-->
Loading...

Podcast Bawaslu Surabaya: Pemilu Tanpa Bawaslu, Mungkinkah ?

Novli B. Thyssen (Ketua Bawaslu Kota Surabaya/Host) dan
Airlangga Pribadi Ph.D (Dosen Fisip Universitas Airlangga) 

45news.id - Dalam sebuah diskusi hangat pada Kamis (20/07/2025) melalui podcast Bawaslu Kota Surabaya, sosok akademisi muda,Bapak Airlangga Pribadi Ph.D atau lebih akrab dipanggil Angga. Beliau adalah dosen ilmu politik Universitas Airlangga dan anggota tim seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu RI periode 2022–2027 yang menghadirkan perspektif kritis mengenai eksistensi Bawaslu daerah di tengah wacana pembubarannya. Ia, putra daerah asal Jombang yang menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Indonesia dan Australia, mengupas dengan jernih urgensi pengawasan elektoral dan tantangan sistemik demokrasi lokal.

Angga membuka pandangannya dengan menyatakan bahwa alasan efisiensi sebagai dasar pembubaran Bawaslu sangatlah problematik. Menurutnya, pengawasan dalam pemilu bukan sekadar soal administrasi, tetapi fondasi dalam memperkuat kualitas demokrasi. Tanpa pengawasan, negara dapat mengalami "state capture", di mana kekuasaan jatuh ke tangan para pemimpin yang tidak amanah karena minimnya kontrol publik. Ironisnya, penghapusan Bawaslu demi efisiensi justru berpotensi menciptakan kerugian yang jauh lebih besar, bukan hanya finansial, tetapi dalam bentuk degradasi nilai demokrasi itu sendiri.

Lebih jauh, Angga mengungkap bahwa meskipun Bawaslu memiliki catatan kasus yang menimbulkan sorotan, bukan pembubaran yang semestinya menjadi solusi, melainkan evaluasi kelembagaan yang disertai dengan penguatan kapasitas sumber daya. Terutama dalam menghadapi pemilu serentak nasional dan lokal, Bawaslu tidak cukup hanya hadir sebagai pengawas teknis, tetapi perlu menjelma sebagai agen pemberdayaan publik. Ia menekankan bahwa di masa jeda pemilu pun, peran Bawaslu harus tetap aktif, menginisiasi literasi politik, dan menyediakan perangkat kritis agar warga mampu memahami praktik politik yang melemahkan demokrasi.

Angga turut menyoroti gap literasi politik masyarakat yang sering kali terjebak dalam wacana sempit: siapa mencalonkan diri dan bagaimana cara memilih. "Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan proses panjang dan warga harus diberi ruang untuk memahami rekam jejak kandidat, menyimak realisasi program pemerintah selama lima tahun terakhir, dan membandingkannya dengan janji kampanye yang tercantum dalam RPJMD. Jika warga dibekali dengan "sangu politik" yang memadai, mereka akan memiliki kapasitas untuk memberi punishment atau reward secara rasional kepada calon pemimpin," ungkap Angga.

Bawaslu Kota Surabaya memegang posisi sentral sebagai institusi pengawas pemilu yang berdiri kokoh di tengah tantangan demokrasi lokal. Berada di wilayah yang dikenal sebagai Kota Pahlawan, lembaga ini tidak hanya hadir sebagai regulator, tetapi juga sebagai simbol komitmen terhadap proses demokratis yang bermartabat. Peranannya sebagai pengawal pemilu tampak jelas dari keseriusan mereka dalam memastikan tahapan-tahapan krusial yang dimulai dari pendaftaran pemilih hingga rekapitulasi suara berjalan sesuai asas jujur dan adil, tanpa intervensi yang mengarah pada manipulasi atau penyimpangan.

Di balik wajah institusional Bawaslu, terdapat sinergi internal yang patut diapresiasi. Para pimpinan dan staf bekerja dalam satu irama koordinasi yang terstruktur dan responsif. Mereka menjalankan tugas dengan kesadaran penuh bahwa pengawasan bukan sekadar formalitas, melainkan tanggung jawab kolektif terhadap nasib demokrasi. Sikap proaktif mereka tampak dari kesigapan dalam mengidentifikasi potensi pelanggaran serta merespons laporan masyarakat secara cepat dan tepat sasaran.

Lebih dari sekadar pengawasan administratif, Bawaslu Kota Surabaya telah membuka ruang partisipatif yang menjangkau lapisan masyarakat. Mereka menyadari bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan keterlibatan publik yang aktif. Oleh karena itu, strategi sinergi lintas sektor dijalankan dengan pendekatan kolaboratif yang menggandeng akademisi untuk analisis mendalam, media untuk penyebaran informasi, dan komunitas lokal sebagai simpul pemantauan grassroots. Hal ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi pengawasan sekaligus meningkatkan efektivitas deteksi dini terhadap potensi pelanggaran pemilu.

Dalam praktiknya, transparansi menjadi nilai utama yang ditonjolkan. Bawaslu tidak sekadar menyuarakan keterbukaan, melainkan mewujudkannya melalui berbagai kanal digital yang interaktif dan ramah pengguna. Masyarakat dapat melaporkan dugaan pelanggaran melalui platform daring yang dijamin keamanannya, menciptakan suasana yang mendorong keberanian warga untuk bersuara. Langkah ini sangat relevan di era digital, di mana kecepatan dan aksesibilitas informasi menjadi kunci keberhasilan pengawasan partisipatif.

Namun perjuangan itu tidak tanpa rintangan. Banyak warga masih diliputi kebingungan saat ingin melaporkan pelanggaran, atau bahkan takut akan intimidasi jika bersuara. Di titik inilah Bawaslu melangkah lebih jauh dari sekadar pengawasan struktural. Mereka membuka ruang edukasi publik, memanfaatkan media seperti podcast untuk menyuarakan isu-isu kepemiluan secara terbuka dan reflektif. Diskusi bukan hanya dilakukan oleh ahli, tetapi juga melibatkan warga sebagai mitra kritis, menciptakan kesadaran bahwa demokrasi bukan hanya milik elit politik, tetapi milik kita bersama.

Ketika wacana pembubaran Bawaslu muncul dengan alasan efisiensi, kritik keras pun bermunculan. Demokrasi tanpa pengawasan bagaikan kapal tanpa kompasyang terombang-ambing dan mudah dikendalikan oleh arus kepentingan. Evaluasi terhadap Bawaslu memang penting, namun bukan untuk menghapusnya, melainkan untuk memperkuat fondasi dan mengembangkan kapasitasnya agar tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.

Bawaslu Kota Surabaya terus mengupayakan pelibatan aktif masyarakat melalui literasi kepemiluan dan sistem apresiasi. Dari pelatihan komunitas hingga penghargaan bagi pelapor pelanggaran, semangat yang dibangun adalah bahwa keberanian sipil layak dihargai dan diberdayakan. Lewat pendekatan ini, pengawasan bukan hanya menjadi tugas lembaga, tetapi menjadi budaya warga.

Di tengah hiruk-pikuk demokrasi yang kerap dipenuhi kepentingan dan retorika, eksistensi Bawaslu Kota Surabaya adalah pengingat bahwa suara rakyat tak boleh dikebiri. Mereka bukan hanya menjaga proses, tetapi membangun ekosistem demokrasi yang tangguh, inklusif, dan berbasis nilai. Sebab pada akhirnya, kekuatan demokrasi terletak bukan hanya pada sistemnya, tetapi pada kesadaran kolektif warganya bahwa menjaga demokrasi adalah tanggung jawab bersama.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Podcast Bawaslu Surabaya: Pemilu Tanpa Bawaslu, Mungkinkah ?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel