Kenaikan Tarif Pajak Bumi dan Bangunan di Berbagai Daerah
45News id - Gelombang protes besar-besaran mengguncang Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menyusul kebijakan kontroversial kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250%. Kebijakan ini memicu kemarahan publik yang meluas, dengan lebih dari 100.000 warga turun ke jalan menuntut Bupati Sudewo untuk mundur dari jabatannya. Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi aksi yang penuh ketegangan ketika Bupati Sudewo mencoba menemui massa. Ia muncul dari kendaraan taktis dan menyampaikan permintaan maaf, namun respons warga begitu keras dari lemparan botol air mineral dan sandal menghujani mobil yang ditumpanginya. Aksi ini bukan sekadar penolakan terhadap kebijakan fiskal, tetapi juga ekspresi kekecewaan mendalam terhadap kepemimpinan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil.
Tanggapan dari pemerintah pusat pun tak lama menyusul. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian secara terbuka menegur Bupati Sudewo atas kebijakan yang dinilai tidak melalui komunikasi yang memadai dengan pemerintah pusat. Tito menekankan pentingnya kepala daerah untuk mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum menetapkan kebijakan pajak yang berdampak luas. Ia juga menyatakan akan melakukan komunikasi intensif dengan para kepala daerah untuk membahas ulang kebijakan fiskal yang berpotensi memberatkan rakyat. Imbauan ini menjadi sinyal bahwa pemerintah pusat tidak akan tinggal diam terhadap kebijakan daerah yang dinilai ugal-ugalan dan tidak sensitif terhadap daya beli masyarakat.
Namun, Pati bukan satu-satunya daerah yang mengalami lonjakan tarif PBB. Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, warga dikejutkan dengan kenaikan PBB yang mencapai 1.202%, menjadikannya daerah dengan kenaikan tertinggi di Indonesia. Tagihan yang semula hanya Rp400 ribu melonjak menjadi Rp3,5 juta, memicu keresahan dan protes dari berbagai lapisan masyarakat. Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak menyebut bahwa kebijakan tersebut merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya, dan berjanji akan mengevaluasi ulang penetapan nilai objek pajak (NJOP) yang menjadi dasar kenaikan. Di Kota Cirebon, Jawa Barat, situasi tak kalah genting. Kenaikan PBB hingga 1.000% membuat warga menggugat kebijakan tersebut ke Mahkamah Agung, meski gugatan itu ditolak. Protes terus bergulir, dan masyarakat mulai menggalang donasi serta konsolidasi untuk menolak kebijakan yang dianggap tidak adil dan memberatkan.
Fenomena kenaikan tarif PBB secara ekstrem ini menunjukkan adanya pola kebijakan fiskal yang tidak selaras dengan kondisi riil masyarakat. Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kebijakan semacam ini justru memperlebar jurang ketimpangan dan memperburuk kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Menteri Tito Karnavian bahkan menyebut bahwa jika kondisi sosial ekonomi masyarakat tidak kondusif, maka kebijakan semacam ini sebaiknya ditunda atau dibatalkan. Ia juga mengingatkan agar proses pemakzulan terhadap kepala daerah seperti Bupati Sudewo tidak dilakukan secara anarkis, melainkan melalui mekanisme konstitusional yang tersedia. Gelombang protes di Pati, Jombang, dan Cirebon menjadi cerminan bahwa kebijakan fiskal yang tidak berpihak pada rakyat akan selalu berhadapan dengan resistensi sosial yang kuat.
-Di tengah gelombang protes yang mengguncang berbagai daerah akibat kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pemerintah daerah mulai menunjukkan respons yang lebih terbuka terhadap aspirasi publik. Di Kota Cirebon, Wali Kota Effendi Edo mengakui bahwa kebijakan kenaikan PBB memang telah menimbulkan keresahan luas. Ia membantah bahwa kenaikan mencapai 1.000 persen secara menyeluruh, namun mengakui adanya lonjakan signifikan di beberapa titik akibat penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah belasan tahun tidak diperbarui. Menyikapi tekanan publik, Pemkot Cirebon bersama DPRD setempat kini tengah mengevaluasi dan merevisi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 yang menjadi dasar kenaikan tersebut. Bahkan, diskon hingga 50% telah diberlakukan sebagai bentuk keringanan sementara, meski banyak warga menilai bahwa potongan tersebut belum cukup untuk mengatasi beban pajak yang melonjak drastis.
Sementara itu, di Kabupaten Pati, meskipun kebijakan kenaikan PBB sebesar 250% telah memicu demonstrasi besar-besaran, pemerintah daerah memberikan ruang bagi pengajuan keringanan administrasi. Plt. Sekda Pati Riyoso menyatakan bahwa warga yang merasa keberatan dapat mengajukan permohonan pengurangan ketetapan pajak melalui mekanisme yang telah disediakan. Langkah ini menjadi bentuk kompromi di tengah tekanan sosial yang terus meningkat, sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah daerah mulai menyadari pentingnya pendekatan yang lebih humanis dalam kebijakan fiskal.
Di balik kebijakan kenaikan tarif PBB yang terjadi secara serentak di berbagai daerah, sejumlah analis menyoroti akar persoalan yang lebih dalam: efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemangkasan transfer ke daerah (TKD) hingga 50% dalam RAPBN 2026 menjadi salah satu pemicu utama yang memaksa pemerintah daerah mencari sumber pendapatan alternatif. Dengan ruang fiskal yang semakin sempit dan ketergantungan tinggi terhadap dana pusat, banyak daerah memilih jalur instan dengan menaikkan tarif pajak, termasuk PBB. Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menyebut bahwa pemangkasan DAU dan DAK sangat memengaruhi kemampuan fiskal daerah, sehingga PBB menjadi sasaran empuk karena sistem pemungutannya sudah mapan dan mudah diakses oleh pemerintah daerah.
Namun, pemerintah pusat melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi memberikan klarifikasi yang berbeda. Menurutnya, kenaikan tarif PBB bukan semata-mata dampak dari kebijakan efisiensi anggaran, melainkan lebih pada dinamika lokal di masing-masing daerah. Ia menegaskan bahwa penetapan tarif PBB sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah melalui peraturan yang disepakati bersama DPRD. Bahkan, beberapa kebijakan kenaikan tarif telah ditetapkan sejak 2023 atau 2024 dan baru diimplementasikan pada 2025. Pernyataan ini sekaligus menjadi penegasan bahwa tanggung jawab atas lonjakan tarif PBB tidak bisa sepenuhnya dialihkan kepada pemerintah pusat, melainkan harus dilihat sebagai hasil dari keputusan dan tata kelola fiskal di tingkat daerah.
Gelombang protes masyarakat, peneguran dari pemerintah pusat, serta respons kepala daerah menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar teknis fiskal, melainkan menyangkut keadilan sosial dan legitimasi kebijakan publik. Di tengah tekanan ekonomi pasca-pandemi dan pemangkasan transfer dana dari pusat ke daerah, banyak pemerintah daerah terpaksa mencari sumber pendapatan alternatif. Namun, keputusan untuk menaikkan tarif PBB secara drastis tanpa komunikasi yang memadai dan tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat justru memicu resistensi sosial yang luas.
Diperlukan pembahasan lintas kementerian yang serius dan terstruktur untuk merumuskan solusi jangka panjang atas persoalan ini. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian ATR/BPN perlu duduk bersama dengan pemerintah daerah dan DPRD untuk mengevaluasi kebijakan fiskal yang berpotensi menimbulkan ketimpangan. Penyesuaian NJOP, reformulasi sistem pajak daerah, dan transparansi dalam penetapan tarif harus menjadi bagian dari agenda reformasi fiskal yang lebih inklusif. Selain itu, dibutuhkan mekanisme kontrol sosial yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan, agar suara warga tidak hanya terdengar saat protes, tetapi juga diakui dalam proses pengambilan keputusan.
Kenaikan tarif PBB yang memicu gejolak sosial ini menjadi pengingat bahwa kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan ekonomi masyarakat. Ketika pajak yang seharusnya menjadi instrumen pembangunan justru menjadi beban yang memberatkan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan tergerus. Oleh karena itu, solusi atas masalah ini tidak cukup dengan revisi tarif semata, tetapi harus menyentuh akar persoalan: tata kelola fiskal yang adil, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Dari Fenomena ini, krisis PBB ini adalah cermin dari tantangan besar dalam hubungan antara pusat dan daerah, antara kebijakan dan realitas sosial. Ia menuntut keberanian untuk memperbaiki sistem, ketulusan dalam mendengar suara rakyat, dan komitmen untuk menjadikan pajak sebagai alat keadilan, bukan sekadar angka dalam neraca pendapatan. Jika pemerintah mampu menjawab tantangan ini dengan kebijakan yang bijak dan berpihak, maka bukan hanya gejolak yang mereda, tetapi juga harapan rakyat yang kembali tumbuh.(js)
Belum ada Komentar untuk "Kenaikan Tarif Pajak Bumi dan Bangunan di Berbagai Daerah"
Posting Komentar