Kekacauan Akhir Agustus Di Surabaya
45News id - Di tengah panasnya suhu politik dan sosial yang menyelimuti Surabaya pada akhir Agustus 2025, aksi demonstrasi mahasiswa dan warga sipil di depan Gedung Negara Grahadi menjadi titik kulminasi dari keresahan publik terhadap tindakan represif aparat. Aksi ini berlangsung selama tiga hari, dari tanggal 29 hingga 31 Agustus, dipicu oleh tuntutan pembebasan rekan-rekan demonstran yang sebelumnya ditangkap dalam aksi solidaritas. Di antara kerumunan massa yang memadati jalanan, tampak dominasi mahasiswa dari GMNI Unesa, yang secara kolektif mengorganisir barisan dengan semangat perjuangan yang tetap menjunjung nilai-nilai konstitusional dan kemanusiaan.
Ulil, seorang mahasiswa GMNI Unesa yang saat itu dipercaya sebagai koordinator lapangan sekaligus peredam provokasi, menjadi sosok sentral dalam menjaga integritas gerakan. Dalam wawancara yang dilakukan pasca aksi, Ulil menjelaskan bahwa sejak awal, GMNI Unesa tidak hanya hadir sebagai peserta aksi, tetapi juga sebagai penjaga moralitas demonstrasi. “Kami tahu betul bahwa kemarahan publik itu sah, tapi harus diarahkan secara bermartabat. Ketika massa mulai terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak jelas asal-usulnya, kami langsung membentuk lingkaran pengaman dan menginstruksikan agar barisan mahasiswa tidak terpancing,” ujar Ulil dengan nada tegas namun reflektif.
Pada malam 30 Agustus, ketika Gubernur Khofifah Indar Parawansa turun langsung menemui massa sekitar pukul 20.39 WIB, suasana sempat mereda. Ulil menyebut momen itu sebagai titik penting dalam membangun komunikasi antara rakyat dan pemerintah. “Kami menyambut baik langkah Gubernur. Tapi kami juga sadar bahwa di tengah kerumunan, ada pihak-pihak yang sengaja menyusup untuk menciptakan chaos. Mereka bukan bagian dari gerakan mahasiswa, melainkan aktor-aktor yang ingin merusak citra perjuangan,” jelasnya. Ulil dan tim GMNI Unesa kemudian memperkuat koordinasi internal, membentuk barikade mahasiswa untuk memisahkan massa yang mulai bertindak anarkis dari barisan demonstran yang tetap tenang.
Tindakan preventif yang dilakukan oleh GMNI Unesa terbukti krusial ketika api mulai menyala di beberapa titik sekitar Gedung Grahadi. Ulil mengaku bahwa saat itu, ia melihat langsung bagaimana seorang pria bertopeng dan mengenakan sarung tangan hitam membawa kayu terbakar ke dalam ruang kerja Wakil Gubernur. “Kami tidak bisa menghentikan semuanya, tapi kami bisa memastikan bahwa mahasiswa tidak terlibat dalam pembakaran. Kami dokumentasikan, kami laporkan, dan kami pastikan bahwa GMNI berdiri di sisi yang benar,” katanya. Dalam situasi yang semakin genting, GMNI Unesa juga membuka layanan hukum bagi mahasiswa dan warga yang menjadi korban intimidasi atau penangkapan sewenang-wenang, sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap gerakan.
Kobaran api yang melahap Gedung Negara Grahadi pada malam 30 Agustus 2025 bukan sekadar insiden kebakaran, melainkan simbol dari eskalasi yang telah keluar dari kendali. Hanya satu jam setelah Gubernur Khofifah menemui massa, suasana yang semula penuh harapan berubah menjadi kepanikan dan kehancuran. Di tengah kerumunan yang awalnya terdiri dari mahasiswa dan warga sipil, muncul sosok-sosok asing yang bertindak dengan presisi dan intensitas yang tidak mencerminkan spontanitas massa. Mereka bukan demonstran biasa tetapi mereka adalah eksekutor, penyusup yang telah merancang kerusuhan dari jauh sebelum malam itu tiba.
Salah satu pelaku utama, berinisial AEP, diketahui berasal dari Maluku dan tinggal di Sidoarjo. Ia bersama kelompoknya telah merancang pembakaran sejak sore hari, berkumpul di Lapangan Bumi Cabean Asri untuk merakit bom molotov dari botol bir dan bahan bakar. Ketika malam tiba, mereka menyusup ke tengah massa dan melemparkan bom molotov ke sisi barat Gedung Grahadi, tepatnya ke ruang kerja Wakil Gubernur Emil Dardak. Dalam hitungan detik, api menyambar furnitur, dokumen, dan perangkat kerja, meluas ke ruang biro rumah tangga, biro umum, dan ruang wartawan Pokja. Saksi mata menyebut kobaran api begitu cepat dan intens, seolah telah disiapkan dengan bahan bakar yang sengaja disiram sebelumnya.
Di tengah kekacauan, muncul pria lain dengan torch gas, memperbesar kobaran api dan memastikan gedung benar-benar terbakar. Aksi ini bukan hanya destruktif, tetapi juga teatrikal ikut sebuah pertunjukan kekerasan yang dirancang untuk menciptakan ketakutan dan simbol kehancuran terhadap institusi negara. Polisi kemudian menetapkan 33 tersangka, termasuk AEP dan delapan anak di bawah umur yang terlibat dalam pembuatan bom, pelemparan batu, serta penjarahan. Barang bukti berupa bom molotov, senjata tajam, ponsel, dan pakaian pelaku diamankan, memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini bukan bagian dari penyampaian aspirasi, melainkan tindak pidana yang terorganisir.
Kerusuhan yang melanda Surabaya pada akhir Agustus 2025 meninggalkan jejak kehancuran yang tak hanya bersifat fisik, tetapi juga mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap ruang demokrasi. Setelah Gedung Negara Grahadi dilalap api, gelombang kekerasan menyebar ke Mapolsek Tegalsari dan 29 pos polisi di berbagai titik kota. Massa yang semula bergerak dengan tuntutan pembebasan rekan demonstran berubah menjadi arus destruktif, dipicu oleh provokasi sistematis yang disebarkan melalui media sosial dan grup-grup komunikasi daring. Dua provokator utama berhasil ditangkap, keduanya diketahui mengorganisir massa dan menyebarkan ajakan kerusuhan secara terencana.
Polisi merespons dengan operasi penangkapan besar-besaran. Sebanyak 315 orang diamankan dari berbagai titik kericuhan, terdiri dari 128 anak-anak dan 187 orang dewasa. Dari jumlah tersebut, 33 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk enam anak yang kini berstatus sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Peran para tersangka beragam, mulai dari pembakar, perusak fasilitas umum, hingga penyebar provokasi dan penyerang aparat. Barang bukti yang diamankan mencakup bom molotov, botol berisi bensin, senjata tajam, pakaian pelaku, ponsel, serta benda-benda hasil penjarahan seperti motor, lukisan, dan peralatan kantor.
Kerugian akibat kerusuhan ini mencapai Rp124 miliar, mencakup kerusakan gedung pemerintahan, fasilitas kepolisian, kendaraan dinas, dan infrastruktur kota. Namun lebih dari angka, kerusakan ini mencerminkan luka sosial yang dalam. Demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang artikulasi aspirasi berubah menjadi medan konflik, memperlihatkan betapa rapuhnya batas antara protes dan kekacauan ketika provokasi dibiarkan tumbuh tanpa kendali. Di tengah reruntuhan, suara-suara mahasiswa yang tetap menjunjung etika perjuangan menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal kebebasan bersuara, tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk menjaga ruang publik dari kehancuran.
Narasi ini bukan sekadar dokumentasi peristiwa, melainkan refleksi atas pentingnya membedakan antara gerakan rakyat yang sah dan infiltrasi destruktif yang merusak legitimasi perjuangan. Dalam lanskap digital yang memungkinkan mobilisasi cepat namun juga penyebaran hoaks dan provokasi, peran aktor-aktor seperti GMNI Unesa dan tokoh seperti Ulil menjadi krusial: mereka adalah penjaga moralitas gerakan, penyeimbang antara kemarahan dan kesadaran. Kini, saat bara telah padam, pertanyaan yang tersisa adalah bagaimana membangun kembali kepercayaan, bukan hanya terhadap institusi, tetapi terhadap kemampuan masyarakat sipil untuk bersuara tanpa harus terbakar.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Kekacauan Akhir Agustus Di Surabaya"
Posting Komentar