-->
Loading...

Gerakan moral dan sosial lahir dari kesadaran kolektif warga: Ikrar Jogo Suroboyo


45News id - Di tengah riak kerusuhan yang sempat mengguncang Surabaya, sebuah gerakan moral dan sosial lahir dari kesadaran kolektif warga: Ikrar Jogo Suroboyo. Gerakan ini bukan sekadar respons spontan terhadap tindakan anarkistis yang merusak fasilitas umum dan mengganggu ketertiban kota, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa Surabaya adalah rumah yang layak dijaga bersama. Pada tanggal 4 September 2025, sebanyak 9.319 warga dari berbagai latar belakang berkumpul di Tugu Pahlawan, tempat yang sarat makna sejarah, untuk mengikrarkan komitmen menjaga kedamaian dan persatuan. Dari tokoh agama hingga komunitas digital, dari mahasiswa hingga satgas kampung, semua bersatu dalam satu suara: Surabaya harus tetap menjadi kota yang aman, inklusif, dan bermartabat.

Gerakan Jogo Suroboyo juga menyalakan kembali semangat Kampung Pancasila, sebuah konsep yang menempatkan lingkungan sebagai benteng kecil penjaga nilai-nilai kebangsaan. Di kampung-kampung, warga mulai membentuk satgas, memperkuat komunikasi antarwarga, dan menciptakan ruang aman bagi anak-anak dan remaja. Di tengah era digital yang sering kali memecah perhatian dan solidaritas, gerakan ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan tetap bisa dibangun, bahkan diperkuat, melalui nilai-nilai lokal yang dihidupkan kembali. Surabaya, dengan segala keberagamannya, menunjukkan bahwa kota bukan hanya kumpulan bangunan, melainkan jaringan kehidupan yang bisa saling menjaga ketika ancaman datang.

Gerakan Ikrar Jogo Suroboyo menemukan kekuatannya bukan hanya dalam jumlah massa yang hadir, tetapi dalam keberagaman elemen masyarakat yang terlibat secara aktif. Dari organisasi keagamaan seperti PCNU, Muhammadiyah, Walubi, hingga LDII, suara spiritual dan moral masyarakat bersatu dalam satu tekad menjaga kedamaian kota. Komunitas lokal seperti Karang Taruna, Pemuda Pusura, Pemuda Pancasila, Maluku Satu Rasa, dan Madura Asli membawa semangat akar rumput yang selama ini menjadi denyut kehidupan kampung-kampung di Surabaya. Mereka bukan hanya hadir sebagai simbol, tetapi sebagai penjaga nilai-nilai kebersamaan yang telah lama menjadi fondasi sosial kota ini.

Institusi pendidikan pun tak tinggal diam. BEM universitas dan Pramuka turut serta, menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya peduli pada isu-isu nasional, tetapi juga siap turun tangan dalam menjaga ketertiban lokal. Bahkan komunitas digital seperti pengemudi ojek daring ikut ambil bagian, membuktikan bahwa solidaritas bisa menjelma di ruang-ruang yang selama ini dianggap individualistik. Mereka menjadi mata dan telinga kota, mengabarkan situasi, menjaga ketenangan, dan menjadi bagian dari jaringan sosial yang responsif terhadap ancaman.

Ikrar ini bukan hanya simbolik, melainkan juga menjadi titik balik sosial. Wali Kota Eri Cahyadi, dalam pidatonya yang penuh semangat, menyerukan agar warga kembali berdagang, berusaha, dan menjalani aktivitas seperti biasa. Seruan itu bukan sekadar ajakan ekonomi, tapi juga pemulihan psikologis dan sosial. Ia mengingatkan bahwa semangat para pahlawan yang dahulu berjuang di medan Tugu Pahlawan harus menjadi inspirasi untuk menjaga kota ini dari kehancuran. Dalam suasana yang sempat mencekam, warga Wonokromo dan Bubutan bahkan berjaga secara spontan, menunjukkan bahwa solidaritas bukan hanya wacana, tapi aksi nyata yang tumbuh dari akar komunitas.

Kutipan dari Wali Kota Eri Cahyadi itu bukan sekadar retorika, melainkan panggilan nurani yang menggugah kesadaran kolektif warga Surabaya. Dalam satu kalimat, ia merangkum esensi dari gerakan Jogo Suroboyo: cinta yang aktif, bukan pasif; penjagaan yang lahir dari rasa memiliki, bukan sekadar kewajiban. Ketika para pahlawan dahulu mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan, kini warga Surabaya diajak untuk meneruskan semangat itu dalam bentuk yang berbeda dengan menjaga kedamaian, menolak kekerasan, dan membangun solidaritas lintas komunitas.

Gerakan ini menjadi refleksi bahwa keberanian tidak selalu hadir di medan perang. Ia juga tumbuh di lorong-lorong kampung, di ruang digital, di hati para pedagang kecil, dan di langkah para pemuda yang memilih untuk merawat kotanya daripada membiarkannya hancur. Ikrar Jogo Suroboyo adalah warisan baru yang tidak tertulis di buku sejarah, tetapi hidup dalam tindakan sehari-hari. Ia mengajarkan bahwa cinta pada kota bukan hanya soal nostalgia, tapi juga tentang keberanian untuk bertindak, untuk bersuara, dan untuk berdiri bersama ketika ancaman datang.

Dengan semangat itu, Surabaya tidak hanya pulih dari luka, tetapi juga tumbuh menjadi kota yang lebih tangguh. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, gerakan ini menjadi contoh bahwa kekuatan komunitas bisa menjadi benteng terakhir sekaligus awal dari perubahan. Dan seperti yang diungkapkan oleh sang wali kota, menjadi orang Surabaya berarti mencintai kota ini dengan keberanian yang sama seperti para pahlawan dahulu karena cinta yang dijaga bersama adalah fondasi dari masa depan yang damai.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Gerakan moral dan sosial lahir dari kesadaran kolektif warga: Ikrar Jogo Suroboyo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel