Diskusi Tentang Kedaulatan Rakyat dan Hukum Tata Negara
45News id - Diskusi tentang kedaulatan rakyat dan hukum tata negara di Indonesia semakin relevan di tengah dinamika politik yang kerap mempertanyakan integritas sistem demokrasi. Dalam sebuah forum terbuka yang melibatkan netizen sebagai peserta aktif, tema ini diangkat untuk mengurai persoalan mendasar: sejauh mana hukum tata negara mampu melindungi hak rakyat dan menjaga kualitas demokrasi dari infiltrasi kepentingan pragmatis. Untuk memperkaya perspektif, diskusi ini menghadirkan pakar hukum tata negara Feri Amsari, sosok yang dikenal kontroversial namun memiliki rekam jejak panjang dalam advokasi konstitusional dan kritik terhadap praktik politik yang menyimpang. Kehadirannya membuka ruang bagi masyarakat untuk bertanya langsung, menyampaikan keresahan, dan menggugat logika hukum yang selama ini dianggap melayani elite lebih dari rakyat.
Salah satu isu yang mencuat dalam diskusi adalah perdebatan mengenai mantan koruptor yang kembali mencalonkan diri dalam pemilu. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas demokrasi dan etika politik di Indonesia. Feri Amsari menyoroti bahwa dalam sistem hukum Indonesia, tidak ada larangan eksplisit bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri, selama mereka telah menjalani hukuman dan memenuhi syarat administratif. Namun, ia menekankan bahwa regulasi yang longgar ini membuka celah bagi normalisasi perilaku koruptif dalam politik elektoral. Di negara-negara lain, meskipun tidak ada larangan formal, mantan pelaku kejahatan jarang terpilih karena masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi dan sistem partai cenderung menolak kandidat dengan rekam jejak buruk. Di Indonesia, sebaliknya, partai politik sering kali justru memfasilitasi pencalonan mantan koruptor karena pertimbangan elektabilitas dan modal politik.
Diskusi ini mengarah pada kesimpulan bahwa perlu ada regulasi yang lebih ketat dan berbasis etika untuk mencegah mantan koruptor terlibat kembali dalam pemilu. Bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi untuk menjaga marwah demokrasi dan mencegah degradasi moral dalam kepemimpinan publik. Feri Amsari bahkan menyebut bahwa dominasi ketua partai dalam menentukan calon legislatif telah mengangkangi kedaulatan rakyat, karena anggota DPR lebih takut pada pimpinan partai daripada pada konstituennya. Dalam konteks ini, pemilu bukan lagi ajang representasi rakyat, tetapi arena transaksi politik yang dikendalikan oleh elite partai. Oleh karena itu, reformasi hukum tata negara harus diarahkan pada penguatan mekanisme kontrol publik, pembatasan hak politik bagi pelaku korupsi berat, dan demokratisasi internal partai politik.
Diskusi berlanjut dengan sorotan tajam terhadap regulasi hukum tata negara yang mengatur pencalonan mantan terpidana dalam pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan bahwa mantan terpidana, termasuk koruptor, hanya dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif setelah melewati masa jeda lima tahun sejak selesai menjalani hukuman penjara. Putusan ini lahir dari gugatan masyarakat sipil yang menuntut pembatasan lebih tegas terhadap partisipasi politik eks pelaku korupsi, sebagai bentuk perlindungan terhadap kualitas demokrasi dan integritas lembaga legislatif.
Dalam forum diskusi yang melibatkan netizen dan pakar hukum seperti Feri Amsari, muncul pertanyaan kritis: mengapa mantan koruptor tidak diwajibkan menyertakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) saat mencalonkan diri, sementara rakyat biasa membutuhkan SKCK untuk melamar pekerjaan bahkan di sektor informal? Ketimpangan ini menyingkap logika hukum yang tampak diskriminatif. Feri menjelaskan bahwa pejabat publik yang dipilih melalui pemilu berada dalam kategori elected officials, sehingga syarat pencalonan diatur oleh undang-undang pemilu dan bukan oleh mekanisme administratif seperti SKCK. Namun, ia juga menekankan bahwa absennya SKCK bukan berarti absennya tanggung jawab etik dan moral.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa hukum tata negara memiliki pertimbangan tersendiri dalam menghitung masa pemidanaan dan kelayakan politik. MK dalam putusannya menyatakan bahwa jeda lima tahun dimaksudkan sebagai masa introspeksi dan pemulihan moral bagi mantan terpidana. Namun, dalam praktiknya, jeda ini sering kali tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik, terutama jika partai politik tetap mengusung figur bermasalah demi kepentingan elektoral.
Diskusi berlanjut ke ranah yang lebih struktural: krisis kepercayaan publik terhadap lembaga demokrasi seperti DPR dan KPU. Dalam berbagai survei, DPR sering menempati posisi rendah dalam indeks kepercayaan publik, bahkan hanya 8% responden yang menilai DPR berperan dalam pemberantasan korupsi. KPU pun tak luput dari sorotan, terutama setelah Mahkamah Agung menganulir beberapa pasal dalam PKPU No. 20 Tahun 2018, yang semula melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri. Putusan ini membuka jalan bagi figur-figur bermasalah untuk kembali masuk dalam kontestasi politik.
Fenomena ini memperkuat persepsi bahwa banyak politisi adalah mantan koruptor yang masih memiliki pengaruh besar, baik secara finansial maupun struktural. Mereka tidak hanya lolos dari jerat hukum, tetapi juga mampu mengendalikan partai dan memengaruhi arah kebijakan. Dalam konteks ini, hubungan antara pemilih dan wakil rakyat di Indonesia bersifat transaksional dan temporer. Setelah pemilu usai, komunikasi antara konstituen dan wakilnya nyaris terputus. Tidak ada mekanisme yang kuat untuk memastikan akuntabilitas atau keterlibatan berkelanjutan.
Kasus Bupati Pati menjadi ilustrasi konkret dari ketegangan antara legitimasi konstitusional dan aspirasi rakyat. Meski menghadapi protes keras dari masyarakat terkait kebijakan dan gaya kepemimpinannya, sang bupati tetap bertahan dengan dalih telah dipilih secara sah melalui mekanisme pemilu. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah legitimasi elektoral cukup untuk membenarkan kepemimpinan yang tidak responsif terhadap suara rakyat?
Secara hukum, prosedur pemberhentian kepala daerah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kepala daerah hanya dapat diberhentikan melalui mekanisme tertentu, seperti pelanggaran hukum berat, tidak menjalankan tugas, atau berdasarkan keputusan politik DPRD yang kemudian disetujui oleh Presiden. Namun, prosedur ini sangat birokratis dan sering kali tidak mencerminkan dinamika sosial yang terjadi di lapangan. Akibatnya, rakyat yang kecewa tidak memiliki saluran yang efektif untuk menuntut perubahan kepemimpinan.
Banyak kasus menunjukkan bahwa pejabat yang telah divonis bersalah dan memiliki putusan hukum tetap justru masih bebas berkeliaran, bahkan tetap tampil di ruang publik seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara itu, rakyat biasa yang terjerat kasus ringan bisa langsung ditahan dan diproses dengan cepat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang integritas sistem peradilan pidana dan kedisiplinan aparat penegak hukum dalam menjalankan eksekusi. Dalam sistem hukum Indonesia, eksekusi pidana merupakan tahap akhir dari proses peradilan, dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum serta aparat kepolisian. Namun, dalam praktiknya, eksekusi terhadap pejabat publik sering kali terhambat oleh kekuatan politik, jaringan kekuasaan, atau bahkan kelambanan administratif yang disengaja.
Kedisiplinan aparat penegak hukum menjadi faktor krusial dalam memastikan bahwa hukum tidak hanya berlaku di atas kertas, tetapi benar-benar dijalankan secara adil dan konsisten. Ketika aparat tidak memiliki keberanian atau independensi untuk mengeksekusi putusan terhadap pejabat yang memiliki pengaruh, maka keadilan menjadi ilusi. Dalam konteks ini, hukum tidak lagi menjadi alat untuk menegakkan keadilan, tetapi menjadi instrumen yang tunduk pada kekuasaan. Hal ini memperkuat persepsi publik bahwa hukum di Indonesia bersifat selektif dan tidak menyentuh mereka yang berada di puncak piramida kekuasaan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan reformasi dalam sistem eksekusi pidana, termasuk penguatan mekanisme pengawasan dan transparansi dalam pelaksanaan putusan pengadilan.
Isu lain yang tak kalah penting adalah kelayakan gaji pejabat publik dan dampaknya terhadap kinerja serta integritas mereka. Dalam banyak kasus, rendahnya gaji pejabat menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya penyimpangan kekuasaan dan korupsi. Ketika pejabat tidak mendapatkan kompensasi yang layak, mereka cenderung mencari sumber pendapatan tambahan melalui cara-cara yang tidak sah. Oleh karena itu, pemberian gaji yang layak bukan hanya soal kesejahteraan, tetapi juga soal pencegahan korupsi dan peningkatan profesionalisme. Gaji yang memadai memungkinkan pejabat untuk fokus pada tugas publik tanpa tergoda oleh godaan finansial yang merusak integritas.
Diskusi mengenai kewajiban masyarakat terhadap berita negatif tentang pemerintah membuka ruang refleksi yang kompleks. Di satu sisi, mempertahankan berita buruk tanpa klarifikasi dapat memperkuat rasa frustrasi dan ketidakpercayaan publik. Namun di sisi lain, menutup-nutupi atau menghapus berita buruk demi menjaga harapan justru berisiko menciptakan ilusi stabilitas yang rapuh. Dalam negara demokratis, transparansi adalah fondasi harapan yang sehat. Masyarakat berhak mengetahui kenyataan, sekalipun pahit, agar dapat membangun harapan yang berbasis pada kesadaran dan partisipasi aktif.
Karena itu, klarifikasi dari pemerintah terhadap berita yang beredar menjadi sangat penting. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan, bukan sekadar membantah. Klarifikasi yang jujur dan terbuka bukan hanya meredam spekulasi, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap akuntabilitas. Ketika pemerintah memilih diam atau menyampaikan informasi yang manipulatif, maka ruang publik akan dipenuhi oleh ketidakpastian dan kecurigaan.
Dalam konteks ini, hak menyampaikan pendapat menjadi krusial. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Hak ini adalah pilar demokrasi yang memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan kritik, harapan, dan gagasan tanpa rasa takut. Namun, kebebasan ini juga membawa tanggung jawab. Menyebarkan informasi harus dilakukan dengan kesadaran etis dan verifikasi yang memadai. Batasan bukan berarti pembungkaman, melainkan pengingat bahwa kebebasan berekspresi harus dijalankan dengan integritas dan kepedulian terhadap dampak sosial.
Partisipasi publik dalam pemerintahan bukanlah hak istimewa, melainkan kewajiban konstitusional dan moral. Masyarakat perlu aktif dalam diskusi kebijakan, menyampaikan aspirasi, dan mengawasi jalannya pemerintahan. Media sosial dan platform digital menjadi alat strategis untuk menyuarakan pendapat, membangun solidaritas, dan mendorong perubahan. Namun, efektivitasnya bergantung pada kualitas dialog yang dibangun dan apakah sekadar viral, atau benar-benar menggugah kesadaran kolektif.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Diskusi Tentang Kedaulatan Rakyat dan Hukum Tata Negara"
Posting Komentar