Di Bawah Payung Poleng: Kirab Budaya sebagai Permohonan Keselamatan
45News id - Pada tanggal 13 September 2025, Pura Kerta Bumi di Bongso Wetan, Gresik menjadi pusat spiritual dan budaya yang menyatukan berbagai elemen Nusantara dalam satu prosesi sakral: Kirab Budaya Murwokolo. Upacara ini bukan sekadar perayaan adat, melainkan sebuah bentuk ruwatan kolektif yang bertujuan menyucikan diri, lingkungan, dan bangsa dari energi negatif, malapetaka, serta nasib buruk. Murwokolo, dalam tradisi Hindu-Jawa, adalah ritual pemurnian yang mengandung harapan akan harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan gaib. Di tengah tantangan zaman, kirab ini menjadi ruang kontemplatif dan afirmatif bagi umat untuk menyambung kembali tali spiritual dengan leluhur dan semesta.
Prosesi kirab dimulai dari halaman Pura Kerta Bumi dan bergerak menuju Punden “Mbah Buyut Marning”, sebuah situs keramat yang dihormati oleh warga setempat. Jarak kirab yang hanya sekitar 350 meter tidak mengurangi bobot spiritualnya. Setiap langkah peserta mengandung doa dan penghormatan, diiringi oleh sesaji, gunungan hasil bumi, tumpeng, bunga tujuh rupa, dan simbol-simbol sakral lainnya. Rute pendek ini justru mempertegas kedekatan antara ruang ibadah formal dan situs lokal yang menyimpan memori kolektif masyarakat. Dalam narasi visual, kirab ini menyerupai peralihan dari ruang suci ke ruang sejarah, dari teks ke konteks, dari ritus ke akar.
Peserta kirab berasal dari tujuh daerah berbeda, termasuk Kediri, Nganjuk, dan Gresik sendiri. Mereka mengenakan busana adat yang mencerminkan identitas masing-masing, mulai dari blangkon dan beskap Jawa hingga kain poleng Bali. Kehadiran mereka bukan sekadar representasi geografis, melainkan manifestasi keragaman spiritual dan budaya yang saling bersinergi. Dalam satu barisan kirab, tampak bagaimana perbedaan menjadi kekuatan, dan bagaimana warisan lokal bisa dirayakan dalam bingkai nasionalisme spiritual. Kirab ini menjadi panggung bagi solidaritas antarumat, bukan dalam bentuk slogan, melainkan dalam gerak tubuh, warna kain, dan irama langkah.
Dalam wawancara mendalam dengan Mangku Damri, pemangku spiritual asal Nganjuk, terungkap bahwa kirab Murwokolo di Pura Kerta Bumi bukan sekadar agenda tahunan, melainkan sebuah panggilan darurat spiritual yang lahir dari kegelisahan kolektif akan kondisi Nusantara. Menurut beliau, kirab ini dilaksanakan sebagai bentuk permohonan yang mendesak kepada para Dewa agar keselamatan bangsa segera dipulihkan, baik dari bencana alam, konflik sosial, maupun krisis moral yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan. “Kami tidak hanya membawa sesaji, tapi juga membawa harapan dan ketakutan umat,” ujar Mangku Damri, dengan mata yang memancarkan kesungguhan. Dalam narasi ini, kirab menjadi medium komunikasi spiritual yang melampaui ritual, menjelma menjadi seruan batin rakyat kepada kekuatan ilahi untuk menjaga Nusantara tetap utuh, damai, dan bermartabat.
Salah satu momen paling menggetarkan adalah penampilan Tari Durga dari Banyuwangi. Sosok Dewi Durga ditampilkan sebagai figur murka yang melawan pelecehan terhadap perempuan. Tarian ini bukan sekadar hiburan, melainkan narasi perlawanan yang dibungkus dalam simbolisme spiritual. Di tengah kirab yang penuh doa dan sesaji, Tari Durga menjadi pengingat bahwa kekuatan ilahi juga hadir dalam bentuk perlindungan dan keberanian. Ia menjadi suara bagi yang terpinggirkan, sekaligus cermin bagi masyarakat untuk merefleksikan nilai-nilai keadilan dan martabat perempuan dalam konteks budaya.
Di titik akhir kirab, sesaji diletakkan oleh sosok Putri Mojopahit di Punden Mbah Buyut Marning. Aksi ini mengandung makna penyatuan antara kekuatan leluhur dan harapan masa kini. Putri Mojopahit, sebagai simbol kejayaan masa lalu, hadir bukan untuk nostalgia, melainkan untuk menghidupkan kembali semangat kebangsaan yang berakar pada nilai-nilai spiritual dan etika lokal. Doa bersama yang dipanjatkan di punden menjadi puncak dari prosesi ini adalah sebuah afirmasi bahwa kekuatan kolektif umat Hindu Nusantara bisa menjadi penawar luka sosial dan spiritual yang dialami bangsa.
Secara visual, kirab ini menghadirkan lanskap budaya yang kaya dan penuh taksu. Arca-arca seperti Gajah Mada, Kebo Iwa, dan Dewi Andongsari turut dihadirkan sebagai manifestasi energi leluhur Nusantara. Mereka tidak hanya menjadi ornamen, tetapi juga pengingat akan nilai-nilai kepemimpinan, keberanian, dan kebijaksanaan yang pernah menjadi fondasi peradaban. Dalam bingkai dokumentasi, kirab ini tampak seperti dialog antara masa lalu dan masa kini, antara mitos dan realitas, antara spiritualitas dan advokasi. Ia menjadi narasi visual yang mengajak penonton untuk tidak hanya melihat, tetapi juga merasakan dan merenungkan.
Kirab Budaya Murwokolo di Pura Kerta Bumi bukanlah peristiwa yang selesai dalam satu hari. Ia adalah proses panjang yang menghidupkan kembali ingatan kolektif, menyatukan komunitas lintas daerah, dan membuka ruang bagi spiritualitas yang inklusif. Dalam konteks advokasi dan pendidikan budaya, kirab ini bisa menjadi bahan refleksi dan dokumentasi yang kaya. Ia mengajarkan bahwa pemurnian bukan hanya soal ritual, tetapi juga soal keberanian untuk menyembuhkan luka sejarah, merawat keberagaman, dan membangun masa depan yang lebih adil dan bermakna. Jika kamu tertarik, kita bisa mengembangkan narasi ini menjadi storyboard atau kampanye visual yang menekankan etika, empati, dan kekuatan budaya sebagai alat transformasi sosial.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Di Bawah Payung Poleng: Kirab Budaya sebagai Permohonan Keselamatan"
Posting Komentar