Bahasa Isyarat, Identitas yang Menggerakkan
45News id - Dalam semangat memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional, Kampus 2 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menjadi tuan rumah sebuah perhelatan inklusif yang digagas oleh HBII dan Pusbisindo pada Sabtu, 27 September 2025. Dimulai pukul 09.00 pagi, acara ini menghadirkan komunitas tunarungu dari berbagai daerah, serta masyarakat umum yang turut merayakan keberagaman bahasa dan budaya. Dua pembawa acara yang juga merupakan individu tunarungu memimpin jalannya kegiatan dengan bahasa isyarat, sementara translator di balik layar memastikan seluruh peserta dapat mengikuti dengan baik.
Sorotan utama acara adalah seminar yang dibawakan oleh Michelle Liyanto dari Pusbisindo Pusat. Ia mengangkat isu hak dan aksesibilitas bagi komunitas tuli, menekankan bahwa bahasa isyarat bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan bagian dari identitas budaya dan hak asasi manusia. Michelle mengajak peserta untuk memahami perjuangan komunitas tuli dalam mendapatkan pengakuan, kesetaraan, dan kesempatan kerja yang bebas dari diskriminasi. Ia juga menyoroti pentingnya akses dalam layanan publik, pendidikan, dan ruang komunikasi yang setara.
Nabilatul Fadila, Koordinator HBII, turut menyampaikan tantangan yang dihadapi komunitas tunarungu, terutama stigma yang menyempitkan definisi tuli sebagai cacat pendengaran semata. Ia menyoroti minimnya pendidikan inklusif yang berkualitas dan keterbatasan akses informasi di ruang publik. “Tanpa penggunaan BISINDO, kami sering mengalami miskomunikasi, diskriminasi, dan kesulitan mendapatkan informasi,” ujar Nabilatul.
Selain seminar, acara ini juga menjadi panggung bagi ekspresi seni komunitas. Drama dongeng tentang ibu burung dan anaknya yang jatuh dari sarang dibawakan oleh anggota HBII dengan penuh penghayatan. Penampilan pantomim oleh Zidan dan Adam, dua anak tunarungu, berhasil memikat perhatian penonton. Momen yang paling menyentuh adalah penampilan Tari Remo oleh Diar, seorang penari disabilitas berusia 30 tahun. Diar dilatih oleh Anita, guru tari yang kini membuka pelatihan privat bagi penyandang disabilitas. “Saya berharap kegiatan ini bisa berkembang menjadi komunitas budaya yang mendukung teman-teman disabilitas,” kata Anita.
Sebagai penutup, pengunjung diajak berpartisipasi dalam aksi “One Letter to HBII 2025” dengan menempelkan kertas warna di dinding sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan komunitas tuli. Di sisi lain, karya-karya lukisan hasil tangan anggota tunarungu turut dipamerkan, memperlihatkan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya. Acara ini menjadi bukti bahwa bahasa isyarat mampu menjembatani perbedaan, menyatukan komunitas, dan menghidupkan semangat solidaritas lintas identitas.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Bahasa Isyarat, Identitas yang Menggerakkan"
Posting Komentar