang menuntut introspeksi dan reformasi dari para pemegang kekuasaan di era modern.
Pidato ini menjadi refleksi mendalam tentang arah dan kualitas kepemimpinan dalam lanskap peradaban modern yang semakin kompleks dan rapuh. Di tengah gejolak global, kemajuan teknologi, ancaman eksistensial, dan krisis moral, SBY menyuarakan satu pesan kunci yang menggema kuat: bahwa kekuasaan bukan semata soal kemampuan mengendalikan, tetapi tentang kesanggupan melayani dengan integritas dan kebijaksanaan.
Ketika dunia terpaku pada kekuatan militer dan kejayaan ekonomi, pidato ini hadir sebagai pengingat bahwa fondasi sejati dari peradaban yang tangguh adalah kematangan moral, ketahanan sosial, dan kemampuan untuk beradaptasi secara cerdas dan beretika. Melalui narasinya, SBY mengajak kita semua baik pemimpin maupun warga biasa untuk merenungkan peran kita dalam membentuk masa depan yang damai, adil, dan berkeadaban.
Sebagai penutup, pidato ini bukan sekadar dokumentasi politik, melainkan sebuah warisan pemikiran untuk generasi masa kini dan mendatang: bahwa peradaban tak akan bertahan oleh kekuasaan yang tak terkendali, tetapi oleh nilai-nilai yang dijalankan dengan nurani. Jangan bermain-main dengan kekuasaan karena ia bisa membangun, tetapi juga dapat menghancurkan seluruh fondasi kemanusiaan.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Pidato Presiden SBY tentang Kepemimpinan dan Kekuasaan dalam The World Disorder and The Future of Our Civilization"
Posting Komentar