-->
Loading...

Pernyataan Kontroversial Menteri Keuangan Sri Mulyani: Zakat, Wakaf, dan Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani

45News id - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf dalam konteks kemuliaan dan fungsi sosial telah memicu gelombang reaksi yang tidak bisa dianggap remeh. Dalam acara Sarasehan Ekonomi dan Keuangan Syariah yang digelar di Jakarta pada 13 Agustus 2025, beliau menyatakan bahwa membayar pajak sama mulianya dengan menunaikan zakat dan wakaf, karena ketiganya dianggap sebagai bentuk pemenuhan hak orang lain. Pernyataan ini, meskipun disampaikan dalam kerangka ekonomi inklusif, justru menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat yang memahami zakat dan wakaf sebagai bagian dari ibadah yang sakral dan tidak bisa disamakan dengan kewajiban administratif negara.

Zakat dan wakaf dalam syariah bukan sekadar instrumen redistribusi kekayaan, melainkan bagian dari sistem spiritual yang mengikat langsung antara individu dan Tuhan. Zakat adalah rukun Islam, kewajiban yang memiliki dimensi ibadah, keikhlasan, dan pengabdian. Wakaf pun demikian, ia adalah bentuk sedekah jariyah yang mengandung nilai keberlanjutan dan niat tulus untuk kemaslahatan umat. Keduanya lahir dari kesadaran batin, bukan dari paksaan negara. Pajak, di sisi lain, adalah kewajiban administratif yang bersifat sekuler, dikelola oleh negara dengan segala kompleksitas birokrasi dan potensi penyalahgunaan. Menyamakan keduanya bukan hanya keliru secara teologis, tetapi juga berisiko mereduksi makna spiritual dari zakat dan wakaf menjadi sekadar angka dalam neraca fiskal.

Banyak Masyarakat sangat kontra terhadap penyamaan ini karena ia mengaburkan batas antara ibadah dan kewajiban sipil. Pajak memang memiliki fungsi sosial, dan dalam praktiknya bisa membantu masyarakat miskin melalui program seperti keluarga harapan. Namun, efektivitas dan transparansi pajak sangat bergantung pada integritas sistem pemerintahan. Ketika korupsi masih menjadi masalah struktural, ketika alokasi anggaran sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil, maka menyamakan pajak dengan zakat adalah bentuk simplifikasi yang menyesatkan. Zakat dan wakaf memiliki mekanisme distribusi yang lebih langsung, lebih transparan, dan lebih berakar pada nilai-nilai keadilan sosial yang bersumber dari ajaran agama.

Lebih jauh, pernyataan ini juga berpotensi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat awam yang sedang belajar memahami keuangan syariah. Ketika otoritas negara menyamakan pajak dengan zakat, maka akan muncul pertanyaan: apakah membayar pajak sudah cukup sebagai bentuk ibadah? Apakah zakat bisa digantikan oleh pajak? Ini bukan sekadar isu semantik, tetapi menyangkut pemahaman dasar tentang spiritualitas, tanggung jawab sosial, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini, kita perlu menegaskan bahwa zakat dan wakaf tidak bisa diposisikan sejajar dengan pajak. Mereka memiliki landasan nilai, tujuan, dan mekanisme yang berbeda secara fundamental.

Pernyataan Sri Mulyani yang menyamakan kemuliaan membayar pajak dengan menunaikan zakat dan wakaf terus menuai respons publik yang beragam, bahkan cenderung kritis. Di media sosial seperti Treads,Instagram,x,Tiktok dan Facebook, pernyataan tersebut menyebar dengan cepat dan menjadi bahan perbincangan hangat. Banyak warganet mempertanyakan dasar pemikiran di balik analogi tersebut, mengingat zakat dan wakaf memiliki dimensi spiritual yang tidak bisa disamakan dengan kewajiban negara seperti pajak. Kritik datang dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, akademisi, hingga masyarakat umum yang merasa bahwa pernyataan tersebut berpotensi menyesatkan pemahaman publik tentang esensi ibadah dalam Islam.

Dalam konteks yang lebih luas, Sri Mulyani tampaknya ingin menyoroti pentingnya keadilan sosial dan inklusi ekonomi melalui instrumen fiskal negara. Ia menekankan bahwa pajak digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, seperti penyediaan sembako untuk 18 juta keluarga dan modal usaha bagi pelaku UMKM. Namun, niat baik ini tidak serta-merta membenarkan penyamaan antara pajak dan zakat. Pajak adalah produk dari sistem politik dan ekonomi yang bisa berubah sesuai kebijakan pemerintah, sementara zakat dan wakaf adalah bagian dari sistem nilai yang bersifat tetap dan sakral dalam syariat Islam. Ketika seorang pejabat negara menyampaikan pernyataan seperti itu, meskipun bukan dari perspektif keagamaan, dampaknya tetap besar karena menyentuh ranah keyakinan publik.

Kritik terhadap pernyataan tersebut bukan semata-mata soal semantik, melainkan menyangkut pemahaman mendasar tentang peran negara dan agama dalam kehidupan masyarakat. Beberapa pihak menilai bahwa menyamakan pajak dengan zakat adalah bentuk simplifikasi yang mengabaikan kompleksitas spiritual dan historis dari kedua konsep tersebut. Zakat dan wakaf lahir dari kesadaran individu untuk berbagi, bukan dari paksaan atau regulasi. Pajak, meskipun memiliki tujuan sosial, tetap berada dalam ranah administratif yang tunduk pada sistem pemerintahan dan potensi penyalahgunaan. Ketika zakat dan wakaf dijalankan dengan niat ikhlas dan penuh tanggung jawab, mereka menjadi instrumen pemberdayaan yang jauh lebih bermakna daripada sekadar angka dalam laporan anggaran.

Viralitas pernyataan ini di media sosial menunjukkan betapa sensitifnya isu yang menyangkut agama dan kebijakan publik. Banyak yang merasa bahwa pernyataan tersebut mencerminkan ketidaktahuan terhadap nilai-nilai spiritual umat, atau bahkan upaya untuk merasionalisasi sistem pajak yang belum sepenuhnya adil. Di tengah ketidakpercayaan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas negara, menyamakan pajak dengan zakat justru memperlebar jurang antara pemerintah dan masyarakat. Kita perlu menegaskan bahwa keadilan sosial tidak bisa dibangun dengan menyamakan dua hal yang berbeda secara esensial. Justru yang dibutuhkan adalah penguatan sistem zakat dan wakaf yang independen, transparan, dan berbasis komunitas, agar bisa berjalan berdampingan dengan sistem pajak tanpa saling mengaburkan.

Kesimpulan dari kontroversi ini menegaskan bahwa menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf bukanlah sekadar persoalan retorika, melainkan menyentuh akar pemahaman spiritual dan sosial masyarakat Indonesia. Di tengah kompleksitas hubungan antara negara dan agama, pernyataan semacam ini menuntut kehati-hatian ekstra, terutama dari pejabat publik yang memiliki pengaruh besar terhadap narasi kebijakan. Meskipun niat untuk menekankan kontribusi sosial patut diapresiasi, penyamaan konsep yang berbeda secara esensial justru berisiko mereduksi makna ibadah dan memperkeruh pemahaman publik.

Reaksi keras dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat peduli terhadap otentisitas nilai-nilai keagamaan dan keadilan sosial. Dalam konteks ekonomi syariah, zakat dan wakaf bukan hanya instrumen distribusi, tetapi juga manifestasi dari spiritualitas dan solidaritas umat. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk menghormati batas-batas konseptual ini dan tidak menjadikan ibadah sebagai pembenaran atas sistem fiskal yang masih perlu banyak perbaikan. Ke depan, dialog yang lebih jujur dan inklusif antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk membangun sistem ekonomi yang adil tanpa mengaburkan makna spiritualitas yang telah diwariskan secara turun-temurun.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Pernyataan Kontroversial Menteri Keuangan Sri Mulyani: Zakat, Wakaf, dan Pajak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel