-->
Loading...

Ferry irwandi dituding melakukan pidana cyber

Satuan Siber TNI mendatangi Polda Metro Jaya

45News id - Ferry Irwandi, seorang konten kreator dan CEO Malaka Project, tengah menjadi sorotan publik setelah Satuan Siber TNI mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi mengenai dugaan tindak pidana siber yang disebut melibatkan dirinya. Pertemuan tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi militer, termasuk Brigjen TNI Juinta Omboh Sembiring selaku Komandan Satuan Siber, yang menyatakan bahwa hasil patroli siber mereka menemukan beberapa fakta yang diduga mengarah pada pelanggaran hukum oleh Ferry Irwandi. Langkah ini memicu perdebatan luas, terutama karena TNI bukanlah institusi penegak hukum sipil, dan banyak pihak menilai bahwa tindakan tersebut telah melampaui batas kewenangan institusi militer dalam sistem hukum Indonesia.

Dalam proses investigasi yang dilakukan oleh Satuan Siber TNI, disebutkan bahwa mereka menggunakan metode pemantauan digital dan analisis algoritma untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran. Namun, hingga kini belum ada rincian konkret mengenai bentuk pelanggaran yang dimaksud. Bahkan, Ferry Irwandi sendiri mengaku belum mengetahui secara pasti tuduhan yang diarahkan kepadanya dan menyatakan bahwa ia tidak pernah dihubungi secara langsung oleh pihak TNI. Ia menegaskan bahwa aktivitasnya di media sosial bertujuan mendorong masyarakat untuk berpikir kritis dan melakukan pencarian informasi secara mandiri, bukan menyebarkan disinformasi atau melakukan tindakan ilegal.

Penggunaan teknologi dalam investigasi ini menjadi sorotan tersendiri. TNI mengklaim telah memanfaatkan algoritma dan teknik open source intelligence (OSINT) untuk menelusuri jejak digital Ferry Irwandi. Namun, kritik tajam datang dari berbagai lembaga, termasuk Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Amnesty International Indonesia, yang menilai bahwa pendekatan tersebut tidak disertai dengan transparansi data dan bukti yang jelas. Mereka menekankan bahwa penyidikan tindak pidana adalah ranah Polri, bukan TNI, dan bahwa tindakan militer dalam kasus ini berpotensi mengancam kebebasan sipil serta hak berekspresi di ruang digital.

Dalam berbagai diskusi publik, termasuk forum “Suara Rakyat” yang kerap diikuti Ferry Irwandi, isu media sosial dan perilaku digital masyarakat menjadi topik utama. Ferry dikenal sebagai sosok yang aktif membahas tren algoritma, pengaruh platform digital terhadap opini publik, serta pentingnya literasi informasi. Ia sering mengajak masyarakat untuk menggunakan tagar-tagar seperti #CariSendiri, #BukaData, dan #AlgoritmaItuNetral sebagai bentuk kampanye untuk mendorong pencarian informasi secara independen. Menurutnya, media sosial adalah ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan untuk memperluas wawasan, bukan sekadar tempat menyebar opini tanpa dasar.

Ferry Irwandi dan Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto

Dalam sebuah talkshow yang disiarkan secara nasional, perdebatan sengit antara Ferry Irwandi dan Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto menjadi sorotan publik. Keduanya membahas isu krusial seputar kerusuhan yang terjadi dalam demonstrasi besar-besaran di beberapa kota, termasuk dugaan keterlibatan oknum TNI. Ferry Irwandi, yang dikenal sebagai aktivis digital dan CEO Malaka Project, menyoroti kesaksian lapangan dan rekaman video yang menunjukkan adanya individu berseragam militer yang diduga ikut memprovokasi massa. Ia menekankan bahwa kehadiran aparat di tengah kerusuhan harus ditelusuri secara objektif, bukan ditutup-tutupi dengan dalih “ikut rusuh bukan perusuh.”

Pernyataan tersebut langsung ditanggapi oleh Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis, yang menyatakan bahwa “ikut rusuh” tidak serta-merta menjadikan seseorang sebagai “perusuh.” Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara orang yang berada di lokasi kerusuhan dan mereka yang aktif memicu kekacauan. Namun argumen ini justru memantik gelombang kritik dari publik, termasuk dari Ferry sendiri, yang hanya menahan diri karena ketidakjelasan dan Plin plannya statmen dari Soleman B. Ponto. Ferry dengan tajam membalikkan argumen Soleman, mengatakan bahwa jika aparat bisa lolos dari hukum karena hanya “ikut rusuh,” maka rakyat pun seharusnya mendapat perlakuan serupa. “Berarti kalau rakyat yang ikut rusuh gak bisa dihukum dong, karena bukan perusuh,” ujarnya dengan nada sinis, sebelum meletakkan mikrofon sebagai bentuk protes.

Debat itu menjadi titik balik dalam diskusi publik mengenai validitas penegakan hukum. Ferry menekankan bahwa penangkapan harus berdasarkan data yang akurat dan investigasi yang mendalam. Ia mengkritik tindakan aparat yang cenderung represif dan menyasar individu secara acak hanya karena berada di lokasi kejadian. Menurutnya, tidak semua yang hadir dalam demonstrasi dapat diproses hukum, dan hanya mereka yang terbukti melakukan tindakan anarkis yang layak diperiksa. Ia juga mempertanyakan sumber informasi yang digunakan aparat dalam melakukan penangkapan, menyebutnya sebagai “data bias yang diproduksi oleh algoritma tanpa verifikasi lapangan.”

Sementara itu, pihak TNI mengeluarkan klarifikasi resmi bahwa tidak ada indikasi keterlibatan institusional dalam kerusuhan. Mereka menyampaikan permohonan maaf atas kesalahpahaman yang terjadi dan menegaskan bahwa jika ada oknum yang terbukti bersalah, maka akan diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun, Ferry tetap menuntut adanya dialog terbuka antara TNI dan Polri untuk mengklarifikasi situasi dan menghindari konflik antar institusi. Ia menyatakan bahwa resolusi kesalahpahaman harus dilakukan secara transparan, bukan dengan saling lempar tanggung jawab.

Perdebatan antara Ferry Irwandi dan Soleman B. Ponto bukan sekadar adu argumen, melainkan refleksi dari benturan generasi dan cara berpikir. Di satu sisi, Soleman mewakili pendekatan lama yang cenderung defensif terhadap institusi negara, sementara Ferry tampil sebagai representasi generasi digital yang menuntut akuntabilitas dan transparansi. Dalam konteks ini, publik tampaknya lebih berpihak pada logika tajam Ferry, yang tidak hanya membongkar absurditas narasi “ikut rusuh bukan perusuh,” tetapi juga mengajak masyarakat untuk berpikir kritis dan menolak manipulasi informasi. Sebuah pelajaran penting bahwa dalam era algoritma dan opini publik yang cair, kedunguan struktural tak lagi bisa berlindung di balik seragam dan jabatan.

Di tengah sorotan publik dan tekanan dari institusi militer, Ferry Irwandi menunjukkan sikap yang tegas dan tidak gentar. Melalui berbagai unggahan di kanal YouTube-nya, ia menyampaikan dengan lugas bahwa dirinya tidak akan bersembunyi atau melarikan diri dari proses hukum yang mungkin akan dihadapinya. Dalam video Saya Tidak Akan Bersembunyi dan Lari, Jendral!, Ferry menyampaikan bahwa ia masih berada di Jakarta dan tidak akan pergi ke luar negeri seperti ke Singapura atau China, sebagaimana yang sempat dispekulasikan oleh beberapa pihak. Ia bahkan menyatakan bahwa dirinya sedang bermain FIFA ketika para wartawan mulai menghubunginya untuk meminta tanggapan atas tuduhan dari Satuan Siber TNI.

Pernyataan ini diperkuat dalam video Ferry Irwandi Siap Hadapi Laporan TNI: Saya Tidak Akan Lari, di mana Ferry menegaskan bahwa ia tidak pernah dihubungi langsung oleh TNI, meskipun nomor teleponnya telah tersebar luas akibat doxing. Ia menyatakan siap menghadapi proses hukum dan tidak akan berperan sebagai korban atau menunjukkan rasa takut. Sikap ini menunjukkan keberanian dan komitmen Ferry terhadap prinsip negara hukum, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan proses yang adil dan transparan.

Ferry kembali menegaskan bahwa ia tidak akan lari dan tetap berada di Jakarta. Ia menyampaikan bahwa jika memang ada proses hukum yang harus dijalani, maka ia akan menghadapinya dengan kepala tegak. Video itu juga memperlihatkan sikap konsisten Ferry yang tidak menunjukkan rasa gentar, melainkan justru mengajak publik untuk berpikir kritis terhadap tuduhan yang belum jelas bentuknya.

Beliau menyampaikan bahwa dirinya tidak akan lari ke mana pun dan tetap berada di Jakarta. Ia bahkan menyebut bahwa ide tidak bisa dipenjara, sebuah pernyataan yang menggambarkan keyakinannya bahwa gagasan dan pemikiran kritis tidak bisa dibungkam oleh tekanan institusional. Video nya menampilkan Ferry dengan nada tegas, menyatakan bahwa ia bukan pengecut dan siap menghadapi segala konsekuensi hukum. Karena Ferry yakin rakyat sudah kritis dan bisa memilah sendiri melalui media sosial yang semakin terbuka dan bebas.

Maka dalam era digital yang semakin transparan, media sosial telah menjelma menjadi alat investigasi yang tak bisa diabaikan. Platform-platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok bukan lagi sekadar ruang hiburan, melainkan medan informasi yang dinamis dan penuh data mentah. Dalam kasus Ferry Irwandi, media sosial memainkan peran sentral dalam mengungkap fakta-fakta yang sebelumnya tersembunyi. Rekaman video, tangkapan layar, dan testimoni warga menjadi bukti-bukti yang tak bisa dibantah begitu saja. Ketika institusi formal lambat bergerak, netizen justru bergerak cepat, mengumpulkan, menyebarkan, dan menganalisis informasi dengan presisi yang mengejutkan.

Ferry Irwandi sendiri adalah contoh nyata bagaimana generasi baru memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk berekspresi, tetapi juga untuk membongkar ketidakadilan. Ia mendorong masyarakat untuk melakukan pencarian informasi secara mandiri, memanfaatkan algoritma dan teknik open source intelligence yang sebelumnya hanya digunakan oleh lembaga intelijen. Dalam diskusi publik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk TNI dan Polri, Ferry menegaskan bahwa investigasi harus dilakukan secara objektif dan transparan. Tidak boleh ada penangkapan yang didasarkan pada asumsi atau data yang bias. Hanya mereka yang benar-benar terbukti terlibat yang layak diproses hukum.

Kesimpulan dari seluruh rangkaian diskusi ini menunjukkan bahwa kesalahpahaman di lapangan bisa terjadi kapan saja, terutama ketika komunikasi antar institusi tidak berjalan dengan baik. Namun yang lebih penting adalah bagaimana publik merespons. Generasi milenial dan Gen Z, yang tumbuh bersama teknologi dan informasi, tidak lagi bisa dibungkam dengan narasi usang. Mereka kritis, cerdas, dan berani mempertanyakan otoritas. Ketika elite politik dan militer mencoba bertahan dengan logika lama, mereka justru terlihat defensif dan gagap menghadapi gelombang kebenaran yang mulai muncul dari bawah.

TNI, dalam konteks ini, tampak merasa terancam oleh transparansi yang ditawarkan oleh media sosial. Ketika data dan fakta bisa diakses oleh siapa saja, monopoli atas informasi tak lagi relevan. Kebenaran tak bisa lagi dikendalikan oleh segelintir orang di ruang tertutup. Ia akan selalu menemukan jalannya melalui unggahan, komentar, atau bahkan meme yang viral. Dan ketika publik mulai sadar bahwa mereka punya kekuatan untuk mengungkap kebenaran, maka tak ada institusi yang bisa berlindung di balik seragam atau jabatan.

Inilah era baru: era di mana kecerdasan kolektif generasi muda menjadi kekuatan utama dalam menjaga demokrasi dan keadilan. Para elite yang tak mampu beradaptasi akan tertinggal, terjebak dalam retorika yang tak lagi relevan. Sementara itu, kebenaran akan terus bergerak, menembus batas-batas kekuasaan, dan menyinari ruang-ruang yang selama ini gelap. Karena pada akhirnya, kebenaran tidak bisa dibungkam. Ia hanya menunggu waktu untuk muncul ke permukaan.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Ferry irwandi dituding melakukan pidana cyber"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel