-->
Loading...

Fenomena Agama Mayoritas di indonesia

 

Ilustrasi toleransi antar umat beragama

45news.id Fenomena sosial yang mencuat di kalangan komunitas Muslim Indonesia bukan sekadar insiden terpisah, melainkan gejala sistemik yang menunjukkan krisis spiritual dan etika. Kasus pemerkosaan terhadap santriwati di pesantren seperti yang terjadi di Ponpes Al-Minhaj Batang, Jawa Tengah, menjadi bukti nyata bahwa lembaga pendidikan keagamaan tidak lagi steril dari kekerasan seksual (https://tirto.id/pemerkosaan-15-santriwati-di-ponpes-batang-minimnya-ruang-aman-gER2#google_vignette). Bahkan, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan seksual di pesantren tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan umum(https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/tentang-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-13-santriwati-dan-pidana-mati-bagi-pelaku). Relasi kuasa antara pengasuh dan santri menjadi faktor utama yang memungkinkan terjadinya pelecehan, dan sayangnya, banyak kasus ditutup dengan dalih menjaga nama baik lembaga.

Selain kekerasan seksual, bullying di pesantren juga menjadi masalah serius. Kasus terbaru di Sumbawa menunjukkan seorang santri dirundung dan dianiaya oleh kakak kelasnya hingga harus dirawat di puskesmas. Bahkan, tiga santri di Jombang nekat kabur karena tak tahan dirundung senior mereka(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250722185300-20-1253691/tiga-santri-jombang-kabur-imbas-di-bully-senior-dilindungi-damkar). Data dari Dinas Perempuan dan Anak Jawa Tengah mencatat 85 kasus bullying di pesantren selama 2021–2025. Ironisnya, banyak pesantren belum memiliki sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban, sehingga budaya kekerasan terus berulang(https://regional.kompas.com/read/2025/03/25/170733378/ada-85-kasus-bullying-di-pesantren-jawa-tengah).

Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama

Korupsi oleh tokoh agama seperti kasus Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama, yang menyalahgunakan dana haji untuk kepentingan pribadi dan politik, memperlihatkan betapa nilai-nilai spiritual bisa dikompromikan demi kekuasaan. Ia divonis 10 tahun penjara karena merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah. Fenomena ini menunjukkan bahwa religiositas tidak selalu berbanding lurus dengan integritas. Bahkan, survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang sangat religius justru memiliki tingkat korupsi yang tinggi(https://radarbali.jawapos.com/nasional/706372060/akhir-perjalanan-suryadharma-ali-dua-kali-menteri-dipenjara-karena-korupsi-haji).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa agar umat tidak menyebarkan aib komunitas Muslim di media sosial, dengan dalih menjaga keharmonisan(https://mui.or.id/storage/fatwa/b5bb85632664dcf56b05eb9dd0d224d6-lampiran.pdf). Namun, pendekatan ini berisiko menutup ruang evaluasi dan reformasi. Dalam sejarah Islam, tokoh seperti Umar bin Khattab justru membuka ruang kritik sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Menutup aib tanpa perbaikan adalah bentuk pembiaran yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial.

Tradisi kritik dalam Islam memiliki akar kuat sejak era klasik. Ulama seperti Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Al-Ghazali saling mengkritisi pemikiran satu sama lain demi menjaga kemurnian ilmu. Kritik bukanlah penghinaan, melainkan bentuk cinta terhadap kebenaran. Sayangnya, di era media sosial, kritik terhadap tokoh agama sering dianggap sebagai penistaan, padahal Islam sendiri mendorong tabayyun dan klarifikasi sebelum menilai informasi.

Gagasan tentang Islam universal bukanlah konsep baru, melainkan revitalisasi dari esensi Islam sebagai agama yang menyentuh seluruh aspek kehidupan. Islam tidak berhenti pada ritual formal seperti salat dan puasa, tetapi meresap ke dalam etos kerja, etika sosial, manajemen, dan kontribusi nyata terhadap masyarakat. Dalam QS At-Taubah: 105, Allah berfirman: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu...” merupakan sebuah penegasan bahwa amal saleh bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga kerja produktif yang bermanfaat.

Founder startup edukasi finansial, content creator di YouTube, TikTok, Instagram(Raymond Chin)

Sosok seperti Raymond Chin, seorang Muslim keturunan Tionghoa yang aktif di dunia bisnis dan edukasi keuangan, menjadi contoh nyata dari penerapan Islam universal. Ia dikenal sebagai pendiri startup edukasi finansial dan aktif menyebarkan nilai-nilai kerja keras, integritas, dan kebermanfaatan sosial. Keberhasilannya bukan hanya dalam membangun perusahaan, tetapi juga dalam menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dapat diimplementasikan dalam dunia profesional tanpa kehilangan spiritualitas. Ia menekankan bahwa bekerja dengan amanah, menyantuni keluarga, dan bersilaturahmi adalah bentuk ibadah yang bernilai tinggi di sisi Tuhan yang sejalan dengan sabda Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Islam tidak datang untuk menghapus budaya lokal, melainkan menyempurnakannya. Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan tabi’in yang menyebarkan Islam ke berbagai wilayah, termasuk Nusantara, melakukan proses akulturasi yang damai dan bijak. Tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan akidah tetap dipertahankan dan bahkan dijadikan bagian dari ekspresi keislaman. Contohnya, dalam masyarakat Minangkabau, prinsip “Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menunjukkan integrasi antara adat dan syariat.

Namun, homogenisasi agama oleh pihak-pihak yang mengejar agenda politik dan ekonomi telah menciptakan distorsi. Komersialisasi doktrin agama, penciptaan ajaran baru yang menyulitkan pemahaman, dan penolakan terhadap ekspresi lokal telah menjauhkan umat dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Ulama palsu yang hanya mengajarkan agama secara lisan tanpa implementasi nyata menjadi bagian dari masalah ini. Mereka mengaburkan Islam sebagai dinul amal—agama yang menuntut tindakan nyata, bukan sekadar retorika.

Islam universal menuntut pergeseran paradigma dari simbolisme ke substansi. Menutup aurat, mengucapkan salam, atau mengenakan atribut keagamaan tidak cukup jika tidak diiringi dengan kejujuran, tanggung jawab, dan kontribusi sosial. Etos kerja dalam Islam menekankan disiplin, keikhlasan, dan tanggung jawab sebagai bentuk ibadah. Dalam konteks ini, bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi juga sebagai jalan menuju ridha Allah.

Etika sosial Islam juga menuntut umat untuk hidup damai, saling menghormati, dan tidak saling merugikan. Nabi Muhammad SAW memberikan teladan dalam memperlakukan semua orang Muslim, Yahudi, dan Kristen dengan adil dan penuh kasih. Inilah wajah Islam yang universal: inklusif, berorientasi pada kemaslahatan, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Kesadaran beragama tidak cukup hanya dengan debat dan klaim kebenaran. Umat perlu direorientasi agar menempatkan tindakan nyata sebagai pusat pengalaman spiritual. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an (QS Al-Baqarah: 177), bukan arah kiblat yang menentukan kebaikan seseorang, tetapi iman yang diikuti dengan tindakan: membantu yatim, menunaikan zakat, dan menepati janji. Kritik terhadap realitas keumatan bukanlah bentuk kemurtadan, melainkan ekspresi cinta terhadap agama yang ingin melihat Islam berdiri tegak dalam keadilan dan kasih sayang. Maka penting bagi setiap Muslim untuk berani melihat cermin, melakukan evaluasi, dan mengubah paradigma beragama dari citra ke substansi.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Fenomena Agama Mayoritas di indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel