-->
Loading...

Ketika Seragam Tak Lagi Menenangkan: Keresahan Masyarakat terhadap Oknum Polisi


45News id - Di negeri yang menjunjung tinggi hukum sebagai pilar keadilan, masyarakat seharusnya merasa aman di bawah perlindungan aparat kepolisian. Namun, realitas di lapangan sering kali berkata lain. Di berbagai sudut kota, dari jalanan kecil hingga flyover megah masyarakat justru merasa terintimidasi oleh kehadiran polisi. Bukan karena penegakan hukum yang tegas, melainkan karena praktik pungutan liar dan penilangan yang dinilai lebih mengutamakan keuntungan pribadi daripada keadilan publik.

Dalam beberapa tahun terakhir, keresahan masyarakat terhadap oknum polisi semakin mengemuka, mencerminkan retaknya kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan dan keadilan. Di berbagai daerah, cerita tentang penyalahgunaan wewenang, kekerasan yang tidak proporsional, hingga praktik korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Masyarakat tidak lagi melihat seragam polisi sebagai simbol perlindungan, melainkan sebagai potensi ancaman, terutama ketika berhadapan dengan oknum yang bertindak di luar batas hukum dan etika. Ketakutan ini bukan sekadar persepsi, melainkan lahir dari pengalaman nyata: penggerebekan tanpa prosedur, intimidasi terhadap warga sipil, dan penanganan kasus yang berat sebelah, di mana hukum seolah hanya tajam ke bawah.

Keresahan ini diperparah oleh minimnya akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan pelanggaran internal. Ketika oknum polisi melakukan tindakan yang merugikan masyarakat, proses hukum sering kali berjalan lambat atau bahkan tidak jelas arahnya. Publik jarang diberi akses terhadap informasi yang memadai, dan dalam banyak kasus, pelaku hanya dikenai sanksi administratif ringan, tanpa konsekuensi hukum yang setimpal. Hal ini menimbulkan kesan bahwa institusi kepolisian lebih melindungi anggotanya daripada memperjuangkan keadilan bagi korban. Ketika keadilan tidak ditegakkan secara konsisten, masyarakat mulai mempertanyakan integritas sistem hukum secara keseluruhan. Rasa frustrasi pun tumbuh, dan dalam beberapa kasus, berujung pada aksi protes atau ketidakpatuhan sipil sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan.

Di sisi lain, keresahan ini juga mencerminkan harapan yang belum terpenuhi. Masyarakat sejatinya menginginkan polisi yang humanis, profesional, dan berpihak pada kebenaran. Mereka mendambakan aparat yang hadir bukan hanya saat terjadi pelanggaran, tetapi juga dalam membangun rasa aman dan solidaritas sosial. Ketika harapan ini dikhianati oleh perilaku oknum, luka kolektif pun terbentuk luka yang tidak hanya merusak hubungan antara warga dan aparat, tetapi juga menggerogoti fondasi demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, kritik terhadap oknum polisi bukanlah bentuk kebencian terhadap institusi, melainkan seruan untuk reformasi yang mendalam dan berkelanjutan. Masyarakat ingin melihat perubahan yang nyata: sistem pengawasan yang independen, pendidikan etika yang kuat bagi aparat, dan keterlibatan publik dalam proses evaluasi kinerja kepolisian.
Keresahan ini bukanlah kasus tunggal. 

Survei nasional oleh GoodStats tahun 2025(https://goodstats.id/article/survei-goodstats-2025-mayoritas-masyarakat-masih-ragu-pada-polisi-SL6Fd)menunjukkan bahwa 66,2% masyarakat Indonesia pernah mengalami pengalaman buruk saat berurusan dengan polisi, dan 55,1% di antaranya menyebut pungli sebagai bentuk pelanggaran yang paling umum. Praktik pungli tidak selalu dilakukan secara terang-terangan. Banyak warga yang menyebut bahwa oknum aparat sering “memberi kode” agar mereka memberikan imbalan tertentu untuk mempermudah urusan. Ini memperkuat kesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan, selama ada uang yang berpindah tangan.

Lebih menyedihkan lagi, banyak masyarakat yang memilih diam. Sekitar 60% responden survei tidak pernah melaporkan pengalaman buruk mereka ke saluran resmi, karena merasa tidak percaya laporan akan ditindaklanjuti, atau takut dipersulit. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketidakpercayaan terhadap polisi bukan hanya soal perilaku oknum, tetapi sudah menjadi luka struktural yang dalam. Bahkan di media sosial, tagar seperti #percumalaporpolisi dan #tidakpercayapolisi sempat viral, menjadi simbol frustrasi publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi pelindung.

Foto yang di ambil oleh korban di Jl. Angkatan 66, Pipa Jaya, Kec. Kemuning, Kota Palembang, Sumatera Selatan 

Seperti yang terjadi di Flyover Sekip Ujung berdiri sebagai simbol kemajuan. Namun, di bawah bayang-bayang beton itu, masyarakat menyimpan luka yang tak terlihat: keresahan terhadap praktik penilangan dan pungutan liar oleh oknum polisi yang berjaga di persimpangan silang Jalan Angkatan 66. Bagi warga yang melintas, persimpangan itu bukan hanya titik lalu lintas, tetapi juga titik ketidakpastian hukum.

Persimpangan ini memiliki aturan khusus: kendaraan tidak boleh melaju lurus karena merupakan jalan silang. Namun, rambu yang seharusnya menjadi penanda larangan itu sering kali tidak terlihat jelas. Pengendara yang tidak familiar dengan lokasi, terutama warga dari luar kawasan, kerap melanggar tanpa sadar. Alih-alih diberi peringatan atau edukasi, mereka langsung ditilang. Lebih menyakitkan lagi, banyak dari mereka yang mengaku diminta “uang damai” oleh oknum petugas, sebuah praktik pungli yang merusak kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.

Keresahan ini bukan sekadar keluhan individual. Ia telah menjadi suara kolektif masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil. Penilangan yang dilakukan tanpa transparansi dan disertai pungli menciptakan kesan bahwa hukum bukan lagi alat keadilan, melainkan alat transaksi. Pos polisi yang seharusnya menjadi tempat perlindungan berubah menjadi titik ketakutan. Warga merasa seperti “jebakan hukum” dipasang di tengah jalan, dan mereka yang awam menjadi korban.

Salah satu korban berinisial WN yang merupakan warga asal indralaya mengaku dia merasa percaya diri saat itu karena dia merasa sudah mengikuti aturan berkendara seperti memakai helm, memiliki SIM dan surat-surat lengkap."Saya terbiasa di jalan kota Surabaya yang dimana aturan berjalan lurus di persimpangan sudah biasa di lakukan di tempat lain, saya tidak memahami Rambunya karena ini pengalaman baru bagi saya.." ujar nya setelah mendapat penilangan oleh oknum polisi

Masyarakat tidak menolak aturan. Justru, dalam tatanan yang sehat, warga mendambakan kejelasan hukum, edukasi yang inklusif, dan perlakuan yang adil dari aparat. Mereka ingin tahu bukan hanya apa yang dilarang, tetapi mengapa hal itu penting, bagaimana aturan itu disosialisasikan, dan sejauh mana penegak hukum menjalankan tugasnya dengan integritas. Rambu yang jelas bukan sekadar marka di jalan, melainkan simbol komunikasi antara negara dan rakyat. Sosialisasi yang masif bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap hak warga untuk tahu dan memahami. Dan penegakan hukum yang transparan bukan sekadar prosedur, melainkan fondasi kepercayaan publik.

Namun ketika hukum ditegakkan tanpa empati, maka keadilan kehilangan ruhnya. Ia berubah menjadi alat ketakutan, bukan perlindungan. Warga yang seharusnya merasa aman justru dicekam oleh rasa was-was, terutama ketika berhadapan dengan oknum yang menjadikan hukum sebagai ladang pungli dan intimidasi. Praktik penilangan yang disusupi kepentingan pribadi bukan hanya mencederai hukum, tetapi juga merusak wibawa institusi yang seharusnya menjadi panutan. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat perlu bersikap hati-hati. Bukan untuk menjauh dari hukum, tetapi untuk lebih kritis terhadap pelaksanaannya.

Kita semua perlu waspada bukan dengan rasa takut, tetapi dengan kesadaran yang tajam. Dokumentasikan setiap interaksi dengan aparat, pahami hak-hak sebagai warga negara, dan jangan ragu untuk bersuara ketika merasa diperlakukan tidak adil. Hati-hati bukan berarti curiga tanpa dasar, melainkan sikap aktif untuk menjaga diri dan sesama dari penyalahgunaan kekuasaan. Karena hukum yang adil hanya bisa hidup dalam masyarakat yang berani menuntut keadilan, bukan tunduk pada ketidakjelasan. Mari jaga ruang publik kita dengan keberanian, empati, dan akal sehat. Karena keadilan bukan milik segelintir orang, melainkan hak setiap jiwa yang hidup di negeri ini.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Ketika Seragam Tak Lagi Menenangkan: Keresahan Masyarakat terhadap Oknum Polisi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel