Transformasi Sosial Melalui Pendidikan dan Algoritma Media Sosial
Perubahan ini juga diiringi oleh gelombang penyesalan kolektif atas masa lalu yang kurang serius dalam menanggapi pendidikan. Banyak individu mulai mengakui bahwa pilihan-pilihan yang diambil sebelumnya, baik karena tekanan ekonomi, budaya, atau kurangnya informasi yang telah menghambat potensi mereka untuk berkembang secara maksimal. Penyesalan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan menjadi titik tolak untuk merancang masa depan yang lebih bermakna. Diskusi tentang rencana melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, seperti magister dan doktoral, kini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, bahkan di kalangan yang sebelumnya tidak memiliki akses atau aspirasi ke arah tersebut. Pendidikan tinggi tidak lagi dipandang sebagai simbol status semata, melainkan sebagai jalan untuk memperdalam pemahaman, memperluas kontribusi, dan memperbaiki struktur sosial melalui riset dan refleksi kritis.
Namun, jalan menuju pendidikan doktoral, khususnya program PhD, bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari seleksi yang ketat, tuntutan akademik yang tinggi, hingga kebutuhan untuk memiliki supervisor yang tepat. Supervisor bukan hanya pembimbing teknis, tetapi juga mitra intelektual yang dapat membuka jalan bagi riset yang bermakna dan berdampak. Tanpa dukungan yang kuat dari seorang supervisor, banyak calon peneliti yang tersesat dalam labirin akademik yang kompleks. Oleh karena itu, proses mencari dan menjalin hubungan dengan calon supervisor menjadi langkah krusial dalam perjalanan menuju PhD. Hal ini juga menuntut calon mahasiswa untuk memiliki proposal riset yang matang, relevan, dan mampu menjawab persoalan nyata di masyarakat.
PhD adalah singkatan dari Doctor of Philosophy, sebuah gelar akademik tertinggi yang diperoleh setelah menyelesaikan studi jenjang S3 di berbagai bidang ilmu, bukan hanya filsafat seperti yang sering disalahpahami. Gelar ini menandakan bahwa seseorang telah melakukan penelitian mendalam dan orisinal yang berkontribusi pada pengembangan pengetahuan di bidang tertentu. PhD umumnya digunakan di negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, dan ditulis di belakang nama, misalnya: “Dewi Lestari, PhD”.
Meskipun secara esensial setara dengan gelar Doktor yang dikenal di Indonesia, ada beberapa perbedaan antara keduanya. PhD lebih menekankan pada aspek akademik dan riset, dengan disertasi yang bertujuan memperluas pengetahuan ilmiah. Sementara gelar Doktor di Indonesia bisa mencakup pendekatan yang lebih terapan atau profesional, tergantung pada bidang studi dan institusinya.
Menempuh pendidikan PhD biasanya memakan waktu antara 3 hingga 7 tahun, tergantung pada institusi dan progres penelitian. Salah satu syarat penting dalam program PhD adalah memiliki supervisor atau pembimbing riset yang akan mendampingi proses akademik dan memastikan kualitas serta arah penelitian tetap relevan dan berdampak.
Dalam konteks ini, kabar bahwa sebuah penelitian pribadi telah diterima dan dimulai di MONASH University Australia menjadi titik terang yang menggembirakan. Ini bukan hanya pencapaian individu, tetapi juga simbol dari transformasi sosial yang lebih luas yang mengidentifikasikan bahwa masyarakat kita mulai menempatkan riset, refleksi, dan pendidikan sebagai fondasi utama dalam membangun masa depan. MONASH University, sebagai institusi yang dikenal dengan pendekatan interdisipliner dan komitmen terhadap riset berdampak, menjadi tempat yang ideal untuk memulai perjalanan intelektual yang mendalam. Penerimaan riset ini menunjukkan bahwa ketika seseorang bersungguh-sungguh dalam merancang pertanyaan yang bermakna, membangun argumen yang kuat, dan menunjukkan komitmen terhadap perubahan sosial, maka dunia akademik pun membuka pintunya. Ini adalah bukti bahwa pergeseran konsumsi konten bukan sekadar tren, melainkan cerminan dari perubahan kesadaran yang lebih dalam, bahwa kita sedang bergerak menuju masyarakat yang lebih berpikir, lebih peduli, dan lebih berani bermimpi.
Di balik layar media sosial yang tampak sederhana dan menghibur, bekerja sistem kompleks yang disebut algoritma, yaitu sebuah rangkaian instruksi dan model matematika yang menentukan konten apa yang muncul di beranda setiap pengguna. Meski sering dianggap sebagai mekanisme teknis yang netral, algoritma sebenarnya tidak pernah benar-benar netral. Ia bersifat prediktif dan sangat dipengaruhi oleh tujuan platform, yaitu mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Dengan kata lain, algoritma dirancang untuk mempelajari perilaku pengguna, memprediksi apa yang akan membuat mereka terus menggulir layar, dan menyajikan konten yang paling mungkin memicu keterlibatan. Dalam proses ini, algoritma tidak hanya mencerminkan preferensi pengguna, tetapi juga membentuknya secara halus mengarahkan keinginan, emosi, dan bahkan pandangan dunia mereka.
Pengaruh algoritma terhadap keinginan pengguna sangatlah nyata. Ketika seseorang mulai menonton video tentang gaya hidup minimalis, misalnya, algoritma akan mulai menyajikan lebih banyak konten serupa, memperkuat minat tersebut dan mendorong pengguna untuk mengidentifikasi diri dengan narasi yang sedang tren. Dalam jangka panjang, ini bisa mengubah cara seseorang memandang kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan identitas sosial. Konten yang viral bukan hanya karena kualitasnya, tetapi karena algoritma menilai bahwa konten tersebut memiliki potensi tinggi untuk memicu interaksi dan retensi. Maka, keinginan pengguna bukan lagi sesuatu yang murni internal, melainkan hasil dari interaksi dinamis antara preferensi awal dan dorongan algoritmik yang terus-menerus.
Model algoritma dalam menilai konten bekerja melalui sistem penilaian yang kompleks. Setiap video atau unggahan diberi skor berdasarkan sejumlah variabel yang diperhitungkan secara otomatis. Interaksi pengguna, seperti jumlah suka, komentar, dan dibagikan menjadi indikator awal. Namun, yang lebih penting adalah retensi menonton, yaitu seberapa lama seseorang menonton sebuah video sebelum beralih ke konten lain. Video yang mampu mempertahankan perhatian hingga akhir akan mendapat skor lebih tinggi, karena dianggap memiliki daya tarik yang kuat. Metadata seperti judul, deskripsi, tag, dan bahkan thumbnail juga berperan dalam penilaian ini, karena membantu algoritma memahami konteks dan relevansi konten terhadap tren yang sedang berlangsung.
Dalam ekosistem media sosial yang semakin kompetitif, proses pengujian konten baru menjadi tahap krusial sebelum sebuah video atau unggahan diperluas ke audiens yang lebih besar. Proses ini dikenal sebagai initial test batch, di mana algoritma menyebarkan konten ke kelompok kecil pengguna yang dianggap relevan berdasarkan perilaku dan preferensi mereka. Kelompok ini berfungsi sebagai semacam laboratorium sosial sebagai reaksi mereka terhadap konten akan menentukan apakah konten tersebut layak untuk diperluas. Jika video tersebut menunjukkan tingkat interaksi tinggi, retensi menonton yang baik, dan sinyal positif lainnya, algoritma akan menaikkan skornya dan mulai menyebarkannya ke audiens yang lebih luas. Sebaliknya, jika respons awal lemah, konten tersebut akan tenggelam tanpa pernah mencapai potensi viralnya.
Skor yang ditentukan dalam tahap ini bukan hanya angka teknis, tetapi representasi dari apa yang disebut sebagai game of attention yaitu permainan besar yang kini mendefinisikan dinamika digital. Dalam evolusinya, game of attention telah bergeser dari sekadar mengejar jumlah pengikut menjadi kompetisi untuk mencuri waktu dan fokus pengguna. Di era awal media sosial, memiliki banyak pengikut dianggap sebagai jaminan kesuksesan konten. Namun kini, perhatian menjadi mata uang utama, dan algoritma lebih tertarik pada konten yang mampu memicu keterlibatan emosional, percakapan, dan reaksi spontan. Maka, menarik perhatian bukan lagi soal seberapa besar audiens yang dimiliki, tetapi seberapa dalam konten tersebut mampu menyentuh, memprovokasi, atau menginspirasi.
Di tengah permainan ini, muncul kesadaran baru tentang pentingnya dampak sosial dari konten yang dihasilkan. Kreator tidak lagi hanya bertanya “berapa banyak yang menonton?”, tetapi juga “apa yang berubah setelah mereka menonton?” Konten yang memiliki nilai transformatif yang mendorong refleksi, solidaritas, atau tindakan nyata yang di mulai mendapat tempat di tengah algoritma yang sebelumnya hanya mengejar sensasi. Ini membuka ruang bagi pendekatan baru seperti Friction Shifting Theory, sebuah metode kolektif untuk mengubah arah algoritma dengan cara menciptakan gesekan terhadap pola lama. Ketika cukup banyak pengguna secara sadar berinteraksi dengan konten yang bermakna, algoritma akan mulai mengadaptasi preferensinya, menggeser distribusi menuju konten yang lebih etis dan berdampak.
Dampak dari Friction Shifting Theory (FST) mulai terlihat nyata dalam lanskap diskusi sosial, terutama dalam isu-isu yang sebelumnya dianggap terlalu berat atau elitis, seperti filsafat dan kecerdasan intelektual (IQ). Ketika sekelompok kreator dan komunitas mulai secara konsisten mengangkat tema-tema ini dengan pendekatan yang inklusif dan menggugah, algoritma pun mulai merespons. Lonjakan pembicaraan tentang filsafat dan IQ tidak hanya terjadi di ruang komentar atau forum diskusi, tetapi juga tercermin dalam perilaku konsumsi yang lebih luas yang termasuk meningkatnya pembelian buku-buku klasik dan kontemporer yang membahas dua topik tersebut. Ini menunjukkan bahwa ketika konten bermakna diberi ruang dan dukungan, masyarakat tidak hanya mampu mengaksesnya, tetapi juga terdorong untuk memperdalam pemahaman mereka secara aktif.
Model prediksi dan penilaian dalam FST bekerja dengan prinsip matematis yang menggabungkan variabel interaksi, resonansi, dan pengulangan. Berbeda dengan algoritma tradisional yang hanya mengandalkan sinyal instan seperti klik atau durasi menonton, FST memperhitungkan dinamika jangka panjang antar pengguna. Ketika sebuah topik dibicarakan berulang kali oleh berbagai individu dalam konteks yang berbeda, misalnya filsafat eksistensial dalam diskusi tentang pendidikan, atau IQ dalam refleksi tentang keadilan sosial, maka sistem akan mengenali pola tersebut sebagai sinyal perubahan. Interaksi yang bersifat dialogis dan reflektif menjadi kunci dalam model ini, karena menunjukkan bahwa konten tidak hanya dikonsumsi, tetapi juga diproses dan diperdebatkan secara aktif.
Untuk mendukung transformasi ini, beberapa platform mulai menguji pendekatan beta testing dan membuka peluang melalui program seperti Beasiswa Revolusi Kritik yang dibuat oleh Youtuber Ferry Irwandi . Program ini dirancang untuk memberi ruang bagi kreator konten yang ingin berpartisipasi dalam perubahan arah algoritma dengan mengangkat isu-isu kritis dan edukatif. Beasiswa ini bukan hanya soal pendanaan, tetapi juga tentang membangun ekosistem yang mendukung keberanian intelektual dan keberpihakan sosial. Kreator yang terlibat didorong untuk bereksperimen dengan format, gaya, dan narasi yang mampu menjembatani antara kompleksitas akademik dan kebutuhan publik yang luas.
Namun, di balik semua ini, tantangan besar tetap ada, terutama bagi para akademisi dan pendidik. Di satu sisi, mereka memiliki pengetahuan mendalam yang sangat dibutuhkan dalam diskusi publik. Di sisi lain, mereka sering kali terjebak dalam struktur institusional yang tidak mendukung keterlibatan digital atau komunikasi lintas disiplin. FST membuka peluang baru bagi akademisi untuk keluar dari ruang seminar dan masuk ke ruang sosial yang lebih dinamis, tetapi ini menuntut adaptasi, keberanian, dan kemauan untuk berinteraksi dengan audiens yang beragam. Pendidikan, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar transfer ilmu, tetapi proses kolektif untuk membentuk kesadaran, membongkar asumsi, dan membangun masa depan yang lebih reflektif dan adil. Ketika algoritma mulai diarahkan oleh nilai-nilai seperti ini, maka media sosial tidak lagi menjadi ruang yang dangkal, melainkan medan baru untuk revolusi pemikiran.
Keseluruhan narasi ini menggambarkan sebuah pergeseran mendalam dalam cara masyarakat berinteraksi dengan konten digital, pendidikan, dan sistem algoritmik yang mengatur arus informasi. Kita menyaksikan bagaimana pola konsumsi konten mulai bergeser dari eksploitasi visual dan hiburan instan menuju pencarian makna, refleksi, dan pengembangan diri. Masyarakat tidak lagi sekadar menjadi konsumen pasif, tetapi mulai menunjukkan kesadaran akan nilai pendidikan, pentingnya riset, dan urgensi untuk memperbaiki arah sosial melalui pengetahuan. Tantangan dalam pendidikan lanjutan, terutama dalam jenjang PhD, menjadi cerminan dari perjuangan intelektual yang tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif, karena setiap riset yang bermakna adalah kontribusi terhadap pemahaman dan keadilan yang lebih luas.
Di sisi lain, algoritma media sosial yang selama ini dianggap sebagai entitas teknis yang tak terjangkau, ternyata bisa dipahami dan bahkan diarahkan. Melalui pendekatan seperti Friction Shifting Theory, kita belajar bahwa algoritma bukanlah takdir digital, melainkan medan yang bisa digeser melalui interaksi sadar, produksi konten bermakna, dan kolaborasi lintas komunitas. FST memberi kita kerangka untuk memahami bagaimana perhatian, resonansi, dan pengulangan bisa menjadi alat untuk mengubah distribusi konten dan membentuk kesadaran kolektif. Ketika cukup banyak individu dan kreator mulai menggunakan media sosial sebagai ruang pendidikan, refleksi, dan kritik sosial, maka algoritma pun akan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut.
Sebagai penutup, narasi ini bukan sekadar analisis, tetapi juga ajakan. Ajakan untuk melihat media sosial bukan sebagai musuh, tetapi sebagai alat yang bisa dimanfaatkan untuk membangun masyarakat yang lebih sadar, adil, dan berpikir. Ajakan untuk menjadikan pendidikan sebagai proses yang terus berlangsung, bukan hanya di ruang kelas, tetapi di setiap interaksi digital yang kita lakukan. Dan ajakan untuk berani menjadi bagian dari perubahan, baik sebagai kreator, pendidik, peneliti, maupun pengguna biasa dikarenakan dalam dunia yang dibentuk oleh algoritma, setiap klik, komentar, dan percakapan adalah benih dari masa depan yang sedang kita bangun bersama.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Transformasi Sosial Melalui Pendidikan dan Algoritma Media Sosial"
Posting Komentar