-->
Loading...

Tragedi di Sungai Musi: Saqila dan Sunyi yang Menyelimuti Arus

Proses Tim SAR dalam pencarian Korban

45news.id Hujan sore yang mengguyur Palembang pada 12 Agustus 2025 membawa suasana riang bagi anak-anak di kawasan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II. Di tepian Sungai Musi, Saqila (11), seorang siswi kelas V SD, bermain bersama tiga teman laki-lakinya. Tawa mereka menyatu dengan gemericik air dan suara hujan yang turun perlahan. Bagi anak-anak itu, sungai bukan hanya aliran air, melainkan ruang bermain yang luas dan bebas. Namun, di balik keceriaan itu, tersembunyi bahaya yang tak terlihat serta arus deras dan dasar sungai yang tak ramah bagi tubuh kecil yang belum mengenal risiko.

Rudi (38), operator alat berat di depot pasir yang tak jauh dari lokasi, menjadi saksi mata awal tragedi tersebut. Ia melihat anak-anak bermain terlalu dekat ke tengah sungai dan sempat memperingatkan mereka agar menjauh. “Saya sudah teriak dari atas alat berat, ‘Nak, jangan ke tengah, bahaya!’ Tapi mereka tetap main. Mungkin karena hujan, mereka senang,” ujarnya, dengan nada penyesalan yang dalam. Peringatan itu tak cukup untuk menghentikan langkah kecil Saqila dan teman-temannya. Sekitar pukul 16.30 WIB, tiga anak mulai tenggelam. Andi (42), sopir truk pasir yang sedang menunggu muatan, melihat kejadian itu dan tanpa pikir panjang langsung melompat ke air. Ia berhasil menyelamatkan dua anak, namun Saqila menghilang dalam arus yang tak bersahabat.

Tim SAR dari Basarnas Palembang segera dikerahkan, dibantu oleh Satpolairud Polrestabes Palembang, warga sekitar, dan relawan. Pencarian dilakukan dengan menyisir aliran sungai, menggunakan perahu dan teknik gelombang buatan untuk memunculkan tanda-tanda keberadaan korban. Komandan Tim SAR, Dwi Hartono, menjelaskan bahwa arus Sungai Musi di lokasi kejadian cukup deras, dan dasar sungai memiliki banyak cekungan pasir yang bisa menjadi perangkap bagi tubuh yang tenggelam. “Kami menyisir area dengan perahu dan membuat gelombang buatan untuk memunculkan tanda-tanda korban. Tapi arus di sini memang berbahaya,” katanya. Hingga malam tiba, Saqila belum ditemukan. Harapan mulai bergeser dari penyelamatan menuju penemuan jasad, agar keluarga bisa memberi penghormatan terakhir.

Di rumah duka, suasana sunyi menyelimuti. Nuraini (34), ibu Saqila, hanya bisa memeluk baju sekolah anaknya yang belum sempat dicuci. Ia duduk di sudut rumah, dikelilingi tetangga yang datang memberi dukungan. “Dia anak baik, suka bantu saya jualan gorengan. Katanya mau jadi guru. Saya masih berharap dia ditemukan, walau hanya jasadnya,” ucapnya lirih, seolah berbicara kepada angin yang membawa kenangan anaknya. Di tengah kesedihan itu, muncul refleksi dari warga dan tokoh masyarakat. Ketua RW setempat, Pak Hendra (50), menyuarakan keprihatinan dan mendesak pemerintah untuk segera memasang pagar pembatas serta papan peringatan di sepanjang tepian sungai yang dekat dengan pemukiman. “Sudah sering anak-anak main di sini. Kami butuh tindakan nyata, bukan hanya saat ada korban,” tegasnya.

Tragedi Saqila bukan hanya kisah kehilangan, tetapi juga cermin dari kelalaian kolektif dalam menjaga ruang publik yang aman bagi anak-anak. Sungai Musi, yang selama ini menjadi simbol kehidupan dan kebanggaan Palembang, juga menyimpan ancaman yang kerap diabaikan. Di antara arus yang tenang dan dalam, ada suara-suara kecil yang meminta perlindungan. Kisah Saqila menggugah kesadaran banyak pihak, bahwa keselamatan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga komunitas dan pemerintah. Semoga tragedi ini menjadi titik balik bagi kota yang tumbuh di tepian air, untuk lebih menjaga anak-anaknya dari bahaya yang tak terlihat, dan menjadikan sungai bukan hanya tempat bermain, tetapi ruang yang aman untuk tumbuh dan bermimpi.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Tragedi di Sungai Musi: Saqila dan Sunyi yang Menyelimuti Arus"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel