-->
Loading...

Analisis Kriteria Kemiskinan dan Efektivitas Bansos di Indonesia

 

45news.id Kemiskinan di Indonesia merupakan isu multidimensi yang tidak hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga akses terhadap layanan dasar, pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah Indonesia, melalui Badan Pusat Statistik (BPS), menetapkan garis kemiskinan berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yaitu jumlah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan.  "Yang dinamakan penduduk miskin adalah pada saat pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan Maret 2025 berdasarkan Susenas sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan," kata Ateng dilansir dari detikNews. Namun, untuk kategori miskin ekstrem, pemerintah menetapkan ambang pengeluaran yang lebih rendah, yakni kurang dari Rp500.000 per bulan. Kriteria ini menjadi acuan utama dalam menentukan siapa saja yang berhak menerima bantuan sosial (bansos), meskipun dalam praktiknya masih terdapat tantangan dalam akurasi data dan ketepatan sasaran.

Untuk memetakan penerima bansos secara lebih adil dan terstruktur, pemerintah menggunakan sistem desil, yaitu pembagian populasi ke dalam 10 kelompok berdasarkan tingkat kesejahteraan. Desil 1 hingga 4 merupakan kelompok dengan tingkat kesejahteraan terendah dan menjadi prioritas utama dalam penyaluran bansos. Salah satu program yang menargetkan kelompok ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH), sebuah inisiatif bantuan sosial bersyarat yang bertujuan meningkatkan taraf hidup keluarga miskin dan rentan. PKH memberikan bantuan tunai kepada keluarga yang memenuhi kriteria tertentu, seperti ibu hamil, anak usia dini, anak sekolah, penyandang disabilitas berat, dan lansia. Tujuan utama dari PKH adalah mendorong perubahan perilaku, seperti memastikan anak-anak tetap bersekolah dan keluarga mengakses layanan kesehatan, sehingga bantuan tidak hanya bersifat konsumtif tetapi juga transformatif.(https://kemensos.go.id/program-bantuan-sosial/pkh)

Namun, efektivitas program ini sangat bergantung pada validitas data dan sistem verifikasi yang digunakan. Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa penerima bansos tidak selalu berasal dari kelompok yang benar-benar membutuhkan. Misalnya, terdapat aparatur sipil negara (ASN) dengan penghasilan di atas UMR yang tercatat sebagai penerima bansos. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pendataan dan verifikasi, yang dapat mengurangi dampak positif dari program-program seperti PKH. Pemerintah daerah seperti Kabupaten Magelang mulai melibatkan ASN dalam proses verifikasi data kemiskinan untuk meningkatkan akurasi dan ketepatan sasaran.

Di sisi lain, Menurut Laporan dari Kompas.com, perbedaan standar antara BPS dan lembaga internasional seperti Bank Dunia juga menimbulkan diskusi mengenai relevansi kriteria kemiskinan. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan global sebesar USD 6,85 per kapita per hari (sekitar Rp1,23 juta per bulan), jauh di atas standar BPS. Perbedaan ini mencerminkan tantangan dalam mengukur kemiskinan secara komprehensif, terutama dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia. Meski standar BPS dianggap lebih sesuai dengan kondisi lokal, pendekatan global dapat memberikan perspektif tambahan dalam merancang kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.(https://www.kompas.com/tren/read/2025/07/29/103000765/garis-kemiskinan-versi-bps-dengan-bank-dunia-berbeda-mana-yang-lebih)

Program bantuan sosial (bansos) di Indonesia telah lama menjadi instrumen utama dalam upaya pemerintah mengatasi kemiskinan. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul dugaan bahwa bansos tidak sepenuhnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, melainkan justru mempertahankan kemiskinan sebagai alat politik. Teori ini berangkat dari fenomena ketergantungan masyarakat terhadap bantuan, yang dalam jangka panjang dapat melemahkan motivasi untuk mandiri secara ekonomi. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bahkan mengakui adanya fenomena demotivasi akibat menikmati bansos, di mana penerima bantuan cenderung tidak beranjak dari kondisi rentan karena merasa cukup dengan bantuan yang diterima. (https://investor.id/macroeconomy/379963/muncul-fenomena-demotivasi-masyarakat-karena-ketergantungan-bansos). Hal ini menunjukkan bahwa bansos, jika tidak disertai dengan strategi pemberdayaan, berisiko menciptakan ketergantungan struktural yang justru memperkuat kemiskinan.

Lebih jauh, dugaan bahwa bansos digunakan sebagai alat politik semakin menguat ketika pejabat publik yang memiliki kewenangan dalam penyaluran bantuan terlibat langsung dalam kampanye politik menurut laporan dari kompas ( https://nasional.kompas.com/read/2025/07/28/10134191/paradoks-bantuan-sosial). Dalam konteks pemilu, bansos dapat menjadi instrumen pertukaran sosial terselubung, di mana bantuan diberikan dengan harapan mendapatkan dukungan politik sebagai balas jasa. Paradoks ini tercermin dalam kasus di Jakarta, di mana lebih dari 15.000 penerima bansos diketahui menggunakan dana bantuan untuk berjudi online, dengan nilai transaksi mencapai Rp67 miliar sepanjang tahun 2024. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan penyalahgunaan bansos, tetapi juga mengindikasikan bahwa bantuan yang seharusnya menjadi solusi justru berpotensi menjadi sumber masalah baru, termasuk degradasi moral dan hilangnya nalar kritis masyarakat.

Keterlibatan pejabat dalam politik dan ekonomi semakin memperumit persoalan bansos. Dalam Kabinet Merah Putih yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, terdapat sejumlah menteri yang sebelumnya aktif dalam tim sukses kampanye. Di antaranya adalah Zulkifli Hasan (PAN), Airlangga Hartarto (Golkar), Raja Juli Antoni (PSI), dan Saifullah Yusuf (PKB), yang semuanya memiliki peran strategis dalam bidang kesejahteraan rakyat. Keterlibatan mereka menimbulkan kekhawatiran akan konflik kepentingan, terutama jika kebijakan bansos digunakan untuk memperkuat citra politik atau mendulang suara. Penelitian menunjukkan bahwa partisipasi pejabat publik dalam kampanye berpotensi menyalahgunakan sumber daya negara dan merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Program bantuan sosial (bansos) di Indonesia kembali menjadi sorotan publik, bukan hanya karena dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, tetapi juga karena keterkaitannya dengan dinamika politik menjelang pemilu. Salah satu regulasi yang memicu perdebatan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023, yang merevisi PP Nomor 32 Tahun 2018. Regulasi ini memungkinkan pejabat aktif, termasuk menteri, untuk tetap menjabat dan melakukan kampanye politik tanpa harus mengambil cuti, selama mendapat izin dari Presiden. Ketentuan ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan, di mana pejabat yang memiliki akses terhadap program bansos dapat memanfaatkan posisinya untuk kepentingan elektoral. Dalam konteks demokrasi yang sehat, pemisahan antara jabatan publik dan aktivitas kampanye seharusnya menjadi prinsip dasar untuk menjaga netralitas dan keadilan dalam kontestasi politik.

Kecurigaan publik semakin meningkat ketika Presiden Prabowo Subianto mengumumkan perpanjangan bansos beras selama enam bulan di tahun 2025, meskipun kondisi harga pangan relatif stabil. Keputusan ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai langkah populis yang sarat muatan politis, terutama karena dilakukan menjelang masa kampanye(https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7710749/hore-prabowo-perpanjang-bansos-beras-jadi-6-bulan-di-2025). Padahal, bansos idealnya diberikan sebagai respons terhadap kondisi darurat atau ketidakstabilan ekonomi, bukan sebagai instrumen untuk memperkuat citra politik. Pernyataan Presiden bahwa bantuan akan dilanjutkan jika anggaran mencukupi juga menimbulkan pertanyaan tentang prioritas fiskal dan transparansi dalam pengambilan keputusan.

Di sisi lain, peningkatan jumlah penerima bansos dari 21,3 juta menjadi 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pada tahun 2024 disambut positif oleh sebagian masyarakat. Pemerintah menyatakan bahwa penambahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi dan dampak El Nino yang memengaruhi produksi pangan. Namun, peningkatan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang akurasi data dan efektivitas program. Apakah penambahan tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan riil masyarakat, atau justru menjadi bagian dari strategi politik untuk memperluas basis dukungan? Dalam praktiknya, bansos yang tidak tepat sasaran berisiko menciptakan ketergantungan dan menghambat pemberdayaan masyarakat.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan

Pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bahwa bansos berasal dari Presiden Jokowi menambah lapisan kontroversi (https://www.liputan6.com/bisnis/read/5497043/mendag-jelaskan-pernyataan-bansos-pakai-uang-jokowi).Klaim tersebut dinilai menciptakan bias dalam persepsi publik, seolah-olah bantuan sosial adalah pemberian pribadi, bukan hasil dari kebijakan negara yang didanai oleh pajak rakyat. Pernyataan ini memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk DPR, yang menilai bahwa politisasi bansos adalah tindakan tidak etis dan merusak integritas program sosial. Zulkifli Hasan kemudian mengklarifikasi bahwa maksudnya adalah melanjutkan program pemerintahan Jokowi, namun dampak dari pernyataan tersebut tetap menimbulkan kekhawatiran akan manipulasi opini publik.

Kartu Keluarga Sejahtera

Program bantuan sosial (bansos) di Indonesia terus mengalami ekspansi, termasuk pengenalan kartu bansos seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang didistribusikan kepada jutaan keluarga penerima manfaat (KPM). Kartu ini bukan hanya alat teknis untuk penyaluran bantuan, tetapi juga menjadi simbol politik yang dikaitkan langsung dengan citra positif Presiden. Dalam berbagai kesempatan, bansos dan kartu bansos dipresentasikan sebagai wujud kepedulian pemimpin terhadap rakyat kecil, memperkuat narasi politik yang membela kaum miskin. Namun, di balik retorika tersebut, muncul kekhawatiran bahwa perluasan bansos justru menjadi strategi pemeliharaan kemiskinan yang disengaja. Ketika slogan politik seperti “membela rakyat kecil” digunakan secara berulang, masyarakat cenderung menerima kemiskinan sebagai identitas yang dilindungi, bukan kondisi yang harus diatasi. Hal ini berpotensi menghambat transformasi sosial dan ekonomi yang lebih mendalam.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul)

Indikasi pemeliharaan kemiskinan melalui politik semakin nyata ketika bansos tidak diarahkan untuk pemberdayaan, melainkan sekadar konsumtif. Dalam laporan yang diberitakan oleh Tempo.co Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bahkan mengkaji perluasan bansos untuk kelas menengah yang terancam, menunjukkan bahwa cakupan bantuan kini meluas ke kelompok yang sebelumnya tidak dianggap rentan (https://www.tempo.co/ekonomi/gus-ipul-akan-optimalkan-penyaluran-bansos-di-2025-kelas-menengah-bakal-kebagian--3646). Meski langkah ini bisa dilihat sebagai respons terhadap dinamika ekonomi, seperti PHK massal dan inflasi pangan, tetap ada risiko bahwa bansos digunakan sebagai instrumen populis untuk memperluas basis dukungan politik. Ketika bantuan sosial menjadi bagian dari strategi elektoral, maka kemiskinan tidak lagi dipandang sebagai masalah struktural yang harus diselesaikan, melainkan sebagai aset politik yang dipelihara.

Fenomena penerima bansos yang salah sasaran memperkuat dugaan tersebut. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa sekitar 46% penerima bansos tidak tepat sasaran akibat kesalahan pendataan, termasuk inclusion dan exclusion error. Dilansir dari Kompas.co “Ditengarai ini yang menarik, untuk PKH dan sembako misalnya itu, 45 persen mistarget atau salah sasaran. Jadi hampir bansos dan subsidi sosial kita itu ditengarai tidak tepat sasaran,” Ucap gus ipul dalam rapat kerja bersama DPR RI komisi IX di parlemen, senayan Jakarta(Selasa,5/7/2025)https://nasional.kompas.com/read/2025/07/15/20042291/mensos-45-persen-bansos-salah-sasaran. Bahkan Menteri Sosial sendiri mengakui bahwa 45% bansos diduga kuat salah sasaran. Banyak kasus ditemukan di mana aparatur sipil negara (ASN) dengan penghasilan di atas UMR tercatat sebagai penerima bansos, sementara masyarakat miskin yang seharusnya menerima justru terlewat. Program-program seperti Keluarga Harapan (PKH), subsidi LPG, dan bantuan pangan menunjukkan angka signifikan ketidaktepatan sasaran, yang tidak hanya merugikan anggaran negara tetapi juga memperkuat ketidakadilan sosial.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya sistem verifikasi dan validasi data. Meskipun pemerintah telah meluncurkan sistem Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) dan aplikasi Cek Bansos, proses pemutakhiran data masih menghadapi tantangan besar, terutama di daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terpencil). Ketidakakuratan data juga berdampak pada kebijakan fiskal dan efektivitas program bansos. Misalnya, dalam laporan dari Suara.com data BPS menunjukkan bahwa angka kemiskinan di perkotaan justru meningkat dari 6,66% menjadi 6,73% pada Maret 2025, menandakan bahwa bansos belum menyentuh kelompok paling rentan secara optimal. Bahkan, laporan dari Celios menyebut bahwa data kemiskinan BPS tidak mencerminkan realitas, karena metode pengukuran yang usang dan tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.(https://www.suara.com/bisnis/2025/07/29/155608/warga-miskin-kota-naik-bukti-data-penerima-bansos-bps-bias)

Dalam menghadapi tantangan kemiskinan yang kompleks dan berlapis di Indonesia, pendekatan konvensional berupa bantuan sosial langsung sudah saatnya dievaluasi secara kritis. Bantuan yang bersifat instan dan konsumtif memang dapat meredam gejolak ekonomi sesaat, namun tidak cukup untuk membangun fondasi kemandirian masyarakat. Ketika bansos menjadi satu-satunya solusi, masyarakat berisiko terjebak dalam siklus ketergantungan yang melemahkan daya saing dan potensi kreatif mereka. Oleh karena itu, mengalihkan sebagian dana bansos ke program edukasi finansial berbasis media sosial dan influencer cerdas menjadi langkah strategis yang lebih relevan dengan zaman.

Di era digital yang telah memasuki fase media sosial bukan lagi sekadar hiburan, melainkan ruang utama pembentukan opini dan perilaku publik. Pemerintah dapat memanfaatkan algoritma platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram untuk mengarahkan konten edukatif keuangan dan pemberdayaan agar menjangkau setidaknya 70% pengguna aktif. Ini Seharusnya bukan sekadar dijadikan wacana, melainkan strategi yang telah terbukti efektif melalui figur-figur seperti Raymond Chin, Timothy Ronald, Guru Gembul, dan Ferry Irwandi. Mereka bukan hanya influencer, tetapi juga edukator publik yang menyampaikan literasi keuangan, etika sosial, dan pemikiran kritis dengan gaya yang menarik dan mudah dicerna. Bahkan nama-nama seperti Felicia Putri Tjiasaka, Prita Ghozie, dan Fellexandro Ruby juga layak dipertimbangkan sebagai mitra strategis dalam kampanye edukasi nasional.

Ketika influencer yang kredibel dan berintegritas diberi ruang dan dukungan untuk menyebarkan konten edukatif, maka masyarakat tidak hanya terhibur, tetapi juga tercerahkan. Konten yang memancing nafsu, pamer kekayaan, atau sekadar “brainrot” bisa digeser oleh narasi yang membangun kesadaran finansial, etika konsumsi, dan semangat kewirausahaan. Pemerintah memiliki kapasitas untuk mengatur algoritma dan insentif konten, sehingga ekosistem digital menjadi lebih sehat dan produktif. Ini bukan soal membatasi kebebasan berekspresi, melainkan mengarahkan energi kolektif ke arah yang lebih bermakna.

Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya mengurangi angka kemiskinan, tetapi juga membentuk masyarakat yang tangguh, kreatif, dan mandiri secara finansial. Edukasi yang dikemas secara populer dan disebarkan melalui kanal yang relevan dengan gaya hidup masyarakat masa kini adalah kunci untuk membuka pintu perubahan. Maka, mari kita ubah paradigma: dari bantuan langsung menuju pemberdayaan digital. Dari konsumsi pasif menuju partisipasi aktif. Dari ketergantungan menuju kemandirian.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Analisis Kriteria Kemiskinan dan Efektivitas Bansos di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel