Parade Pelajar dan PORSENI XIII: Merekahnya Semangat di Solokuro
Di tengah gemuruh musik dan sorakan kontingen, bendera-bendera ranting berkibar dengan bangga. Tiap ranting membawa atribut khas, panji yang dirancang penuh makna, dan ekspresi yang tak dibuat-buat. Ada rasa gugup, ada sorot percaya diri, ada tawa, dan ada langkah yang kadang belum sinkron tetapi semua itu menyatu menjadi perayaan kehidupan yang jujur dan tulus. Anak-anak yang mungkin sehari-harinya hanya dikenal sebagai siswa biasa, hari itu tampil sebagai representasi daerah, kebudayaan, dan masa depan. Tak sedikit yang awalnya enggan tampil di depan umum, kini berjalan tegap memimpin barisan, seolah menandai titik baru dalam cerita tumbuh kembang mereka.
Keunikan parade ini bukan semata pada kostum atau kekompakan formasi, tapi pada muatan budaya yang sengaja dihadirkan sebagai napas utama. Kesenian seperti tongklek membawa suasana tradisional Tuban yang sederhana namun berirama. Drumband memperkuat ritme dan semangat perjuangan pelajar. Dan yang paling sakral, jaran jenggo dengan gerak tubuh dan tarian khasnya menghadirkan aura spiritual yang melampaui hiburan. Ini adalah bentuk pemaknaan bahwa pelajar bukan hanya berkompetisi, tetapi sedang berdialog dengan warisan budaya yang hidup di tengah masyarakat mereka.
Parade pelajar PORSENI XIII juga menjadi ruang di mana hierarki sosial didekonstruksi. Tidak ada yang lebih penting antara ranting besar atau kecil. Semua tampil, semua diberi sorotan yang sama. Bagi banyak pelajar, ini adalah pengalaman pertama tampil di publik, di luar desa asal, bertemu teman baru dari ranting lain, dan merasakan bahwa mereka adalah bagian dari komunitas yang lebih besar dari sekadar sekolah atau lingkungan rumah mereka. Ini bukan hanya tentang kepemilikan simbolik terhadap bendera, tetapi tentang kepemilikan emosional terhadap identitas dan rasa bangga sebagai kader NU.
Momen parade tersebut meretas batas-batas formal, menyentuh hal-hal personal. Ada seorang anak yang hari itu mengenakan jas IPNU warisan kakaknya, berharap bisa tampil sebaik seniornya. Ada kontingen ranting yang malam sebelumnya berlatih formasi di bawah lampu jalan, dengan semangat yang tak pernah pudar. Dan ada seorang guru ngaji yang duduk di tribun, meneteskan air mata saat muridnya tampil di barisan depan bukan karena kemenangan, tetapi karena murid itu akhirnya berani.
Dalam gelombang semangat dan budaya yang mengalir di lapangan Tenggulun, Solokuro mengukir peristiwa yang tak tertulis di media arus utama, tetapi akan selalu menjadi catatan penting dalam hidup para pelajar yang hadir. Mereka tak hanya hadir di parade, mereka mengambil peran dalam panggung sejarah kecil yang akan membentuk karakter, keberanian, dan keyakinan mereka sebagai pelajar NU. Dan dalam langkah-langkah sederhana itu, Solokuro membuktikan bahwa harapan bukan dimulai dari panggung besar, tetapi dari suara-suara kecil yang diberi ruang untuk tumbuh.
Setelah dentuman tongklek dan derap langkah parade mereda, PORSENI XIII IPNU IPPNU Solokuro melangkah ke inti dari rangkaian agendanya: kompetisi antar-ranting yang menyatukan pelajar dari seluruh penjuru kecamatan dalam semangat berprestasi dan silaturahmi. Di tengah suasana lapangan yang sederhana namun penuh makna, anak-anak dari 16 ranting mulai beradu bakat di berbagai cabang lomba yang dirancang bukan hanya untuk unjuk kemampuan, tapi juga untuk menyalakan rasa percaya diri mereka yang mungkin belum pernah mendapat ruang tampil sebelumnya.
Cabang-cabang lomba yang dipertandingkan begitu beragam mulai dari olahraga seperti voli, tenis meja, dan bulu tangkis, hingga seni dan keagamaan seperti qiraah, MTQ, baca kitab, dan hadrah. Sebagian kategori dibuka khusus untuk pelajar SMP dan SMA, sebagai bentuk inklusi dan apresiasi terhadap jenjang pendidikan yang berbeda. Tapi nilai sejati dari perlombaan ini tidak hanya terletak pada medali atau piala. Ia tersembunyi dalam cerita-cerita kecil yang tak tertulis di papan skor.
Ada anak dari ranting paling pelosok yang berlatih membaca Al-Qur’an di teras mushola dengan kitab usang, ditemani cahaya redup lampu minyak karena listrik belum masuk sepenuhnya ke daerahnya. Ada tim voli yang hanya bisa berlatih di tanah lapang berdebu, meminjam net dari masjid, dan memakai bola bekas dari lomba tahun sebelumnya. Dan ada pelajar SMP yang berdiri gemetar di depan juri lomba qiraah, membawa suara yang belum pernah terdengar di panggung manapun, namun hari itu berhasil memukau semua yang hadir. Momen-momen inilah yang membuat PORSENI bukan hanya kompetisi, melainkan wujud nyata dari pendidikan kehidupan.
Dalam atmosfer lomba yang riuh namun hangat, anak-anak desa belajar hal-hal yang tak tertulis di modul pelajaran. Mereka belajar bahwa keberanian itu muncul dari usaha, bahwa kerja sama itu lebih penting dari kemenangan, dan bahwa kehadiran mereka di lapangan adalah bentuk pengakuan bahwa mereka layak dihormati. Tak sedikit dari mereka yang datang dengan rasa rendah diri, tapi pulang dengan dada tegak dan senyuman bangga karena telah memberi versi terbaik dari dirinya kepada dunia luar.
PORSENI XIII menjadi ekosistem sosial yang merawat rasa percaya diri dan kemandirian pelajar NU Solokuro. Di tengah keterbatasan fasilitas dan akses, mereka tetap menemukan jalan untuk tampil. Mereka tak hanya bertanding sebagai wakil ranting, tetapi sebagai pelajar yang membawa mimpi-mimpi kecil dari ruang belajar mereka yang sederhana—mimpi untuk dikenal, untuk dihargai, dan untuk memiliki tempat di dunia yang kadang lupa bahwa anak-anak desa pun punya cahaya.
Nilai-nilai spiritual dan budaya yang diusung dalam lomba seperti hadrah dan baca kitab bukan hanya tradisi yang diwariskan, tetapi juga alat pembentuk karakter. Di sinilah pelajar belajar meresapi makna tauhid, kesabaran, dan kebersamaan yang menjadi fondasi kepribadian mereka. Dalam setiap lantunan sholawat, mereka bukan hanya bermusik. mereka sedang membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara identitas lokal dan aspirasi yang mereka semai.
Dan dalam setiap tepuk tangan yang bergema, dalam senyum guru ngaji yang melihat muridnya tampil di atas panggung, dalam peluh yang jatuh di sore hari setelah pertandingan voli yang melelahkan, kita menyaksikan bahwa anak-anak ini sedang menulis narasi hidup mereka sendiri. Mereka sedang membuktikan bahwa semangat tidak ditentukan oleh fasilitas, tetapi oleh niat dan dukungan yang tulus. PORSENI XIII adalah milik mereka dan bukan milik panitia, bukan milik organisasi sematatetapi milik setiap pelajar yang ingin merasa berguna, ingin punya arti.
Melalui kegiatan ini, Solokuro mengirimkan pesan kepada dunia: bahwa anak-anak desa tidak kekurangan bakat, hanya sering kekurangan panggung yang adil. Bahwa mereka mampu tumbuh jika diberi ruang, dan bahwa pendidikan bukan hanya soal kelas dan kurikulum, tapi tentang keberanian untuk melihat potensi anak di balik debu lapangan dan kitab usang. Dan itulah yang sedang dirayakan di sini. Bukan kemenangan, tapi kebermaknaan. (js)
Belum ada Komentar untuk "Parade Pelajar dan PORSENI XIII: Merekahnya Semangat di Solokuro"
Posting Komentar