Mekanisme Pemakzulan Kepala Daerah
45news.id - Pemakzulan kepala daerah di Indonesia merupakan proses hukum dan politik yang diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Pasal 78. Proses ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan atau hanya karena tekanan massa, melainkan harus melalui tahapan formal dan berdasarkan pelanggaran hukum atau etika jabatan yang jelas. Mekanisme ini dirancang untuk menjaga stabilitas pemerintahan daerah sekaligus menjamin akuntabilitas pejabat publik terhadap konstitusi dan masyarakat.
Dalam Pasal 78 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, disebutkan bahwa kepala daerah dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran serius, seperti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah (Pasal 67 huruf b), melakukan perbuatan tercela, terlibat tindak pidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih, menggunakan dokumen atau keterangan palsu saat pencalonan, tidak melaksanakan tugas secara berkelanjutan selama enam bulan, atau melanggar larangan jabatan rangkap dan etika jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1). Ketentuan ini menegaskan bahwa pemakzulan bukanlah instrumen politik semata, melainkan langkah konstitusional yang harus didasarkan pada bukti dan prosedur hukum yang sah.
Tahapan pemakzulan dimulai dari ranah legislatif daerah, yaitu DPRD. Jika terdapat dugaan pelanggaran, DPRD dapat menggunakan hak angket untuk menyelidiki kebijakan atau tindakan kepala daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan merugikan masyarakat luas. Hak angket ini merupakan hak konstitusional DPRD untuk melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap kebijakan eksekutif daerah. Setelah hak angket disetujui dalam sidang paripurna, DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bertugas mengumpulkan bukti, mendengarkan keterangan ahli, dan menyusun laporan hasil penyelidikan.
Jika Pansus menemukan bahwa pelanggaran benar-benar terjadi dan bersifat serius, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Namun, usulan ini tidak serta merta langsung diberlakukan. Mahkamah Agung harus melakukan uji substansi terhadap dugaan pelanggaran tersebut. Mahkamah Agung akan menilai apakah pelanggaran yang dilakukan cukup berat dan memenuhi syarat untuk pemakzulan. Jika Mahkamah Agung menyetujui usulan tersebut, Menteri Dalam Negeri wajib memberhentikan kepala daerah dalam waktu maksimal 30 hari sejak putusan diterima.
Dalam hal kepala daerah diberhentikan, posisi tersebut akan diisi oleh wakil kepala daerah hingga masa jabatan berakhir. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000 Pasal 39 ayat (1), yang menyatakan bahwa tidak perlu dilakukan pemilihan kepala daerah ulang. Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga kesinambungan pemerintahan daerah dan menghindari kekosongan kekuasaan yang dapat mengganggu pelayanan publik.
Contoh nyata dari penerapan mekanisme ini dapat dilihat dalam kasus Bupati Pati, Sudewo, yang menghadapi tuntutan pemakzulan dari masyarakat dan DPRD setempat. Meskipun demonstrasi besar-besaran terjadi, proses pemakzulan tetap harus mengikuti tahapan hukum yang berlaku, termasuk pembentukan Pansus dan uji substansi oleh Mahkamah Agung.
Dengan demikian, pemakzulan kepala daerah bukanlah respons langsung terhadap tekanan publik, melainkan sebuah proses konstitusional yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan rule of law. Demonstrasi masyarakat bisa menjadi pemicu atau indikator adanya masalah, tetapi tidak bisa menjadi dasar hukum pemakzulan tanpa bukti pelanggaran yang sah dan prosedur yang sesuai. Untuk informasi lebih lanjut, kamu bisa merujuk langsung ke (https://peraturan.bpk.go.id/Details/38685/uu-no-23-tahun-2014).(JS)
Belum ada Komentar untuk "Mekanisme Pemakzulan Kepala Daerah"
Posting Komentar