-->
Loading...

Narasi Opini : Negara yang Sibuk dengan Simbol, Lupa pada Masa Depan


45news.id - Indonesia saat ini berada di persimpangan antara ambisi global menuju 2030 dan pergulatan internal yang belum selesai. Di satu sisi, pemerintah telah menunjukkan komitmen terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui strategi “Tiga Mesin Ekonomi”: revitalisasi ekonomi konvensional, pengembangan sektor strategis seperti digitalisasi dan energi terbarukan, serta penguatan ekonomi Pancasila yang inklusif. Namun, di sisi lain, masyarakat masih terjebak dalam perdebatan identitas, simbol keagamaan, dan konflik horizontal yang menguras energi sosial-politik bangsa.

Menurut laporan Indonesia.go.id, meskipun Indonesia telah naik peringkat dalam pencapaian SDGs dari posisi ke-102 ke-75 secara global, tantangan besar tetap ada: ketimpangan ekonomi, degradasi lingkungan, dan perlindungan kelompok rentan. Ironisnya, ketika dunia mempercepat riset AI dan eksplorasi ruang angkasa, sebagian besar wacana publik Indonesia masih berkutat pada siapa yang paling “pancasilais” atau paling “agamis”menjadi sebuah indikasi bahwa pembangunan spiritual dan intelektual belum sejalan dengan pembangunan teknologi.

Fenomena demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya kebangkitan kesadaran kolektif. Tokoh-tokoh seperti Ferry Irwandi, Raymond Chin, dan Guru Gembul menjadi pihak yang gencar menyuarakan kegelisahan publik terhadap ketimpangan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Ferry Irwandi, misalnya, dikenal sebagai aktivis digital yang vokal mengkritik promosi judi online, nepotisme, dan keterlibatan militer dalam urusan sipil. Ia juga aktif dalam proyek pendidikan seperti Malaka Project, yang bertujuan meningkatkan akses dan kualitas pendidikan sebagai kontribusi untuk visi Indonesia Emas 2045.

Kegelisahan yang disuarakan oleh para konten kreator bukan sekadar kritik, melainkan refleksi dari krisis legitimasi dan representasi. Ketika suara-suara alternatif seperti Ferry Irwandi dan Raymond Chin mendapat perhatian publik, itu menandakan bahwa masyarakat mulai mencari narasi baru yang lebih jujur dan relevan. Mereka bukan hanya pembuat konten, tapi juga katalis perubahan sosial yang mengisi kekosongan wacana publik yang selama ini didominasi oleh elit politik dan institusi formal.

Namun yang menyakitkan bukan hanya penyakitnya, melainkan respons terhadapnya. Setiap kritik dibalas dengan pembungkaman. Setiap unjuk rasa dianggap ancaman. Setiap pemuda yang bersuara dianggap durhaka, bukan karena salah, tapi karena terlalu berani.

Kerap kali, gerakan perlawanan moral dianggap tak berdampak. Seolah upaya memperbaiki menjadi sia-sia di tengah sistem yang terlalu kuat untuk dijebol. Tapi yang dilupakan adalah: pembusukan sistematis tidak terjadi dalam semalam. Begitu pula kesadaran publik dan ia bertumbuh perlahan, melawan apatisme massal dan feodalisme yang membatu.

Sementara itu, ruang-ruang publik dijejali propaganda. Panggung media dikuasai oleh retorika elite yang sibuk melanggengkan kekuasaan dengan narasi keberhasilan semu. Segala bentuk spiritualitas dimanfaatkan sebagai alat legitimasi. Agama dijadikan panggung popularitas, bukan jalan pencerahan. Kyai, habib, bahkan simbol suci pun diperebutkan, dipolitisasi, lalu dibungkus dengan wacana moral yang menjebak.

Laporan Amnesty International menunjukkan bahwa ruang sipil di Indonesia semakin menyempit. Antara 2019 hingga 2022, tercatat lebih dari 800 korban dari 328 serangan fisik dan digital terhadap aktivis, jurnalis, dan mahasiswa. Undang-Undang ITE menjadi alat represi yang efektif, digunakan untuk membungkam kritik bahkan terhadap komentar ringan di media sosial. Ini menciptakan efek jera dan budaya takut yang menghambat pertumbuhan kesadaran publik.

Media bukan lagi ruang pertukaran gagasan, melainkan mesin legitimasi kekuasaan. Dalam perspektif ekonomi-politik komunikasi, media telah dikomodifikasi menjadi nilai informasi ditentukan bukan oleh kebenaran, tapi oleh nilai tukarnya di pasar. Buzzer politik dan algoritma media sosial memperparah situasi, menyebarkan narasi elite dan membungkam suara alternatif.

Meski sering dianggap tak berdampak, gerakan moral memiliki sejarah panjang sebagai kekuatan perubahan. Edward Aspinall menyebut mahasiswa sebagai “kekuatan moral” yang berulang kali menjadi pelopor reformasi, dari 1908 hingga 1998. Namun, dalam era digital dan oligarki informasi, gerakan ini menghadapi tantangan baru: bagaimana tetap relevan tanpa terkooptasi oleh kepentingan politik atau tersesat dalam romantisme perjuangan.

Di balik layar, banyak aparatur jujur yang tak sanggup bicara. Mereka tahu salah, tapi terlalu lemah untuk melawan. Karena di negara ini, kejujuran bisa membuat karier runtuh. Integritas kerap dianggap ancaman. Padahal, bangsa tak runtuh karena banyaknya pengkhianat  tetapi karena terlalu sedikit orang jujur yang bertahan.

Dalam Survei SPI KPK 2024 terhadap 641 lembaga, hanya segelintir kementerian yang mendapat skor integritas tinggi. Kementerian Perindustrian, misalnya, mencetak skor 83,03 dan masuk kategori “Well-Maintained”. Namun, secara nasional, indeks integritas masih berada di zona rawan. Ini menunjukkan bahwa aparatur jujur ada, tapi mereka bekerja dalam sistem yang belum sepenuhnya mendukung nilai-nilai kejujuran.

Presiden Prabowo Subianto sendiri mengakui bahwa korupsi dan manipulasi masih merajalela di tubuh birokrasi. Dalam pidatonya pada Hari Lahir Pancasila 2025, ia menyebut bahwa “terlalu banyak penyalahgunaan, terlalu banyak korupsi, terlalu banyak manipulasi dan itu terjadi di dalam pemerintahan”. Ia bahkan memperingatkan pejabat yang tidak mampu menjalankan tugasnya untuk “mundur sebelum saya copot”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa integritas belum menjadi norma, melainkan pengecualian yang berisiko.(https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/prabowo-slams-corrupt-indonesian-officials-warns-foreign-ngos)

Bangsa ini tidak kekurangan intelektual. Yang hilang adalah keberanian.
Bangsa ini tidak kekurangan pemimpin. Yang sulit dicari adalah teladan.
Dan bangsa ini tidak kekurangan ajaran luhur. Yang dibungkam adalah yang menghidupinya.

Masyarakat mulai lelah. Bukan lelah karena bekerja akan tetapi lelah karena merasa tak didengar.
Lelah melihat hukum seperti permainan nasib, bukan alat keadilan.
Lelah melihat negara justru menjadi sumber kecemasan, bukan pelindung kehidupan.

Di tengah kelelahan itu, banyak yang melirik kembali pada Kepercayaan akan Tuhan Yang maha esa, spiritualitas, dan nilai-nilai batin. Tapi bahkan iman bisa rapuh bila terus-menerus disandingkan dengan realita yang mencederai nurani. Tauhid yang sejati seharusnya menguatkan, tapi tidak untuk meninabobokan. Ia membangkitkan kesadaran, bukan menjadikan manusia patuh pada kebusukan demi dalih “takdir negara”.

Pertanyaan besar pun menggantung:
Akankah bangsa ini memilih waras di tengah kegilaan sistem?
Ataukah justru memilih diam, dan mewariskan kebusukan kepada generasi yang akan datang?

Sejarah akan mencatat: apakah negeri ini dibentuk oleh orang-orang yang mencintai kebenaran, atau oleh mereka yang membungkamnya.

Di dunia yang semakin maju, negeri yang tertinggal bukan karena tak punya sumber daya , melainkan karena terlalu sibuk mempertahankan kemunafikan atas nama adat, agama, dan kekuasaan.

Indonesia bukan tertinggal karena kekurangan sumber daya, melainkan karena terlalu sibuk mempertahankan kemunafikan atas nama adat, agama, dan kekuasaan. Dalam buku The Politics of Religion in Indonesia karya Michel Picard dan Rémy Madinier, dijelaskan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler maupun teokratis, melainkan entitas yang mendefinisikan sendiri apa itu agama dan siapa yang berhak berbicara atas nama Tuhan. Dalam ruang semacam ini, spiritualitas mudah dipolitisasi. Simbol-simbol suci seperti peci, sorban, dan majelis taklim dijadikan properti kampanye, bukan jalan pencerahan. Akibatnya, agama kehilangan makna transenden dan menjadi alat retorika yang menjebak.

Namun kita harus tetap berpikir jernih, tetap berbicara dengan alasan, tetap bertindak dengan hati. Karena bangsa ini akan pulih bukan oleh mereka yang membalas dendam, tapi oleh mereka yang membangun kesadaran dan menjaga martabat dalam menghadapi kegelapan.(JS)

 

Belum ada Komentar untuk "Narasi Opini : Negara yang Sibuk dengan Simbol, Lupa pada Masa Depan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel