-->
Loading...

Pengunduran diri dirut Agrinas menuai Banyak respect dari Netizen

Joao Angelo De Sousa Mota sebagai Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara

45news.id Pernyataan pengunduran diri Joao Angelo De Sousa Mota sebagai Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara bukan sekadar pengumuman administratif, melainkan sebuah peristiwa yang membuka tabir kompleksitas birokrasi dan tantangan struktural dalam pembangunan sektor pangan nasional. Dalam konferensi pers yang berlangsung tenang namun sarat makna, Joao tidak hanya menyampaikan pengunduran dirinya, tetapi juga menyampaikan permintaan maaf yang tulus kepada publik, khususnya kepada petani dan Presiden yang telah mempercayakan jabatan tersebut kepadanya. Nada lirih dan ekspresi menunduk yang ia tampilkan bukanlah gestur teatrikal, melainkan simbol dari beban moral yang ia rasakan sebagai pemimpin yang gagal memenuhi amanah. Dalam konteks budaya birokrasi Indonesia yang cenderung menutupi kegagalan dan menghindari tanggung jawab personal, sikap Joao menjadi sesuatu yang langka dan menggugah. Ia tidak menyalahkan individu atau institusi secara langsung, namun secara implisit mengungkapkan bahwa sistem yang menaungi Agrinas belum siap untuk mendukung visi besar yang telah dirancang.

Agrinas sendiri didirikan sebagai bagian dari strategi besar pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Dalam enam bulan masa jabatannya, Joao telah menyusun berbagai program strategis yang bertujuan untuk memperbaiki rantai pasok, meningkatkan produktivitas petani, dan menciptakan ekosistem pangan yang berkelanjutan. Namun, menurut pengakuannya, semua rencana tersebut terhambat oleh keterbatasan struktural yang serius, terutama terkait dengan minimnya dukungan anggaran dari Danantara Indonesia, badan pengelola investasi yang menaungi Agrinas. Ia menyebut bahwa Agrinas tidak menerima anggaran operasional sama sekali, sebuah kondisi yang membuatnya tidak bisa menjalankan program-program yang telah dirancang. Dalam dunia korporasi maupun pemerintahan, nihilnya anggaran untuk lembaga strategis seperti Agrinas bukan hanya masalah teknis, tetapi juga mencerminkan ketidaksiapan sistemik dalam mengelola transformasi sektor pangan secara serius.

Pernyataan Joao tentang nihilnya anggaran segera dibantah oleh pihak Danantara. CEO Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa proses penganggaran masih dalam tahap administrasi dan bahwa operasional Agrinas tetap berjalan normal. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut: jika proses administrasi belum selesai, mengapa Agrinas sudah diminta untuk menjalankan program strategis? Apakah ada miskomunikasi antara lembaga pengelola dan eksekutor kebijakan? Ataukah ini mencerminkan pola lama dalam birokrasi Indonesia, di mana lembaga-lembaga baru dibentuk dengan visi besar namun tanpa fondasi yang kokoh? Dalam konteks ini, pengunduran diri Joao bukan hanya tindakan personal, tetapi juga bentuk kritik terhadap sistem yang belum mampu mengakomodasi perubahan secara substansial. Ia memilih untuk mundur daripada menjadi simbol kegagalan yang terus berlanjut, dan dalam proses itu, ia menunjukkan bahwa tanggung jawab publik bukan hanya soal jabatan, tetapi juga soal integritas dan keberanian untuk mengakui keterbatasan.

Keberanian Joao untuk menunduk dan meminta maaf secara terbuka bukan hanya gestur personal, melainkan sebuah tindakan simbolik yang menyentuh akar persoalan kepemimpinan publik di Indonesia. Dalam lanskap birokrasi yang sering kali menempatkan citra dan pencitraan di atas substansi, pengakuan atas kegagalan menjadi sesuatu yang langka. Joao, dengan segala keterbatasannya, memilih jalan yang tidak populer: mengakui bahwa ia tidak mampu menjalankan mandat yang diberikan karena sistem yang menaunginya tidak memberikan ruang yang cukup untuk bergerak. Ini bukan sekadar soal anggaran, tetapi soal struktur kekuasaan dan koordinasi antar-lembaga yang sering kali berjalan parsial dan tidak sinkron. Dalam konteks ini, pengunduran diri Joao menjadi semacam kritik diam terhadap cara negara membentuk dan mengelola lembaga strategis, terutama yang berkaitan dengan sektor vital seperti pangan.

Etika kepemimpinan yang ditunjukkan Joao juga mengandung dimensi spiritual dan filosofis yang dalam. Ia tidak mundur karena tekanan politik atau skandal, tetapi karena kesadaran bahwa jabatan tanpa daya untuk mewujudkan visi adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Dalam dunia yang semakin pragmatis dan transaksional, sikap seperti ini mengingatkan kita pada nilai-nilai dasar kepemimpinan: integritas, tanggung jawab, dan keberanian untuk mengakui keterbatasan. Ia tidak menyalahkan siapa pun secara langsung, namun dengan cara yang elegan dan reflektif, ia menunjukkan bahwa sistem yang tidak mendukung perubahan akan terus melahirkan kegagalan, tak peduli seberapa besar visi yang dibawa oleh pemimpinnya. Dalam hal ini, Joao bukan hanya mundur sebagai direktur utama, tetapi juga sebagai simbol dari harapan yang belum sempat tumbuh.

Peristiwa ini juga menantang kita untuk melihat ulang bagaimana negara membangun narasi tentang pembangunan. Terlalu sering, pembangunan dipresentasikan sebagai deretan angka, proyek, dan target yang harus dicapai, tanpa memperhatikan apakah sistem pendukungnya benar-benar siap. Agrinas, sebagai lembaga yang digadang-gadang menjadi ujung tombak swasembada pangan, seharusnya menjadi contoh dari sinergi antara visi politik dan kapasitas teknokratis. Namun kenyataannya, lembaga ini justru menjadi korban dari ketidaksiapan struktural dan birokrasi yang lamban. Jika lembaga strategis seperti Agrinas tidak diberi ruang untuk beroperasi secara efektif, maka janji-janji besar tentang ketahanan pangan hanya akan menjadi retorika kosong. Dalam konteks ini, pengunduran diri Joao adalah alarm moral yang seharusnya menggugah semua pihak untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar mengganti orang.

Akhirnya, sikap Joao mengingatkan kita bahwa tanggung jawab publik bukan hanya soal keberhasilan, tetapi juga soal bagaimana menghadapi kegagalan dengan bermartabat. Ia tidak lari dari tanggung jawab, tidak menyembunyikan fakta, dan tidak membungkus kegagalan dengan retorika. Ia memilih untuk menunduk, meminta maaf, dan mundur merupakan sebuah tindakan yang sederhana namun sarat makna. Dalam dunia yang sering kali menilai kepemimpinan dari seberapa lama seseorang bertahan di jabatan, Joao menunjukkan bahwa kadang, mundur adalah bentuk tertinggi dari kepemimpinan. Sebuah pelajaran yang layak direnungkan, terutama di tengah krisis pangan dan ketidakpastian global yang menuntut bukan hanya visi besar, tetapi juga sistem yang mampu mewujudkannya.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Pengunduran diri dirut Agrinas menuai Banyak respect dari Netizen"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel