-->
Loading...

Indonesia Pusaka Diubah Jadi “Tanahnya Mafia”: Jeritan Hati atau Pelecehan Simbol Bangsa?

Pengguna Tiktok @masbams64 viral Karena ubah lirik lagu

45news.id Video berdurasi singkat yang diunggah oleh akun TikTok @masbams64 telah memicu gelombang diskusi nasional yang tak terduga. Dalam rekaman tersebut, seorang pria berdiri dengan penuh keyakinan, mengenakan kaos berlambang Garuda dan berlatar belakang bendera merah putih yang berkibar. Namun yang membuat video ini viral bukanlah visualnya, melainkan lirik lagu yang ia nyanyikan. Lagu Indonesia Pusaka, ciptaan maestro Ismail Marzuki, yang selama ini menjadi simbol kebanggaan dan cinta tanah air, diubah secara drastis menjadi kritik sosial yang tajam. Lirik seperti “Indonesia tanahnya mafia, koruptornya di mana-mana...” menggantikan bait-bait asli yang biasanya membangkitkan rasa haru dan nasionalisme.

Perubahan lirik ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Sebagian masyarakat menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap simbol nasional yang sakral. Lagu Indonesia Pusaka bukan hanya karya seni, melainkan bagian dari memori kolektif bangsa yang diwariskan lintas generasi. Mengubah liriknya dianggap mencederai semangat kebangsaan dan menghina perjuangan para pahlawan. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang melihat aksi tersebut sebagai bentuk ekspresi kekecewaan yang sah terhadap kondisi sosial-politik Indonesia saat ini. Mereka menilai bahwa lirik yang diubah mencerminkan realitas pahit yang dirasakan oleh rakyat kecil menyuarakan keresahan seperti korupsi yang merajalela, mafia yang menguasai sektor-sektor strategis, dan ketimpangan ekonomi yang semakin mencolok.

Respons publik terhadap video tersebut memperlihatkan betapa dalamnya keterikatan emosional masyarakat terhadap simbol-simbol nasional. Di satu sisi, banyak warganet yang mengecam keras tindakan pengubahan lirik Indonesia Pusaka, menyebutnya sebagai bentuk pelecehan terhadap warisan budaya dan identitas bangsa. Komentar seperti “Lagu itu bukan milik pribadi, itu warisan bangsa” mencerminkan rasa kepemilikan kolektif terhadap karya-karya patriotik yang telah menjadi bagian dari narasi kebangsaan. Bagi mereka, tindakan tersebut bukan sekadar kritik, melainkan pelanggaran terhadap kesakralan simbol yang telah menyatukan bangsa dalam berbagai momen sejarah.

Namun di sisi lain, muncul pula gelombang pembelaan yang tak kalah kuat. Banyak yang melihat video tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang sah, bahkan perlu dihargai sebagai jeritan hati rakyat kecil yang lelah dengan janji-janji kosong dan ketidakadilan struktural. Dalam pandangan ini, pengubahan lirik bukanlah penghinaan, melainkan strategi retoris untuk menggugah kesadaran publik. Lagu yang biasanya membangkitkan rasa bangga, kini digunakan untuk menyuarakan rasa kecewa dari sebuah transformasi makna yang mencerminkan dinamika sosial yang tengah berlangsung. Bagi sebagian orang, kritik terhadap negara melalui simbol nasional bukanlah bentuk pengkhianatan, melainkan panggilan untuk perbaikan.

Pernyataan dari Dr. Ratri Wulandari, pakar etika komunikasi dari Universitas Indonesia, memberikan kerangka analisis yang lebih mendalam. Ia menyebut fenomena ini sebagai “benturan antara simbol kolektif dan narasi personal.” Menurutnya, ketika simbol nasional digunakan sebagai medium kritik, masyarakat perlu bertanya: apakah itu bentuk pengkhianatan terhadap identitas bersama, atau justru panggilan untuk refleksi kolektif? Dalam konteks komunikasi publik, simbol memiliki kekuatan untuk menyatukan sekaligus mengguncang. Ketika digunakan secara kreatif namun kontroversial, seperti dalam video tersebut, simbol bisa menjadi alat untuk membuka ruang dialog yang selama ini tertutup oleh formalitas dan retorika resmi.

Fenomena ini juga mengundang pertanyaan lebih luas tentang batas-batas kebebasan berekspresi di ruang digital. Di era media sosial, siapa pun bisa menjadi produsen narasi, dan simbol nasional pun tak luput dari reinterpretasi. Namun apakah semua bentuk ekspresi layak diterima tanpa batas? Ataukah perlu ada etika kolektif yang menjaga agar kritik tetap menghormati nilai-nilai bersama? Ketegangan antara ekspresi dan eksploitasi menjadi semakin nyata ketika simbol-simbol yang selama ini dianggap sakral digunakan untuk menyampaikan pesan yang mengguncang. Dalam kasus ini, publik tidak hanya dihadapkan pada konten yang provokatif, tetapi juga pada dilema moral: apakah kita akan membungkam suara yang menyakitkan demi menjaga kesakralan simbol, ataukah kita akan membuka ruang bagi kritik yang mungkin menyembuhkan luka bangsa?

Video klarifikasi yang diunggah oleh pria tersebut menjadi babak baru dalam dinamika kontroversi yang telah menyebar luas. Dalam suasana yang lebih tenang dan reflektif, ia menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, menegaskan bahwa tidak ada niat untuk melecehkan lagu kebangsaan atau simbol negara. Ia mengakui bahwa lirik yang diubah memang menimbulkan kegaduhan, namun ia berharap publik dapat memahami konteks emosional dan sosial yang melatarbelakangi tindakannya. Klarifikasi ini bukan hanya bentuk tanggung jawab pribadi, tetapi juga upaya untuk meredakan ketegangan yang telah berkembang menjadi perdebatan nasional.

Menariknya, dalam video tersebut ia juga menyampaikan dukungan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pernyataan ini menjadi penegasan bahwa kritik yang ia lontarkan tidak ditujukan kepada pemerintahan secara keseluruhan, melainkan kepada oknum-oknum mafia dan koruptor yang menurutnya masih bercokol di berbagai sektor. Ia menyampaikan harapan agar kepemimpinan nasional mampu menuntaskan persoalan-persoalan struktural yang selama ini menjadi sumber kekecewaan rakyat. Dukungan ini menunjukkan bahwa di balik ekspresi yang kontroversial, terdapat harapan akan perubahan dan perbaikan yang nyata.

Klarifikasi tersebut mendapat respons beragam dari publik. Sebagian mengapresiasi keberanian pria itu untuk tampil dan menjelaskan maksudnya secara terbuka, menyebutnya sebagai bentuk kedewasaan dalam berkomunikasi. Namun ada pula yang tetap menilai bahwa tindakan awalnya tidak dapat dibenarkan, terlepas dari niat baik yang ia sampaikan kemudian. Dalam konteks ini, permintaan maaf menjadi semacam jembatan antara ekspresi personal dan tanggung jawab sosial dari sebuah pengakuan bahwa dalam menyuarakan kritik, ada batas-batas etika yang perlu dijaga agar pesan tidak kehilangan makna dan legitimasi.

Fenomena pengubahan lirik Indonesia Pusaka menjadi kritik sosial yang viral di media sosial bukan hanya soal konten yang kontroversial, tetapi juga tentang bagaimana narasi digital membentuk ulang cara kita memahami identitas bangsa. Di era di mana setiap individu bisa menjadi penyampai pesan, media sosial telah menjadi arena baru bagi ekspresi kebangsaan bukan lagi terbatas pada upacara resmi atau ruang pendidikan, melainkan hadir dalam bentuk video, meme, satire, dan reinterpretasi simbol. Namun kebebasan ini juga membawa konsekuensi: ruang publik menjadi semakin sensitif, dan batas antara ekspresi yang sah dan provokasi yang dianggap melampaui etika menjadi kabur.

Lagu Indonesia Pusaka bukan sekadar melodi yang indah, melainkan bagian dari memori kolektif yang menyatukan generasi. Ia mengandung harapan, sejarah, dan rasa cinta terhadap tanah air yang telah dibangun melalui perjuangan panjang. Ketika liriknya diubah, bukan hanya nada yang bergeser, tetapi juga makna kebangsaan yang kita warisi. Dalam konteks digital, perubahan ini bisa menjadi alat refleksi, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik jika tidak disampaikan dengan kepekaan terhadap nilai-nilai bersama. Seni dan satire memang memiliki kekuatan untuk menggugah, namun juga memerlukan tanggung jawab agar tidak merusak fondasi identitas yang telah dibangun dengan susah payah.

Peristiwa ini mengajak kita untuk merenungkan ulang bagaimana kita memaknai simbol, kritik, dan kebebasan dalam masyarakat yang terus berubah. Apakah kita cukup dewasa untuk menerima suara yang berbeda, bahkan ketika suara itu menyakitkan? Ataukah kita akan terus mempertahankan batas-batas lama tanpa membuka ruang dialog yang lebih inklusif? Di tengah kemerdekaan yang ke-80, mungkin inilah saatnya bangsa Indonesia tidak hanya merayakan kebebasan, tetapi juga memperkuat kedewasaan dalam menyikapi perbedaan. Karena pada akhirnya, identitas bangsa bukan hanya tentang menjaga warisan, tetapi juga tentang bagaimana kita merawatnya di tengah perubahan zaman.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Indonesia Pusaka Diubah Jadi “Tanahnya Mafia”: Jeritan Hati atau Pelecehan Simbol Bangsa?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel