-->
Loading...

Royalti Lagu di Indonesia: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Beban Usaha


45news.id Di tengah geliat industri musik Indonesia yang semakin dinamis, muncul sebuah polemik yang mengguncang ekosistem kreatif: persoalan royalti lagu. Isu ini bukan sekadar soal hak cipta, melainkan menyangkut keadilan, transparansi, dan keberlangsungan hubungan antara pencipta karya dan pengguna karya. Aturan yang mewajibkan pembayaran royalti atas pemutaran lagu di ruang publik seperti restoran, kafe, hotel, dan pusat perbelanjaan yang telah menimbulkan gelombang reaksi dari berbagai pihak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, setiap pemanfaatan karya musik secara komersial harus melalui mekanisme pembayaran royalti yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang bertugas mengoordinasikan distribusi royalti kepada para pencipta lagu melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Namun, implementasi aturan ini tidak berjalan mulus. Banyak pelaku usaha merasa sistem royalti yang diterapkan tidak transparan dan cenderung memberatkan. Salah satu kasus yang mencuat ke publik adalah gugatan terhadap restoran Mie Gacoan, yang disebut harus membayar royalti hingga Rp2,2 miliar karena memutar lagu tanpa izin. Kasus ini menjadi titik balik dalam perdebatan, karena memunculkan pertanyaan besar: apakah sistem royalti saat ini benar-benar berpihak pada pencipta lagu, atau justru menjadi beban bagi pengguna karya yang ingin mendukung musik lokal?

Kritik terhadap sistem royalti tidak hanya datang dari pelaku usaha, tetapi juga dari para musisi itu sendiri. Beberapa musisi ternama seperti Ahmad Dhani, Rhoma Irama, dan Ari Lasso secara terbuka menyatakan kekecewaan mereka terhadap sistem pengelolaan royalti. Ahmad Dhani, misalnya, menggratiskan lagu-lagu Dewa 19 formasi Virzha-Ello untuk diputar di restoran yang menghubungi akun resminya. Rhoma Irama bahkan menyatakan bahwa semua lagunya boleh dibawakan tanpa royalti oleh penyanyi dangdut manapun. Ari Lasso mengungkap bahwa ia hanya menerima royalti sebesar Rp700 ribu dari LMK, dan itu pun sempat salah transfer. Ia menyerukan agar LMK diaudit oleh BPK, KPK, dan Bareskrim, karena menurutnya sistem yang ada saat ini sangat buruk dan tidak berpihak pada pencipta lagu.

Fenomena ini memunculkan dilema besar. Di satu sisi, royalti adalah bentuk penghargaan terhadap hak cipta dan kerja keras para musisi. Tanpa sistem royalti yang adil, pencipta lagu bisa kehilangan insentif untuk terus berkarya. Di sisi lain, jika sistem pengelolaan royalti tidak transparan dan memberatkan, maka pengguna karya akan enggan memutar lagu-lagu lokal, dan akhirnya beralih ke musik instrumental, suara alam, atau bahkan musik luar negeri yang lebih mudah diakses melalui platform digital. Hal ini justru bisa merugikan industri musik nasional secara keseluruhan.

Menariknya, di tengah polemik ini, muncul juga perdebatan mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya. Beberapa pihak mempertanyakan apakah lagu tersebut juga dikenai royalti. Pemerintah menegaskan bahwa Indonesia Raya telah menjadi domain publik dan termasuk dalam kategori penggunaan wajar (fair use), sehingga tidak dikenai royalti. Pernyataan ini penting untuk meluruskan persepsi publik dan menunjukkan bahwa tidak semua lagu berada di bawah perlindungan komersial yang ketat.

Sikap para musisi yang menggratiskan lagu mereka menjadi titik balik dalam wacana publik mengenai hak cipta dan sistem royalti. Di satu sisi, langkah ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap pelaku usaha yang merasa terbebani oleh kewajiban royalti. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa tindakan tersebut justru bisa merusak fondasi perlindungan hak cipta yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jika pencipta lagu sendiri mulai mengabaikan hak ekonominya, bagaimana mungkin sistem royalti bisa bertahan dan berkembang secara sehat?

Ari Lasso, yang selama puluhan tahun menjadi bagian dari industri musik Indonesia, mengungkapkan kekecewaannya secara terbuka. Ia menyebut bahwa sistem LMK sangat buruk, dan bahkan menyarankan agar lembaga tersebut diaudit oleh instansi penegak hukum dan pengawas keuangan negara. Pernyataan ini bukan hanya kritik, tetapi juga seruan untuk reformasi. Ketika musisi sekelas Ari Lasso merasa tidak dihargai secara layak, itu menandakan ada masalah mendasar dalam distribusi royalti yang seharusnya menjadi hak para pencipta lagu.

Ahmad Dhani dan Rhoma Irama pun mengambil langkah serupa, namun dengan pendekatan yang berbeda. Dhani mengizinkan restoran memutar lagu-lagu Dewa 19 formasi Virzha-Ello secara gratis, asalkan mereka menghubungi akun resminya. Rhoma Irama bahkan lebih radikal: ia menggratiskan seluruh lagunya untuk dibawakan oleh penyanyi dangdut manapun. Langkah ini tentu disambut baik oleh pelaku usaha dan musisi muda, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan perlindungan karya musik di Indonesia.

Di tengah kekacauan sistem, muncul pula perdebatan mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya. Beberapa pihak sempat khawatir bahwa lagu tersebut akan dikenai royalti jika diputar di ruang publik. Namun, pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia Raya telah menjadi domain publik dan termasuk dalam kategori penggunaan wajar. Pernyataan ini penting untuk menjaga semangat nasionalisme dan memastikan bahwa simbol negara tidak menjadi komoditas komersial.

Namun, polemik royalti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan gestur simbolik atau keputusan sepihak. Diperlukan reformasi menyeluruh terhadap sistem LMK dan LMKN, termasuk transparansi dalam pengumpulan dan distribusi royalti, pelibatan aktif para musisi dalam pengambilan keputusan, serta edukasi kepada pelaku usaha tentang pentingnya menghargai hak cipta. Tanpa sistem yang adil dan akuntabel, royalti hanya akan menjadi sumber konflik, bukan solusi.

Isu royalti ini bukan sekadar soal uang, tapi tentang penghargaan terhadap karya seni, keadilan bagi pencipta, dan keberlangsungan industri musik yang sehat. Di tengah tarik ulur kepentingan, satu hal yang pasti: musik adalah suara jiwa bangsa, dan semestinya dikelola dengan hati, bukan sekadar angka.

Musik adalah cerminan jiwa bangsa. Ia lahir dari pengalaman, emosi, dan kreativitas yang tak ternilai. Mengelola musik bukan hanya soal regulasi, tetapi soal penghargaan terhadap proses kreatif. Ketika sistem royalti gagal memberikan keadilan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak ekonomi para musisi, tetapi juga masa depan industri musik Indonesia itu sendiri.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Royalti Lagu di Indonesia: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Beban Usaha"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel