-->
Loading...

Diskusi Publik Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia

45news.id Dalam sebuah sarasehan yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya di Student Center GMKI Surabaya, diskusi mengenai penulisan ulang sejarah nasional Indonesia menjadi panggung utama bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Acara ini menghadirkan empat narasumber utama: Prof. Drs. Hotman Siahaan, Dr. Pinky Saptandari EP, Dr. Endah Triwijati (Tiwi), dan RD. Alexius Kurdo Irianto. Mereka berbicara dengan penuh semangat dan keprihatinan tentang upaya pemerintah menulis ulang sejarah Indonesia, terutama terkait tragedi Mei 1998 yang dinilai mulai dihapus dari narasi resmi.

Moderator membuka acara dengan menyampaikan bahwa penulisan ulang sejarah bukan sekadar proyek akademik, melainkan medan pertarungan antara ingatan dan kekuasaan. Gandor, aktivis kemanusiaan yang telah lama berkecimpung dalam isu penghilangan paksa, menyatakan, “Kita tidak bisa membiarkan sejarah ditulis oleh mereka yang ingin melupakan. Tiga belas aktivis hilang, dan belum ada satu pun pengadilan HAM yang berani menyentuhnya.”

Dr. Pinky Saptandari, seorang antropolog dan dosen senior dari Universitas Airlangga, tampil dengan suara yang lantang namun penuh empati dalam sarasehan tersebut. Ia membuka pandangannya dengan menyatakan bahwa sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa, melainkan ruang hidup bagi ingatan kolektif yang membentuk identitas bangsa. Menurutnya, sejarah kelam seperti tragedi Mei 1998 bukanlah bagian dari masa lalu yang bisa dengan mudah dikubur atau disunting demi kenyamanan politik. “Kita tidak sedang bicara tentang masa lalu yang bisa dikubur. Kita bicara tentang luka yang masih terbuka,” ujarnya, menatap peserta diskusi dengan sorot mata yang tajam. Pernyataan ini bukan hanya refleksi akademik, melainkan juga seruan moral agar bangsa Indonesia tidak terjebak dalam amnesia kolektif yang disengaja.

Ia menyoroti secara khusus bagaimana kekerasan seksual terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998 sering kali diabaikan dalam narasi resmi. Dalam draf buku sejarah nasional yang tengah disusun oleh pemerintah, peristiwa tersebut nyaris tidak disebutkan, apalagi dijelaskan secara mendalam. Dr. Pinky menyebut bahwa penghapusan atau pengaburan fakta-fakta ini bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi juga pengkhianatan terhadap kebenaran dan terhadap para korban yang telah berani bersuara. “Jika generasi muda tidak tahu tentang kekerasan seksual yang terjadi pada Mei 1998, maka kita telah gagal sebagai bangsa,” tegasnya. Ia menekankan bahwa pendidikan sejarah harus menjadi ruang yang aman bagi kebenaran, bukan alat untuk melanggengkan kekuasaan atau mensterilkan masa lalu.

Lebih jauh, Dr. Pinky mengajak peserta diskusi untuk memahami bahwa sejarah yang tidak melibatkan korban adalah sejarah yang cacat. Ia mengkritik pendekatan negara yang cenderung teknokratis dan elitis dalam menulis ulang sejarah, di mana suara-suara dari akar rumput, terutama korban kekerasan, tidak diberi ruang. “Penulisan ulang sejarah yang tidak melibatkan korban adalah bentuk pengkhianatan terhadap kebenaran,” katanya. Ia menyebut bahwa dalam antropologi, narasi korban adalah sumber pengetahuan yang paling otentik dan paling penting untuk memahami dampak sosial dari sebuah tragedi. Tanpa itu, sejarah hanya menjadi alat legitimasi bagi mereka yang berkuasa.

Dalam pandangannya, penulisan sejarah harus menjadi proses yang partisipatif dan inklusif. Ia mengusulkan agar negara membuka ruang bagi para penyintas, aktivis, dan akademisi independen untuk terlibat dalam proses penulisan sejarah nasional. “Kita harus menulis sejarah bersama, bukan membiarkan negara menulisnya sendiri,” ujarnya. Ia juga mengingatkan bahwa trauma kolektif yang tidak diakui akan terus hidup dalam bentuk ketakutan, ketidakpercayaan, dan luka sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, menjaga sejarah kelam bukan berarti merayakan penderitaan, tetapi memastikan bahwa penderitaan itu tidak terulang.

Prof. Hotman Siahaan, seorang akademisi yang telah lama mengamati dinamika media dan wacana publik, berbicara dengan ketenangan yang tajam dan analisis yang mendalam. Dalam sarasehan tersebut, ia menyoroti bagaimana penulisan ulang sejarah oleh negara bukanlah sekadar revisi akademik, melainkan sebuah strategi politik untuk membentuk ingatan kolektif sesuai dengan kepentingan kekuasaan. “Rezim bisa berganti, tapi narasi sejarah akan tetap hidup di memori sosial,” ujarnya. Kalimat itu menjadi pembuka bagi sebuah kritik tajam terhadap praktik manipulasi sejarah yang kerap dilakukan oleh negara dengan dalih pembaruan kurikulum atau penyesuaian ideologi.

Menurut Prof. Hotman, sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi, tetapi tentang bagaimana peristiwa itu diingat dan diwariskan. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks negara yang sedang mengalami kemunduran demokrasi, penulisan ulang sejarah sering kali menjadi alat untuk menghapus jejak kekerasan, pelanggaran HAM, dan perlawanan rakyat. “Pengalaman traumatis itu tidak bisa dihapus hanya karena tidak nyaman bagi penguasa,” katanya, menekankan bahwa kenyamanan politik tidak boleh menjadi alasan untuk menghilangkan penderitaan yang pernah dialami oleh rakyat. Ia menyebut bahwa penghapusan sejarah adalah bentuk otoritarianisme baru—bukan dengan senjata atau sensor, tetapi dengan pena dan kurikulum.

Lebih lanjut, Prof. Hotman mengungkapkan kekhawatirannya terhadap buku pelajaran sejarah yang mulai menghilangkan atau menyederhanakan peristiwa-peristiwa penting seperti tragedi Mei 1998. Ia menyebut bahwa generasi muda berisiko tumbuh tanpa pemahaman tentang perjuangan demokrasi, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual yang terjadi dalam sejarah bangsa. “Jika buku pelajaran hanya menyajikan versi steril dari masa lalu, maka kita sedang membentuk generasi yang buta sejarah,” ujarnya. Ia menekankan bahwa pendidikan sejarah harus menjadi ruang kritis, bukan ruang propaganda.

Dalam diskusi tersebut, Prof. Hotman juga mengajak masyarakat sipil untuk waspada terhadap narasi tunggal yang disebarkan oleh negara. Ia menyebut bahwa media, akademisi, dan komunitas harus aktif membangun narasi tandingan yang berbasis pada kesaksian korban dan data independen. “Kita tidak bisa menyerahkan sejarah kepada negara begitu saja. Kita harus menulis sejarah kita sendiri, dengan keberanian dan kejujuran,” katanya. Ia mengingatkan bahwa sejarah yang ditulis dari bawah dari suara-suara yang selama ini dibungkam adalah sejarah yang paling jujur dan paling manusiawi.

Romo Alexius Kurdo Irianto, seorang rohaniwan Katolik yang telah lama terlibat dalam gerakan pro-demokrasi, menghadirkan nuansa spiritual dan kemanusiaan yang mendalam dalam diskusi tersebut. Dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan, ia membuka kesaksiannya tentang masa-masa kelam ketika para aktivis mahasiswa diburu oleh aparat militer. “Saya tidak bisa diam melihat anak-anak muda yang hanya ingin menyuarakan keadilan, diburu seperti penjahat,” tuturnya, mengingat kembali malam-malam penuh ketegangan ketika ia harus menyembunyikan dan melindungi mereka di ruang-ruang gereja dan rumah-rumah warga. Baginya, tindakan itu bukan sekadar keberanian, melainkan panggilan iman dan kemanusiaan.

Romo Kurdo menekankan bahwa dalam situasi krisis, gereja dan masyarakat sipil tidak boleh menjadi penonton. Ia menyebut bahwa institusi keagamaan memiliki tanggung jawab moral untuk berdiri di sisi yang tertindas, bukan bersembunyi di balik netralitas yang pasif. “Kemanusiaan harus menjadi kompas kita, bukan kepentingan politik,” ucapnya, menegaskan bahwa nilai-nilai spiritual sejati tidak bisa dipisahkan dari perjuangan sosial. Ia mengkritik keras sikap sebagian tokoh agama yang memilih diam atau bahkan mendukung narasi negara yang mengaburkan sejarah kekerasan. Menurutnya, diam dalam situasi ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap iman itu sendiri.

Dalam refleksinya, Romo Kurdo juga menyampaikan bahwa sejarah bukan hanya milik para akademisi atau pejabat, tetapi juga milik mereka yang pernah mengalami langsung penderitaan dan ketakutan. Ia menceritakan bagaimana para aktivis yang ia bantu sering kali datang dengan tubuh gemetar dan mata yang penuh ketakutan, namun tetap membawa semangat untuk memperjuangkan demokrasi. “Mereka bukan kriminal. Mereka adalah anak-anak bangsa yang mencintai negeri ini lebih dari mereka yang duduk di kursi kekuasaan,” katanya. Ia menyebut bahwa pengalaman-pengalaman itu harus menjadi bagian dari sejarah nasional, bukan disingkirkan demi kenyamanan narasi resmi.

Lebih jauh, Romo Kurdo mengajak peserta diskusi untuk tidak hanya mengingat, tetapi juga merawat ingatan itu dengan tindakan nyata. Ia menyebut bahwa mengenang peristiwa kelam seperti Mei 1998 bukanlah bentuk dendam, melainkan bentuk tanggung jawab moral agar generasi mendatang tidak mengulangi kesalahan yang sama. “Kita harus menjaga nyala lilin kebenaran itu. Jangan biarkan ia padam oleh angin politik,” ujarnya dengan nada yang lirih namun menggugah. Ia juga mengingatkan bahwa sejarah yang jujur adalah fondasi bagi rekonsiliasi yang sejati, bukan sekadar slogan kosong.

Pernyataan Romo Kurdo menjadi penyeimbang dalam diskusi yang sarat dengan analisis akademik dan kritik politik. Ia menghadirkan dimensi spiritual yang mengingatkan bahwa di balik angka dan data, ada manusia-manusia nyata yang pernah terluka. Tepuk tangan panjang mengiringi akhir kesaksiannya, seolah menjadi pengakuan bahwa suara nurani masih punya tempat di tengah riuhnya wacana sejarah. Dalam suasana yang hening namun penuh makna, peserta diskusi menyadari bahwa menjaga kebenaran sejarah bukan hanya tugas intelektual, tetapi juga panggilan kemanusiaan.

Dr. Endah Triwijati, yang akrab disapa Dr. Tiwi, tampil dalam sarasehan dengan membawa beban yang tidak ringan dan beban kesaksian dari para perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998. Sebagai aktivis perempuan dan pendamping korban, ia tidak hanya berbicara dari sudut pandang akademik, tetapi dari ruang-ruang sunyi tempat luka-luka itu masih berdenyut. Dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian, ia menyampaikan bahwa negara telah gagal melindungi, mendengar, dan kini bahkan berusaha menghapus keberadaan para penyintas dari narasi sejarah. “Saya mendampingi perempuan-perempuan yang diperkosa saat kerusuhan. Mereka tidak hanya kehilangan tubuhnya, tapi juga suara mereka. Dan sekarang, negara ingin menghapus mereka dari sejarah. Itu kejam,” ucapnya, dan suasana ruangan pun seketika menjadi hening.

Dr. Tiwi menjelaskan bahwa trauma yang dialami oleh para korban tidak berhenti pada kekerasan fisik. Yang lebih menyakitkan adalah penghapusan identitas mereka sebagai bagian dari sejarah bangsa. Ia menyebut bahwa dalam draf buku sejarah nasional yang tengah disusun, kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 nyaris tidak disebutkan, seolah-olah tubuh perempuan yang diperkosa tidak pernah ada dalam catatan sejarah. “Mereka dijadikan catatan kaki, bahkan lebih buruk bahkan dihapus sama sekali,” katanya. Ia menekankan bahwa penulisan sejarah yang tidak berpusat pada suara korban adalah bentuk kekerasan baru, kekerasan simbolik yang melanggengkan ketidakadilan.

Lebih jauh, Dr. Tiwi mengajak peserta diskusi untuk memahami bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa yang berkuasa, tetapi tentang siapa yang menderita. Ia menyebut bahwa dalam setiap peristiwa besar, selalu ada tubuh-tubuh yang dikorbankan, suara-suara yang dibungkam, dan air mata yang tidak pernah tercatat. “Jika kita menulis sejarah tanpa mereka, maka kita sedang membangun bangsa di atas kebohongan,” ujarnya. Ia juga mengkritik keras pernyataan Menteri Kebudayaan yang menyebut tidak ada bukti solid tentang kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998. Menurutnya, pernyataan itu bukan hanya keliru, tetapi juga menyakitkan bagi para korban yang telah berani bersuara meski dengan risiko besar.

Dalam refleksinya, Dr. Tiwi menyampaikan bahwa mendengarkan korban bukanlah pilihan, tetapi kewajiban moral. Ia mengusulkan agar penulisan sejarah melibatkan penyintas secara langsung, bukan hanya sebagai objek penelitian, tetapi sebagai subjek yang memiliki otoritas atas narasi mereka sendiri. “Mereka punya hak untuk menentukan bagaimana sejarah mereka ditulis,” katanya. Ia juga menyebut bahwa pengakuan terhadap penderitaan korban adalah langkah awal menuju keadilan yang lebih luas. Tanpa itu, sejarah hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan cermin kebenaran.

Ketika diskusi memasuki babak yang paling emosional, pernyataan Menteri Kebudayaan yang menyebut tidak ada bukti solid tentang kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 menjadi titik nyala kemarahan dan kesedihan kolektif. Para narasumber dan peserta tidak hanya menanggapi secara akademik, tetapi dengan rasa luka yang mendalam. Pernyataan tersebut dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap penderitaan korban dan bagian dari upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran hak asasi manusia dari sejarah resmi bangsa. Dr. Tiwi, yang sejak awal telah menyuarakan suara para penyintas, kembali menegaskan bahwa persoalan ini bukan semata soal bukti hukum, tetapi soal keberanian moral. “Ini bukan soal bukti, ini soal keberanian untuk mendengar,” ucapnya dengan nada yang mengguncang ruang diskusi. Ia menyebut bahwa negara yang menolak mendengar korban adalah negara yang sedang membangun masa depan di atas kebisuan dan ketidakadilan.

Pernyataan tersebut disambut oleh Prof. Hotman yang menyebut bahwa penguasa sering kali menggunakan keraguan terhadap bukti sebagai tameng untuk menghindari tanggung jawab. Ia menyatakan bahwa dalam kasus pelanggaran HAM, bukti bukan hanya dokumen atau rekaman, tetapi juga kesaksian hidup yang telah bertahan di tengah represi dan ketakutan. “Kalau kita menunggu bukti yang sempurna, maka kita sedang menunda keadilan selamanya,” katanya. Ia menekankan bahwa sejarah harus berani mengakui kompleksitas dan luka, bukan hanya merayakan kemenangan dan stabilitas.

Menjelang akhir acara, suasana diskusi berubah menjadi reflektif. Para narasumber, yang sebelumnya berbicara dengan semangat perlawanan, kini menyampaikan seruan untuk menjaga memori kolektif sebagai warisan moral bangsa. Dr. Pinky, yang sejak awal menekankan pentingnya sejarah kelam, mengutip tema acara dengan penuh makna. “Kita tidak boleh lupa. Kita harus menyeduh ingatan, bukan membiarkannya menguap,” katanya, seolah mengajak semua yang hadir untuk menjadikan ingatan sebagai ritual harian, bukan sekadar peringatan tahunan. Ia menyebut bahwa menyeduh ingatan berarti merawatnya, memanaskannya kembali, dan membagikannya kepada generasi yang belum tahu.

Romo Kurdo menambahkan bahwa ingatan kolektif bukan hanya tugas akademisi atau aktivis, tetapi tanggung jawab spiritual seluruh bangsa. Ia menyebut bahwa setiap kali kita melupakan, kita sedang membuka pintu bagi kekerasan yang sama untuk kembali terjadi. “Kita harus menjadi penjaga nyala kecil itu. Karena kalau kita biarkan padam, maka gelap akan kembali,” ujarnya dengan lirih. Ia mengajak semua pihak, termasuk lembaga keagamaan, pendidikan, dan media, untuk menjadi ruang-ruang penyimpanan ingatan yang jujur dan berani.

Prof. Hotman menutup dengan pernyataan yang menggugah: bahwa sejarah bukan milik mereka yang menang, tetapi milik mereka yang berani mengingat. Ia menyebut bahwa manipulasi sejarah adalah bentuk kekuasaan yang paling halus namun paling berbahaya. “Kalau kita tidak melawan, maka anak-anak kita akan tumbuh dengan cerita yang salah tentang siapa kita sebenarnya,” katanya. Ia menyerukan agar masyarakat sipil terus aktif, tidak hanya dalam diskusi, tetapi dalam gerakan nyata untuk menulis ulang sejarah dari bawah dan dari suara-suara yang selama ini dibungkam.

Sarasehan yang berlangsung di Surabaya ini bukan sekadar forum akademik atau ruang diskusi biasa. Ia menjelma menjadi panggung perlawanan terhadap pelupaan yang sistematis, terhadap narasi sejarah yang sedang direkayasa oleh kekuasaan. Di tengah ancaman otoritarianisme yang menyusup secara halus lewat kurikulum, buku pelajaran, dan pernyataan pejabat negara, suara-suara yang hadir dalam ruangan itu berdiri sebagai benteng terakhir bagi ingatan kolektif bangsa. Mereka bukan hanya berbicara, tetapi menyuarakan luka, menyuarakan keberanian, dan menyuarakan kebenaran yang selama ini berusaha dibungkam.

Setiap narasumber membawa bukan hanya data dan analisis, tetapi juga kesaksian hidup, pengalaman nyata, dan komitmen moral yang tak tergoyahkan. Dari Dr. Pinky yang menegaskan pentingnya menjaga sejarah kelam, Prof. Hotman yang mengingatkan bahaya manipulasi narasi, Romo Kurdo yang menghadirkan dimensi spiritual dalam perjuangan kemanusiaan, hingga Dr. Tiwi yang membawa suara perempuan-perempuan yang selama ini terpinggirkan dan semuanya bersatu dalam satu pesan: bahwa sejarah bukan milik penguasa, melainkan milik mereka yang berani mengingat dan menyuarakan.

Di tengah suasana yang penuh empati dan kesadaran, sarasehan ini menjadi ruang penyembuhan dan ruang perlawanan. Ia menghidupkan kembali nyala kecil ingatan yang selama ini nyaris padam, dan mengajak semua yang hadir untuk menjadi penjaga nyala itu. Karena dalam dunia yang semakin gelap oleh pelupaan dan manipulasi, ingatan adalah cahaya. Dan cahaya itu hanya bisa bertahan jika kita terus menyeduhnya, merawatnya, dan membagikannya.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Diskusi Publik Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel