Fenomena Sound Horeg di Jawa: Sebuah Analisis Psikologis dan Antropologis
Pasca pandemi COVID-19, popularitas sound horeg melonjak secara signifikan. Ketika dunia dilanda ketidakpastian dan isolasi, masyarakat mencari cara untuk meredakan stres dan mengisi kekosongan emosional. Musik, dalam konteks ini, menjadi pelarian yang paling mudah diakses dan paling efektif. Sound horeg, dengan dentuman bass yang mengguncang tubuh dan atmosfer yang meriah, menawarkan semacam anestesi emosional. Ia menenggelamkan individu dalam gelombang suara yang intens, mengalihkan perhatian dari rasa sakit dan memberi sensasi kelegaan sementara. Musik keras bukan hanya soal volume, tetapi tentang intensitas pengalaman dan ini menjadi medium untuk menenangkan jiwa yang gelisah, mengisi kekosongan batin, dan menghidupkan kembali semangat yang sempat padam. Dalam dentuman yang menggema, masyarakat menemukan ruang untuk merasa, untuk melepaskan, dan untuk kembali terhubung dengan diri mereka sendiri.
Lebih dalam lagi, ketertarikan terhadap sound horeg dapat dibaca sebagai respons terhadap rasa teralienasi yang dialami sebagian masyarakat. Dalam struktur sosial yang semakin kompleks dan kadang eksklusif, banyak individu merasa tersisih dari arus utama. Mereka yang merasa tidak memiliki tempat dalam norma sosial yang mapan cenderung mencari ruang alternatif untuk mengekspresikan diri. Sound horeg menawarkan ruang tersebut dan bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap keterasingan. Di tengah keramaian, mereka menemukan koneksi emosional yang selama ini hilang. Karnaval sound horeg bukan hanya pesta, tetapi juga ritual kolektif yang menyembuhkan luka sosial. Ia menjadi tempat di mana yang terpinggirkan bisa bersuara, di mana yang tak terdengar bisa menggema, dan di mana yang terasing bisa merasa diterima.
Ketidakstabilan emosi juga memainkan peran penting dalam daya tarik sound horeg. Musik keras memiliki kemampuan untuk menyalurkan emosi yang meledak-ledak seperti kemarahan, kesedihan, kekecewaan ke dalam bentuk yang lebih terkontrol dan estetis. Bagi mereka yang mengalami patah hati atau tekanan hidup, sound horeg menjadi medium katarsis. Ia memungkinkan individu untuk menangis tanpa air mata, berteriak tanpa suara, dan merasakan tanpa harus menjelaskan. Dalam dentuman yang menggema, ada ruang untuk merasakan dan melepaskan. Musik menjadi jembatan antara dunia batin yang kacau dan dunia luar yang tak selalu memahami. Dalam konteks ini, sound horeg bukan sekadar fenomena budaya, tetapi juga cermin dari dinamika psikologis dan antropologis masyarakat Jawa Timur yang sedang mencari keseimbangan antara tradisi, modernitas, dan kebutuhan akan pelampiasan emosional yang autentik.
Fenomena sound horeg di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari akar budaya masyarakat Jawa yang memiliki kecenderungan kuat terhadap keramaian dan ekspresi kolektif. Tradisi-tradisi seperti pasar malam, hajatan, dan arak-arakan telah lama menjadi bagian dari kehidupan sosial, di mana suara keras dan kerumunan bukan hanya diterima, tetapi dirayakan. Dalam konteks ini, sound horeg muncul sebagai kelanjutan dari tradisi tersebut, namun dengan sentuhan modernitas dan teknologi audio yang lebih canggih. Ia bukan sekadar hiburan, melainkan perwujudan dari hasrat masyarakat untuk berkumpul, bersuara, dan merayakan kehidupan secara bersama-sama. Suara yang menggema bukan dianggap sebagai gangguan, melainkan sebagai tanda bahwa komunitas masih hidup, masih berdenyut, dan masih mampu bersatu dalam satu frekuensi emosional.
Jika dibandingkan dengan fenomena dugem di kota-kota besar, sound horeg menunjukkan karakter yang jauh lebih terbuka dan inklusif. Dugem, sebagai bentuk hiburan global, cenderung berlangsung dalam ruang tertutup seperti klub malam, dengan akses yang terbatas dan atmosfer yang lebih individualistik. Ia adalah keramaian yang terisolasi, di mana interaksi sosial sering kali dibatasi oleh dinding-dinding eksklusivitas. Sebaliknya, sound horeg berlangsung di ruang publik seperti jalan kampung, lapangan terbuka, atau halaman rumah dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Anak-anak, orang tua, pemuda, bahkan pedagang kaki lima ikut serta dalam perayaan tersebut. Sound horeg adalah bentuk keramaian yang komunal, di mana suara keras menjadi pemersatu, bukan pemisah. Ia menciptakan ruang sosial yang cair, di mana batas-batas usia, kelas, dan status sosial menjadi kabur, digantikan oleh semangat kebersamaan yang spontan dan meriah.
Distribusi populasi di Jawa Timur turut memengaruhi perilaku sosial yang mendukung tumbuhnya sound horeg. Tidak seperti kota-kota besar yang memiliki pusat populasi yang padat dan terpusat, wilayah Jawa Timur memiliki pola penyebaran penduduk yang lebih menyebar. Banyak komunitas yang tinggal di daerah semi-urban atau pedesaan, di mana akses terhadap hiburan formal terbatas. Dalam kondisi seperti ini, munculnya sound horeg menjadi jawaban atas kebutuhan akan interaksi sosial dan pelampiasan emosional. Ketika pusat-pusat populasi tidak terkonsentrasi, rasa kesendirian dan keterasingan bisa muncul, mendorong individu untuk mencari keramaian sebagai bentuk kompensasi. Sound horeg, dengan dentuman musiknya yang menggema ke seluruh penjuru kampung, menjadi magnet yang menarik orang-orang keluar dari ruang privat mereka menuju ruang publik yang hidup dan penuh energi.
Namun, di balik semaraknya sound horeg, terdapat dinamika psikologis yang patut dicermati. Stres dan tekanan hidup yang meningkat, terutama pasca pandemi, telah berdampak pada kemampuan empati individu. Ketika seseorang berada dalam kondisi mental yang tertekan, kapasitas untuk memahami dan peduli terhadap orang lain bisa menurun. Dalam konteks sound horeg, hal ini terlihat dari bagaimana sebagian orang menikmati keramaian tanpa memedulikan dampaknya terhadap lingkungan sekitar, baik dari segi kebisingan, ketertiban, maupun kenyamanan warga lain. Musik keras menjadi pelarian, tetapi juga bisa menjadi bentuk pelampiasan yang mengabaikan sensitivitas sosial. Ini bukan semata-mata karena kurangnya kesadaran, tetapi karena empati yang terkikis oleh beban hidup yang berat. Dalam dentuman yang memekakkan telinga, ada jiwa-jiwa yang sedang berusaha bertahan, mencari ruang untuk merasa, meski kadang dengan cara yang tidak ideal.
Dengan begitu, dalam menyikapi fenomena ini, kita perlu melangkah dengan kebijaksanaan. Alih-alih menghakimi secara sepihak, mari kita belajar untuk memahami konteks yang melatarbelakanginya. Kritik memang penting, tetapi empati jauh lebih mendalam. Kita diajak untuk tidak ceroboh dalam menilai, tidak gegabah dalam menyimpulkan, dan tidak buta terhadap realitas sosial yang melahirkan suara-suara ini. Sound horeg bukan hanya soal volume, tetapi tentang kebutuhan manusia untuk didengar, untuk diakui, dan untuk merasa hidup. Maka, alih-alih menutup telinga, mungkin sudah saatnya kita membuka hati.(JS)
Belum ada Komentar untuk "Fenomena Sound Horeg di Jawa: Sebuah Analisis Psikologis dan Antropologis"
Posting Komentar