-->
Loading...

Podkas bersama mahfud MD: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia dan Tindakan Pemerintah Terhadap Korupsi dan Mafia

Prof Mahfud MD

45News id - Dalam salah satu episode terbaru dari podcast “Terus Terang” milik Mahfud MD, muncul pernyataan yang mengguncang ruang publik: seorang narasumber secara terbuka menantang Kapolri untuk berdiskusi mengenai keberadaan mafia di Indonesia. Tantangan ini bukan sekadar retorika, melainkan bentuk keprihatinan mendalam terhadap lemahnya respons aparat penegak hukum terhadap laporan-laporan masyarakat yang menyebut keterlibatan mafia dalam berbagai sektor. Narasumber tersebut menegaskan bahwa banyak laporan tentang praktik mafia yang telah disampaikan kepada institusi hukum, namun tidak ditindaklanjuti secara serius. Bahkan, ia menyebut bahwa mafia tidak berdiri sendiri, melainkan beroperasi melalui kolaborasi dengan oknum aparat dan pejabat negara, menciptakan jaringan kekuasaan yang sulit ditembus oleh hukum.

Pernyataan ini sejalan dengan refleksi yang disampaikan Mahfud MD dalam Blak-blakan Mahfud MD, di mana ia mengungkap pengalamannya berhadapan langsung dengan mafia hukum selama menjabat sebagai Menko Polhukam. Mahfud menyoroti bagaimana hukum di Indonesia kerap dipermainkan oleh kepentingan elit, dan menyerukan agar tindakan tegas diambil terhadap mafia serta praktik korupsi yang merusak sendi-sendi keadilan. Ia bahkan menyebut bahwa hukum Indonesia kadang terasa seperti “toko kelontong,” di mana keadilan bisa dinegosiasikan, dan menekankan pentingnya keberanian politik untuk membongkar jaringan mafia peradilan.

Di tengah sorotan terhadap isu mafia dan korupsi, Mahfud MD juga menyampaikan refleksi hangat tentang perayaan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia dalam TERUS TERANG MAHFUD MD - EPISODE 13 SPESIAL . Dari Yogyakarta, ia menyampaikan ucapan selamat kemerdekaan kepada seluruh rakyat Indonesia, seraya mengamati kemeriahan dan semangat masyarakat dalam merayakan hari bersejarah tersebut. Dalam suasana yang penuh harapan, Mahfud mengajak publik untuk tidak hanya merayakan kemerdekaan secara simbolik, tetapi juga menjadikannya momentum untuk menjaga integritas dan memperkuat kemajuan bangsa. Ia menekankan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari belenggu korupsi, mafia, dan ketidakadilan struktural.

Narasi ini juga diperkuat dalam Mahfud MD - Cerita Kemerdekaan versi Kekinian | BukaTalks, di mana Mahfud mengajak generasi muda untuk menyambut Indonesia Emas 2045 dengan semangat optimisme dan tanggung jawab. Ia menekankan bahwa kemerdekaan harus dijaga melalui partisipasi aktif dalam membangun sistem hukum yang bersih dan pemerintahan yang transparan. Dalam konteks ini, perayaan kemerdekaan menjadi ruang kontemplatif untuk menilai sejauh mana bangsa ini telah merdeka dari praktik mafia dan korupsi yang menggerogoti institusi negara.

Mahfud MD menyampaikan pandangan yang menyentuh dan penuh nuansa tentang capaian bangsa dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Ia menolak narasi pesimisme yang kerap menyebut Indonesia stagnan atau gagal, dengan menegaskan bahwa kemerdekaan telah membuka jalan bagi kemajuan yang nyata, meskipun belum sempurna. Salah satu indikator yang ia soroti adalah meningkatnya akses pendidikan tinggi. Mahfud mengingatkan bahwa di masa lalu, anak-anak dari desa nyaris mustahil bisa masuk perguruan tinggi ternama seperti ITB, apalagi berkuliah di luar negeri. Kini, berkat kebijakan beasiswa dan perluasan akses pendidikan, hal itu menjadi sesuatu yang lumrah. Jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta melonjak, dan Indonesia telah melahirkan lebih dari 18 juta lulusan perguruan tinggi. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari transformasi sosial yang memungkinkan mobilitas vertikal dan penguatan kapasitas sumber daya manusia secara luas.

Di bidang ekonomi, Mahfud MD mengajak publik untuk melihat tren jangka panjang yang menunjukkan penurunan angka kemiskinan secara konsisten. Ia mengutip data historis yang menunjukkan bahwa pada masa awal kemerdekaan, angka kemiskinan berada di kisaran 44 persen. Pemerintahan Soeharto berhasil menurunkannya hingga 18 persen, dan era reformasi melanjutkan tren tersebut. Di masa pemerintahan SBY, angka kemiskinan turun menjadi 11,7 persen, dan pada akhir masa jabatan Presiden Jokowi, angka tersebut menyentuh 8,7 persen. Mahfud menekankan bahwa meskipun masih ada ketimpangan dan tantangan struktural, capaian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah bergerak maju. Ia mengajak masyarakat untuk tidak hanya fokus pada kekurangan, tetapi juga mensyukuri kemajuan yang telah dicapai sebagai hasil dari kemerdekaan dan kerja keras lintas generasi.

Dalam konteks kenegaraan yang lebih luas, pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR RI menjadi sorotan penting. Mahfud MD, bersama banyak tokoh lainnya, mencermati pidato tersebut sebagai penegasan komitmen terhadap pemberantasan korupsi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Prabowo secara terbuka mengakui bahwa korupsi masih merajalela di berbagai institusi, termasuk BUMN dan BUMD, dan menyampaikan bahwa pemerintah telah berhasil mengamankan Rp300 triliun anggaran yang rawan diselewengkan, lalu mengalihkannya ke sektor produktif. Ia juga menyoroti praktik “serakahnomics” yang merugikan rakyat, seperti penimbunan bahan pangan, dan berjanji untuk menindak tegas pelaku-pelakunya dengan berlandaskan Pasal 33 UUD 1945.

Pidato tersebut juga memuat berbagai program konkret yang menyentuh langsung kehidupan rakyat, seperti pembangunan 100 Sekolah Rakyat, renovasi 13.000 sekolah dan 1.400 madrasah, serta pembentukan 80.000 koperasi desa untuk menekan harga kebutuhan pokok dan menggerakkan ekonomi lokal. Program “Makan Bergizi Gratis” telah menjangkau 20 juta anak sekolah, ibu hamil, dan balita, serta membuka 290.000 lapangan kerja baru. Prabowo juga menegaskan bahwa tidak ada yang kebal hukum, termasuk pejabat dan anggota partai, dalam upaya penertiban tambang ilegal dan penguasaan kembali jutaan hektare sawit ilegal. Semua ini, menurut Mahfud dan para pengamat, menunjukkan arah kebijakan yang berani dan berpihak pada rakyat. Namun, harapan terbesar tetap terletak pada implementasi nyata dari pidato tersebut. Sebab, seperti yang sering diingatkan oleh masyarakat sipil, pidato yang baik harus diikuti oleh tindakan yang konsisten dan berani, bukan sekadar retorika yang menguap setelah tepuk tangan di ruang sidang.

Dalam perbincangan yang semakin mengarah pada akar persoalan struktural, Mahfud MD menyoroti praktik tambang ilegal sebagai salah satu bentuk korupsi yang paling merusak dan paling sulit diberantas. Ia mengungkap bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami deforestasi sebesar 12,5 juta hektare akibat aktivitas tambang ilegal, sebuah angka yang jauh melampaui luas negara seperti Korea Selatan dan bahkan 23 kali luas Pulau Madura tempat ia berasal. Mahfud menekankan bahwa tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk kejahatan terorganisir yang melibatkan kolusi antara oknum aparat, pejabat daerah, dan mafia bisnis. Ia menyebut bahwa pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak semudah yang dibayangkan, karena banyak izin tersebut telah menjadi alat permainan mafia yang memiliki beking kuat di berbagai lapisan kekuasaan.

Pengalaman Mahfud saat menangani kasus tambang ilegal di Sangihe menjadi ilustrasi konkret dari betapa kompleksnya persoalan ini. Ia mengirim tim ke lapangan dan menemukan bahwa meskipun Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan, implementasi di lapangan tetap terhambat oleh jaringan kekuasaan yang melindungi praktik ilegal tersebut. Dalam debat publik, Mahfud menyatakan bahwa KPK pun telah mengakui banyaknya tambang ilegal yang dibekingi oleh aparat dan pejabat, sehingga pemberantasannya memerlukan komitmen politik yang kuat dan keberanian untuk menabrak kepentingan elite. Ia menyerukan agar Presiden dan lembaga penegak hukum tidak hanya mengeluarkan pernyataan, tetapi benar-benar menindak tegas para pelaku, termasuk mereka yang berada di “langit ketujuh” istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan level kekuasaan tertinggi yang turut melindungi praktik ilegal.

Dalam konteks penegakan hukum, Mahfud juga menyoroti kasus Silvester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), yang hingga kini belum dieksekusi meskipun telah divonis 1,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung sejak 2019. Mahfud menyebut bahwa penundaan eksekusi ini sangat mencurigakan dan menakutkan, karena menunjukkan bahwa vonis pidana bisa tidak dijalankan tanpa penjelasan yang masuk akal. Ia menegaskan bahwa dalam hukum pidana, tidak ada ruang untuk perdamaian antara pelaku dan korban, karena musuh utama pelaku adalah negara, bukan individu. Meskipun Silvester mengaku telah meminta maaf dan berdamai dengan Jusuf Kalla, Mahfud menolak anggapan bahwa hal itu bisa menggugurkan hukuman. Ia bahkan menyindir jaksa yang menangani kasus tersebut sebagai “bodoh” karena membiarkan terpidana tetap bebas dan tampil di depan publik.

Polemik mengenai ijazah Presiden Jokowi juga tak luput dari perhatian Mahfud. Ia menyikapi isu tersebut dengan tenang dan rasional, menekankan bahwa perdebatan soal ijazah tidak seharusnya menjadi alat politik yang merusak martabat kepemimpinan. Menurut Mahfud, seorang pemimpin tidak harus memiliki indeks prestasi tinggi untuk bisa memimpin negara dengan baik. Ia mengingatkan bahwa banyak pemimpin besar dunia yang tidak berasal dari latar akademik yang gemilang, tetapi mampu membawa perubahan besar karena integritas, visi, dan keberpihakan kepada rakyat. Dalam hal ini, Mahfud mengajak publik untuk lebih fokus pada kinerja dan komitmen pemimpin terhadap keadilan sosial, daripada terjebak dalam isu administratif yang telah melalui proses hukum dan verifikasi.

Mahfud MD menyampaikan harapan besar terhadap institusi kejaksaan. Ia menegaskan bahwa kejaksaan memiliki posisi strategis dalam menjaga marwah hukum di Indonesia, namun juga mengingatkan bahwa lambannya penegakan hukum dapat mencoreng nama baik institusi tersebut. Dalam berbagai forum, Mahfud menyatakan bahwa publik menaruh kepercayaan tinggi kepada kejaksaan dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, tetapi kepercayaan itu harus dijaga dengan tindakan nyata, bukan sekadar retorika. Ia mengungkap bahwa dalam kasus-kasus besar seperti korupsi Pertamina, proses hukum kerap terhenti di tengah jalan, dan hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kekuatan besar yang menghambat jalannya keadilan.

Mahfud tidak segan menyebut bahwa hambatan tersebut bisa berasal dari oligarki yang memiliki jaringan luas dan pengaruh kuat di berbagai sektor. Ia menyebut bahwa dalam kasus tambang ilegal maupun penguasaan lahan sawit, pola mafia yang muncul sangat mirip: melibatkan kolusi antara pengusaha besar, aparat penegak hukum, dan pejabat daerah. Dalam pandangannya, ketika oligarki sudah masuk ke dalam sistem, maka hukum tidak lagi berjalan secara independen, melainkan tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik. Ia bahkan memahami langkah Presiden Prabowo yang mengerahkan TNI untuk mengawal proses hukum di kejaksaan sebagai bentuk terobosan untuk menembus kebuntuan yang disebabkan oleh kekuatan oligarki. Meskipun secara hukum Mahfud tidak sepenuhnya setuju dengan pengerahan militer dalam ranah sipil, ia memaklumi bahwa dalam kondisi darurat, langkah tersebut bisa menjadi kunci untuk membuka jalan bagi penegakan hukum yang lebih berani dan bersih.

Dalam diskusi yang lebih luas, Mahfud juga menyampaikan kekhawatiran terhadap wacana nasionalisasi aset dan sumber daya oleh negara. Ia menekankan bahwa meskipun penguasaan negara atas sumber daya alam adalah amanat konstitusi, pelaksanaannya harus tetap memperhatikan keseimbangan dengan keterlibatan swasta. Menurutnya, negara tidak boleh menjadi satu-satunya aktor ekonomi yang dominan, karena hal itu bisa membuka ruang bagi birokrasi yang korup dan tidak efisien. Sebaliknya, keterlibatan swasta yang sehat dan transparan justru bisa memperkuat daya saing nasional dan mempercepat pembangunan. Mahfud mengajak publik untuk tidak terjebak dalam dikotomi antara negara dan swasta, melainkan membangun sinergi yang berpihak pada rakyat dan menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial.

Diskusi ini, yang berlangsung di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi momen reflektif yang sangat penting. Mahfud MD dan para narasumber lainnya mengajak masyarakat untuk tidak hanya merayakan kemerdekaan secara seremonial, tetapi juga menjadikannya titik tolak untuk memperkuat komitmen terhadap penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan penghapusan mafia di sektor-sektor strategis. Mereka menekankan bahwa kemajuan bangsa tidak bisa dipisahkan dari keberanian aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan konsisten. Tanpa itu, cita-cita kemerdekaan akan terus digerogoti oleh kekuatan-kekuatan yang bekerja di luar hukum dan mengabaikan kepentingan rakyat.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Podkas bersama mahfud MD: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia dan Tindakan Pemerintah Terhadap Korupsi dan Mafia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel