Didikan Dulu vs Sekarang: Di Persimpangan Zaman
45news.id - Di tengah hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan bergesernya nilai-nilai sosial, muncul sebuah kegelisahan kolektif di kalangan masyarakat: apakah pendidikan masa lampau yang keras namun membentuk karakter lebih unggul dibanding pendekatan masa kini yang lebih lembut dan berorientasi psikologis? Pertanyaan ini bukan sekadar nostalgia atau kritik, melainkan cerminan dari pertarungan antara tradisi dan modernitas yang belum menemukan titik temu.
Banyak yang menyuarakan kerinduan akan didikan zaman dulu. Mereka yang merupakan generasi yang dibesarkan dengan rotan, disiplin tegas, dan kata “diam” sebagai bentuk hormat membuat mereka percaya bahwa tempaan masa kecil mereka membentuk kepribadian yang kuat, mandiri, dan tidak mudah menyerah. Mereka mengenang kehidupan sederhana di mana bermain bukan di depan layar, melainkan di tanah lapang, berkejaran bersama teman, menghadapi alam secara langsung. Kegiatan harian yang tampak sepele seperti mencuci piring, menjaga adik, atau membantu berjualan bukan sekadar tugas, melainkan proses pembelajaran karakter dan tanggung jawab. Dari situ, mereka merasa tumbuh bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental dan spiritual.
Sebaliknya, dalam lanskap pendidikan modern, pendekatan yang digunakan lebih mengutamakan kelembutan, dialog, dan pemenuhan hak anak. Anak-anak diajak berbicara, didengarkan, dan dipahami. Psikologi perkembangan menjadi fondasi utama dalam pembentukan kurikulum. Teknologi hadir sebagai pintu menuju pengetahuan yang nyaris tak berbatas. Namun, justru di sinilah muncul paradoks yang meresahkan: mengapa anak-anak yang hidup di era kemudahan ini justru tampak lebih rapuh? Banyak yang dinilai cepat menyerah, emosinya tak stabil, bahkan kemampuan dasar seperti literasi dan wawasan umum masih sangat minim. Sering dijumpai siswa SMA yang kesulitan membaca lancar, anak SMP yang gagap memahami logika dasar kehidupan, padahal mereka tumbuh di zaman di mana segala jawaban tersedia dalam genggaman.
Perdebatan ini semakin memanas di jagat maya. Di media sosial, tiap generasi bersuara lantang, membela pola didik yang mereka anggap paling berhasil. Sebagian berpendapat bahwa generasi sekarang dimanjakan, sehingga kehilangan daya tahan terhadap kesulitan. Sebagian lain menilai bahwa generasi lama penuh luka batin akibat kekerasan emosional yang dilegitimasi sebagai pendidikan. Tidak ada yang sepenuhnya salah, namun ada kegagalan untuk memahami bahwa setiap zaman memiliki konteksnya sendiri.
Dalam lanskap pendidikan modern, anak-anak dibesarkan dalam iklim yang mendorong kebebasan berpikir, ekspresi diri, dan eksplorasi minat. Sistem pendidikan tidak lagi semata berfokus pada penguasaan konten, melainkan juga pada pembentukan kecerdasan emosional dan kemampuan berkolaborasi. Mereka diajak untuk mengenali emosi, memahami keunikan diri, dan mengejar aspirasi secara personal. Ini adalah pergeseran besar dari pendidikan tradisional yang lebih bersifat instruktif dan seragam. Namun, di tengah semua kemajuan ini, muncullah paradoks: generasi yang memiliki akses tak terbatas terhadap informasi justru menunjukkan gejala-gejala rapuh secara mental dan dangkal secara wawasan. Anak-anak mudah frustrasi, mengalami tantrum berkepanjangan, dan kesulitan beradaptasi dengan situasi yang tidak sesuai harapan mereka.
Sebagian masyarakat melihat fenomena ini sebagai kehilangan ruh pendidikan. Mereka merindukan masa ketika guru bukan hanya sumber ilmu, tetapi juga pemimpin moral yang disegani. Zaman dahulu, guru tidak hanya mengajar tetapi juga membentuk karakter, menanamkan rasa hormat, disiplin, dan kesadaran diri. Belajar adalah proses spiritual yang memadukan ilmu dengan adab, bukan sekadar mengejar nilai atau ijazah. Anak-anak terbiasa menghadapi tantangan hidup secara langsung, tanpa terlalu banyak pelindung. Ketangguhan jiwa dibentuk bukan melalui teori, tetapi dari perjumpaan nyata dengan kesulitan, dari keberanian untuk mencoba, gagal, dan bangkit kembali.
Kini, ketika sistem pendidikan menjadi lebih berpusat pada anak (student-centered), fungsi guru terkadang bergeser menjadi fasilitator yang lebih mengakomodasi daripada menantang. Anak-anak lebih mudah dilayani, tetapi kurang ditempa. Kemandirian yang seharusnya tumbuh melalui proses panjang malah digantikan oleh kenyamanan instan. Di dunia digital yang sangat cepat dan mudah, proses belajar kehilangan nilai kontemplatifnya. Anak merasa segalanya bisa dicari lewat mesin pencari, tanpa harus menempuh jalan pemahaman yang mendalam. Belajar menjadi konsumsi cepat, bukan pembentukan karakter yang kokoh.
Namun di titik ini, pertanyaannya muncul: apakah nostalgia akan masa lalu cukup menjadi landasan untuk menilai superioritas satu zaman atas lainnya? Masa lalu punya keunggulan dalam hal pembentukan karakter dan ketegasan nilai, tetapi tidak jarang juga menyisakan luka karena pendekatan yang terlalu keras dan menutup ruang ekspresi. Masa kini menjanjikan kelembutan, inklusivitas, dan teknologi, tetapi kadang kehilangan arah dan makna. Oleh karena itu, perdebatan ini sebaiknya tidak terjebak pada dikotomi “dulu vs sekarang”, melainkan dijadikan refleksi: bagaimana merancang sistem pendidikan yang mampu menyerap kebijaksanaan masa lalu tanpa menolak kenyataan zaman kini.
Dalam perdebatan antara pendekatan pendidikan masa lalu dan masa kini, terlalu sering fokus tertuju pada metode: apakah disiplin keras lebih efektif daripada pendekatan yang lembut dan komunikatif? Namun, jika kita hanya menilai berdasarkan metode, kita kehilangan inti dari pendidikan itu sendiri. Yaitu nilai-nilai yang terkandung dan ditransmisikan di baliknya. Pendidikan bukan semata teknik, tetapi pancaran dari falsafah kehidupan yang diyakini oleh masyarakat di zamannya. Zaman dulu menekankan ketangguhan dan kemandirian karena itulah kebutuhan hidup. Anak harus siap menghadapi dunia yang tidak memanjakan, yang sering kali menuntut survival sebelum kenyamanan. Maka nilai perjuangan, kerja keras, dan tunduk kepada otoritas menjadi sentral.
Namun di balik ketangguhan itu, sering kali ekspresi diri tertahan, luka emosional tersimpan, dan pertumbuhan psikologis anak tidak mendapat ruang yang cukup. Sementara pendekatan pendidikan zaman sekarang berakar pada pendekatan saintifik dan humanistik, menjadikan anak sebagai subjek yang memiliki hak untuk bertanya, merasakan, dan memilih. Kelembutan dan pemahaman psikologis menjadi landasan, dengan harapan tumbuhnya generasi yang empatik dan berpikiran terbuka. Tapi pendekatan ini pun tidak luput dari kelemahan. Ketika terlalu permisif dan berorientasi kenyamanan, anak bisa kehilangan nilai perjuangan. Mereka tumbuh dalam ruang yang melindungi, bukan menantang. Akibatnya, daya tahan terhadap konflik dan kesulitan sering kali rendah, dan pendidikan kehilangan daya tempa karakternya.
Di sinilah muncul titik keseimbangan yang mulai dicari oleh banyak orang: bagaimana menggabungkan ketegasan dan kelembutan dalam mendidik? Bagaimana guru dan orang tua bisa menjadi sosok yang membimbing dengan hati, sekaligus menanamkan harapan dan standar yang sehat? Pendidikan yang seimbang bukan hanya tentang menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tetapi juga tentang membentuk keberanian, kedewasaan, dan kedalaman makna hidup dalam diri anak-anak.
Kebutuhan zaman adalah kuncinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa tiap zaman membawa tantangan yang berbeda. Zaman dulu menuntut kekuatan fisik dan mental karena realitasnya keras dan tidak banyak pilihan. Zaman sekarang menuntut keluwesan berpikir dan kepekaan sosial karena dunia terus berubah dan menuntut adaptasi. Pendidikan yang ideal bukanlah yang hanya mempertahankan satu sisi, tetapi yang bisa menjembatani keduanya. Anak-anak perlu ditempa seperti baja, tapi dengan kelembutan air yang mampu menyusup ke ruang-ruang batin terdalam. (Js)
Belum ada Komentar untuk "Didikan Dulu vs Sekarang: Di Persimpangan Zaman "
Posting Komentar