Analisis Radikal Politik Pasca 17 Agustus di Era Jokowi dan Prabowo Oleh Rokcy Gerung
45News id - Dalam analisis politik pasca 17 Agustus yang disampaikan oleh Rocky Gerung, muncul gagasan tentang “radical break” sebagai momen krusial yang dapat mengubah arah kekuasaan dan struktur politik Indonesia secara signifikan. Rocky menyoroti bahwa perayaan kemerdekaan bukan sekadar seremoni, melainkan titik balik yang membuka ruang bagi pergeseran kekuatan, terutama dalam relasi antara Presiden Jokowi dan tokoh-tokoh strategis seperti Tom dan Hasto. Ia mempertanyakan motif di balik konsolidasi kekuasaan yang tampak semakin tertutup, dan menyiratkan bahwa ada dinamika tersembunyi yang belum sepenuhnya diungkap ke publik.
Dalam narasi ini, Prabowo Subianto muncul sebagai figur yang berpotensi melakukan koreksi terhadap warisan politik yang dianggap merugikan. Rocky menggunakan analogi film untuk menggambarkan kesadaran Prabowo terhadap “naskah lama” yang penuh manipulasi dan kompromi. Ia menyebut bahwa Prabowo mulai membaca ulang skenario kekuasaan dengan kacamata nilai, bukan sekadar kalkulasi politik. Langkah-langkah seperti abolisi dan amnesti dipandang sebagai bentuk koreksi terhadap perjanjian-perjanjian yang tidak berpihak pada rakyat. Di sini, nilai menjadi kompas, bukan sekadar instrumen retoris.
Namun, analisis ini juga menggarisbawahi risiko besar yang dihadapi Prabowo jika tidak mengambil langkah tegas. Ketika suara rakyat semakin lantang dan tuntutan akan keadilan sosial makin mendesak, ketidaktegasan bisa menjadi bumerang. Rocky menyiratkan bahwa Prabowo berada di persimpangan antara keberanian moral dan kompromi politik. Jika ia memilih untuk mendengar suara rakyat dan melakukan “radical break” terhadap sistem yang lama, maka ia berpeluang menjadi pemimpin yang benar-benar membawa perubahan. Sebaliknya, jika ia tetap berada dalam bayang-bayang kekuasaan lama, maka kritik akan datang bukan hanya dari oposisi, tetapi dari rakyat yang merasa dikhianati.
Dalam lanskap politik Indonesia pasca 17 Agustus, istilah “radical break” yang digulirkan oleh Rocky Gerung menjadi semacam sinyal peringatan sekaligus harapan akan perubahan struktural yang tak bisa lagi ditunda. Resuffle kabinet, yang biasanya hanya dipandang sebagai rotasi teknokratik, kini dimaknai sebagai peluang untuk membongkar fondasi kekuasaan lama dan membangun ulang arsitektur pemerintahan yang lebih responsif terhadap suara rakyat. Rocky menekankan bahwa momen ini bukan sekadar pergantian posisi, melainkan titik krusial yang menentukan apakah Prabowo akan menjadi pelanjut status quo atau pemutus rantai kompromi politik yang telah lama membebani demokrasi.
Suara rakyat, dalam analisis ini, bukan lagi sekadar latar belakang retoris, melainkan kekuatan yang mendesak perubahan nyata. Ketika tuntutan akan abolisi dan amnesti mengemuka, bukan hanya sebagai wacana hukum tetapi sebagai ekspresi keadilan yang tertunda, maka pemerintah tidak bisa lagi berlindung di balik prosedur. Jika Prabowo gagal merespons tuntutan ini, konsekuensi politiknya akan sangat nyata: kehilangan legitimasi moral, dan terjebak dalam pusaran kritik yang tak kunjung reda. Rocky menyiratkan bahwa keberanian untuk melakukan abolisi dan amnesti bukan hanya soal keberpihakan, tetapi soal keberanian untuk mengoreksi sejarah yang pincang.
Rencana aksi pasca 17 Agustus, menurut Rocky, akan menjadi ujian pertama bagi Prabowo sebagai pemimpin yang digadang-gadang membawa semangat baru. Jika ia memilih untuk menunda atau menghindari keputusan besar, maka “radical break” akan berubah menjadi “radical backlash” gelombang kekecewaan yang bisa menggerus kepercayaan publik. Sebaliknya, jika ia berani mengambil langkah korektif, maka ia membuka ruang bagi rekonsiliasi politik yang lebih jujur dan berakar pada nilai. Dalam konteks ini, abolisi dan amnesti bukan hanya instrumen hukum, tetapi simbol keberanian untuk mengakui kesalahan dan membangun ulang kepercayaan.
Persepsi terhadap abolisi dan amnesti pun tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas. Keputusan semacam ini selalu bersifat politis, karena menyangkut siapa yang diampuni, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang diuntungkan. Rocky mengajak publik untuk tidak melihatnya sebagai kebijakan teknis, tetapi sebagai refleksi dari arah moral pemerintahan. Jika Prabowo benar-benar ingin melakukan “radical break”, maka ia harus berani menempatkan nilai di atas kalkulasi, dan mendengarkan suara rakyat bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kompas. Dalam dunia politik yang penuh kompromi, keberanian untuk bertindak berdasarkan nilai adalah bentuk radikalisme yang paling dibutuhkan saat ini.
Dalam narasi politik pasca 17 Agustus, sinyal yang dikirimkan Prabowo tampak semakin jelas: ia berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang afiliasi politik tertentu dan menunjukkan keberpihakan yang lebih netral serta berorientasi pada kepentingan rakyat. Langkah-langkah seperti mempertimbangkan abolisi dan amnesti bukan sekadar manuver hukum, melainkan bentuk respons terhadap desakan publik yang menuntut keadilan dan rekonsiliasi. Dalam konteks ini, Prabowo tampaknya ingin memperbaiki hubungan politik yang selama ini terjebak dalam polarisasi, sekaligus membuka ruang baru bagi dialog yang lebih jujur dan inklusif.
Rocky Gerung dalam analisisnya juga mengangkat paradoks Indonesia: sebuah negara yang kaya akan sumber daya dan semangat kolektif, namun sering kali terjebak dalam siklus kompromi politik yang menghambat keberlanjutan. Prabowo, sebagai figur yang kini berada di titik strategis, dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Ia bisa melanjutkan jalur lama yang penuh kalkulasi dan konsolidasi, atau ia bisa memilih jalan baru yang lebih berani menjadikan jalan yang menempatkan nilai, keadilan, dan suara rakyat sebagai fondasi utama. Dalam dilema ini, keberanian untuk memilih jalur sendiri menjadi penentu apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin transaksional atau transformasional.
Kesimpulan akhir dari analisis ini menegaskan bahwa mendengarkan suara rakyat bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga strategi politik yang paling berkelanjutan. Tindakan-tindakan seperti abolisi dan amnesti, jika dilakukan dengan niat tulus dan transparansi, bisa menjadi titik awal rekonsiliasi yang tidak hanya menguntungkan elite, tetapi juga menyentuh kesejahteraan rakyat secara nyata. Rekonsiliasi yang sejati bukanlah sekadar penghapusan dosa politik, melainkan pemulihan kepercayaan publik terhadap negara dan pemimpinnya.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Analisis Radikal Politik Pasca 17 Agustus di Era Jokowi dan Prabowo Oleh Rokcy Gerung"
Posting Komentar