-->
Loading...

Analisis Situasi Sosial dan Politik di Indonesia Oleh Bung Rocky : Dari Pati dan Bone ke Kebangkitan Rakyat, Prabowo terancam hanya 2 tahun memerintah

45News id - Dalam video podkas dari kanal youtube bernama Rakyat bersuara yang disampaikan oleh Bung Rocky Gerung, demonstrasi yang terjadi di Pati dan Bone bukan sekadar letupan lokal, melainkan cerminan dari ketidakpuasan yang lebih luas di tengah masyarakat. Rocky menggarisbawahi bahwa gejolak ini lahir dari tekanan ekonomi yang semakin memburuk dan kebijakan pemerintah yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil. Masyarakat di berbagai daerah mulai merasakan dampak langsung dari kebijakan fiskal yang ketat, seperti kenaikan pajak dan pengurangan transfer dana ke daerah, yang pada akhirnya mempersempit ruang gerak ekonomi lokal dan memperburuk kesejahteraan warga. Dalam konteks ini, Pati dan Bone menjadi simbol penting, bukan hanya karena skala demonstrasinya, tetapi juga karena keduanya memiliki sejarah panjang sebagai wilayah perjuangan rakyat. Ketika masyarakat di daerah yang secara historis dikenal sebagai pusat perlawanan mulai bergerak, maka itu menandakan bahwa ada sesuatu yang sangat mendalam sedang bergolak di bawah permukaan.

Rocky juga menyoroti bagaimana persepsi terhadap Presiden Prabowo Subianto sedang mengalami tekanan sistematis. Ia menyebut bahwa ada upaya delegitimasi yang dilakukan melalui berbagai isu yang dilemparkan ke ruang publik, mulai dari kebijakan ekonomi hingga narasi tentang kekuatan politik Prabowo. Pidato Presiden Jokowi yang menyebut Prabowo sebagai “orang paling kuat di Indonesia” justru menjadi titik balik yang memicu pertanyaan besar: jika Prabowo memang sekuat itu, mengapa kebijakan-kebijakan yang lahir di bawah pemerintahannya justru menimbulkan keresahan? Rocky membaca pernyataan tersebut bukan sebagai pujian, melainkan sebagai bentuk ironi yang membuka ruang bagi kritik terhadap efektivitas kekuasaan Prabowo. Dalam pandangan Rocky, kekuatan politik tidak hanya diukur dari jabatan atau dukungan institusional, tetapi dari kemampuan untuk meredam keresahan rakyat dan mengarahkan kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial.

Isu pajak menjadi salah satu pemicu utama demonstrasi yang terjadi. Rocky menjelaskan bahwa kebijakan pajak yang tinggi, terutama yang menyasar sektor informal dan UMKM, telah menimbulkan tekanan luar biasa bagi masyarakat kelas bawah. Di sisi lain, pengurangan transfer daerah membuat pemerintah lokal kehilangan daya untuk mengintervensi ekonomi masyarakat secara langsung. Ketimpangan ini menciptakan rasa frustrasi yang mendalam, karena rakyat merasa bahwa mereka diminta berkontribusi lebih besar melalui pajak, sementara fasilitas dan bantuan dari negara justru semakin berkurang. Dalam situasi seperti ini, demonstrasi bukan lagi sekadar ekspresi ketidakpuasan, tetapi menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil dan tidak berpihak pada rakyat.

Rocky Gerung, dengan gaya retorisnya yang tajam, mengajak publik untuk membaca gejala sosial ini sebagai sinyal bahwa legitimasi kekuasaan sedang diuji. Ia tidak hanya mengkritik kebijakan, tetapi juga mengajak masyarakat untuk berpikir lebih dalam tentang arah politik nasional dan bagaimana kekuasaan dijalankan. Ketika demonstrasi mulai muncul di daerah-daerah yang memiliki bobot historis dan simbolik, maka itu bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal narasi kebangsaan yang sedang mengalami pergeseran. Dalam pandangan Rocky, kekuasaan yang tidak mampu menjawab keresahan rakyat akan kehilangan makna, dan pada akhirnya akan digugat oleh sejarah itu sendiri.

Dalam upaya merespons krisis sosial dan ekonomi yang mulai memuncak, Presiden Prabowo Subianto mengadopsi pendekatan populis yang bertujuan untuk meredakan ketegangan publik. Kebijakan-kebijakan yang ia dorong, seperti kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang konsumsi umum, menjadi langkah awal untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Selain itu, Prabowo juga meluncurkan program makan siang gratis bagi anak sekolah dan pemeriksaan kesehatan gratis untuk puluhan juta warga, sebagai bagian dari strategi untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Di sektor pertanian, perhatian terhadap nilai tukar petani menjadi bagian dari narasi keberpihakan terhadap kelompok ekonomi lemah, dengan harapan bahwa kebijakan ini dapat mengangkat kesejahteraan petani dan menstabilkan harga pangan.

Namun, meskipun kebijakan-kebijakan tersebut berhasil menciptakan kesan pro-rakyat di awal masa pemerintahan, dampaknya belum cukup untuk meredakan kemarahan yang telah lama terpendam di masyarakat. Banyak kalangan menilai bahwa pendekatan populis ini masih bersifat kosmetik dan belum menyentuh akar persoalan struktural yang menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. Demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah, seperti Pati dan Bone, menjadi indikator bahwa kebijakan populis belum mampu menjawab keresahan yang bersumber dari tekanan ekonomi, ketidakpastian hukum, dan ketimpangan distribusi kekuasaan. Bahkan, beberapa pernyataan Prabowo yang meminta buruh untuk tidak menuntut kenaikan upah secara berlebihan justru memicu reaksi keras dari serikat pekerja, yang menilai bahwa pemerintah tidak cukup berpihak pada kepentingan buruh.

Di balik keributan yang terjadi, Rocky Gerung dan sejumlah pengamat lainnya mengangkat dugaan bahwa konflik ini bukan semata-mata spontanitas rakyat, melainkan hasil dari orkestrasi politik yang melibatkan konflik kepentingan antar elite. Banyak isu sensitif yang muncul bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat, seperti pengurangan transfer dana ke daerah, penertiban tambang ilegal, dan wacana nasionalisasi aset. Dalam situasi seperti ini, publik mulai mencurigai bahwa keributan sosial digunakan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu besar yang menyentuh kepentingan oligarki dan elite kekuasaan. Rocky menyebut bahwa ketika kekuasaan tidak mampu mengelola konflik secara transparan dan adil, maka ruang publik akan dipenuhi oleh narasi-narasi yang saling bertabrakan, menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan terhadap institusi negara.

Kebijakan populis yang dijalankan Prabowo, meskipun memiliki niat baik, berada dalam pusaran tarik-menarik antara harapan rakyat dan kepentingan elite. Ketika kebijakan yang seharusnya menjadi solusi justru menimbulkan kontroversi, maka legitimasi kekuasaan akan diuji bukan hanya oleh hasil kebijakan, tetapi oleh cara kekuasaan itu dijalankan. Dalam konteks ini, demonstrasi dan keributan sosial bukan hanya bentuk ekspresi politik, tetapi juga cermin dari kegagalan sistemik dalam membangun kepercayaan antara negara dan rakyatnya.

Dalam lanskap politik dan sosial yang semakin kompleks, peluang reformasi dalam institusi kepolisian dan pemerintahan menjadi sorotan utama bagi banyak kalangan, termasuk pengamat seperti Rocky Gerung. Ia menekankan bahwa kepercayaan publik terhadap negara tidak dapat dibangun melalui retorika semata, melainkan melalui pembenahan struktural yang menyentuh akar persoalan. Reformasi kepolisian, misalnya, bukan hanya soal menaikkan gaji atau memperluas anggaran, tetapi menyangkut transformasi kultural yang mendalam. Data dari KontraS dan YLBHI menunjukkan bahwa praktik kekerasan oleh aparat masih menjadi fenomena yang mengakar, dengan ratusan kasus setiap tahun yang melibatkan penembakan, penganiayaan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks ini, reformasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan moral dan politik untuk menghapus brutalitas dan membangun institusi yang benar-benar melayani rakyat.

Rocky dan sejumlah analis lainnya melihat bahwa pembenahan kepolisian dapat menjadi titik awal untuk meredakan ketegangan sosial yang semakin menguat. Ketika aparat tidak lagi menjadi simbol ketakutan, tetapi hadir sebagai pelindung hak-hak warga, maka ruang publik akan lebih kondusif bagi dialog dan partisipasi. Namun, reformasi ini tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus diiringi oleh perubahan dalam pemerintahan yang menyentuh kebijakan fiskal, distribusi kekuasaan, dan transparansi anggaran. Kenaikan anggaran Polri yang mencapai Rp173,3 triliun untuk tahun 2026, misalnya, menimbulkan pertanyaan besar di tengah kondisi rakyat yang semakin terhimpit oleh biaya hidup dan pajak yang terus meningkat. Ketika anggaran keamanan melonjak, sementara subsidi dan transfer daerah menurun, maka wajar jika publik merasa bahwa prioritas negara tidak berpihak pada kesejahteraan mereka.

Kondisi sosial yang memburuk tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan akumulasi dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang gagal mengatasi ketimpangan dan memperkuat daya tahan ekonomi rakyat. Kenaikan pajak, terutama yang menyasar sektor informal dan konsumsi dasar, telah memperburuk kondisi bagi jutaan warga yang hidup dalam ketidakpastian. Biaya hidup yang terus merangkak naik, dari harga pangan hingga tarif transportasi, membuat banyak keluarga harus mengorbankan kebutuhan dasar demi bertahan. Dalam situasi seperti ini, reformasi bukan hanya soal institusi, tetapi juga soal keberanian politik untuk mengubah arah kebijakan dan mengembalikan negara kepada rakyatnya. Ketika reformasi dijalankan dengan kesungguhan dan keberpihakan, maka harapan akan keadilan sosial bukan lagi utopia, melainkan keniscayaan yang bisa diperjuangkan bersama.

Dalam iklim sosial yang semakin panas, persepsi publik terhadap oligarki dan korupsi mengalami pergeseran yang signifikan. Rakyat tidak lagi melihat praktik korupsi sebagai sesuatu yang jauh dari kehidupan mereka, melainkan sebagai akar dari berbagai kesulitan yang mereka hadapi sehari-hari dari harga pangan yang melonjak, akses pendidikan yang timpang, hingga pelayanan publik yang lamban. Kecurigaan terhadap oligarki pun semakin menguat, terutama ketika kelompok-kelompok elite yang selama ini menikmati keuntungan dari kekuasaan tampak berusaha mempertahankan dominasi mereka di tengah perubahan politik. Dalam konteks ini, harapan masyarakat terhadap pengambilan tindakan tegas terhadap koruptor bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal pemulihan kepercayaan terhadap negara. Ketika koruptor besar ditangkap dan diadili secara transparan, maka rakyat akan merasa bahwa hukum benar-benar berpihak pada keadilan.

Namun, penegakan hukum yang kuat tidak akan cukup tanpa strategi komunikasi yang efektif dari pemerintah. Banyak kebijakan yang sebenarnya bertujuan baik justru menimbulkan resistensi karena disampaikan dengan cara yang tidak tepat atau tidak transparan. Pemerintah perlu membangun saluran komunikasi yang terbuka, jujur, dan partisipatif, agar masyarakat tidak merasa diabaikan atau dimanipulasi. Koordinasi antara pemerintah dan media harus diperkuat, bukan untuk membentuk citra semata, tetapi untuk menyampaikan informasi yang akurat dan membangun dialog yang sehat. Ketika komunikasi publik dijalankan dengan etika dan empati, maka potensi konflik dapat ditekan dan ruang partisipasi rakyat akan semakin luas.

Kerusuhan yang terjadi di Pati dan Bone bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ia mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas terhadap arah kebijakan pemerintah, terutama dalam hal ekonomi, hukum, dan distribusi kekuasaan. Prabowo Subianto, sebagai presiden yang baru memulai masa jabatannya, menghadapi tantangan besar untuk membuktikan bahwa pemerintahannya mampu mendengar dan merespons suara rakyat. Langkah-langkah cepat dan konkret sangat dibutuhkan untuk memperbaiki hubungan antara negara dan warga, serta mengatasi isu-isu struktural yang telah lama menjadi sumber ketegangan. Tanpa itu, ketidakpuasan akan terus mengendap dan berpotensi meledak dalam bentuk konflik yang lebih luas dan sulit dikendalikan.

Situasi saat ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia berada di ambang ketidakpuasan yang lebih besar. Mereka tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga perubahan cara negara memperlakukan warganya. Pemerintah harus menyadari bahwa kepercayaan publik adalah modal utama dalam membangun bangsa yang stabil dan adil. Ketika suara rakyat diabaikan, maka negara kehilangan arah. Namun, ketika suara itu didengar dan dijadikan dasar kebijakan, maka harapan akan Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan bukanlah utopia, melainkan masa depan yang bisa diraih bersama. Dalam momen ini, sejarah memanggil para pemimpin untuk tidak sekadar berkuasa, tetapi untuk benar-benar hadir sebagai pelayan rakyat.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Analisis Situasi Sosial dan Politik di Indonesia Oleh Bung Rocky : Dari Pati dan Bone ke Kebangkitan Rakyat, Prabowo terancam hanya 2 tahun memerintah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel