-->
Loading...

Pengaruh Screen Time Berlebihan terhadap Kesehatan Mental dan Fungsi Otak

45News id - Di tengah derasnya arus digital, banyak individu mengalami kesulitan untuk mempertahankan fokus dan semangat dalam menjalani hari-hari mereka. Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai sarana koneksi dan hiburan, kini menjadi sumber distraksi yang tak henti-hentinya. Notifikasi yang terus berdenting, konten yang bergulir tanpa akhir, dan algoritma yang menyajikan hiburan instan telah menciptakan lingkungan yang membuat otak kita terus-menerus mencari stimulasi baru. Akibatnya, banyak orang merasa tidak mampu berkonsentrasi, mudah teralihkan, dan menghabiskan waktu pada hal-hal yang tidak memberikan nilai nyata. Aktivitas produktif tergeser oleh kebiasaan scrolling yang kompulsif, dan hari-hari pun berlalu dengan perasaan hampa, seolah tidak ada pencapaian yang berarti.

Fenomena ini tidak hanya berdampak pada perilaku, tetapi juga pada kondisi mental dan emosional. Penurunan semangat menjadi gejala yang umum, di mana individu merasa kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka nikmati. Perasaan kosong dan mati rasa muncul setelah berjam-jam mengonsumsi konten yang dangkal dan berulang. Dalam budaya digital, istilah “brain rot” mulai populer digunakan untuk menggambarkan kondisi ini. Meskipun istilah tersebut bersifat metaforis, ia merujuk pada penurunan fungsi kognitif akibat paparan konten pendek yang tidak substansial. Konten seperti meme absurd, video viral tanpa konteks, atau drama selebritas yang terus-menerus dikonsumsi dapat mengikis kemampuan berpikir kritis, daya fokus, dan minat terhadap hal-hal yang mendalam.

Penurunan kemampuan berpikir dan daya ingat menjadi dampak nyata dari konsumsi konten hiburan yang berlebihan. Otak yang terbiasa dengan informasi cepat dan instan menjadi kesulitan untuk memproses informasi yang kompleks atau mendalam. Studi neuropsikologis menunjukkan bahwa paparan konten pendek secara terus-menerus dapat menyebabkan fragmentasi pola pikir, habituasi terhadap dopamin, dan gangguan fungsi eksekutif di korteks prefrontal. Hal ini membuat individu lebih mudah terdistraksi, sulit menyelesaikan tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi, dan cenderung menghindari tantangan intelektual. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat mengubah cara kita memproses informasi dan berinteraksi dengan dunia sekitar.

Lebih jauh lagi, penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara screen time yang berlebihan dengan peningkatan gejala kecemasan, depresi, dan stres. Anak-anak dan remaja yang menghabiskan lebih dari enam jam per hari di depan layar menunjukkan risiko lebih tinggi terhadap gangguan kesehatan mental. Screen time yang intens, terutama sebelum tidur, dapat mengganggu pola tidur, memperburuk suasana hati, dan mengurangi interaksi sosial langsung. Dalam konteks ini, media sosial bukan hanya menjadi sumber hiburan, tetapi juga menjadi pemicu isolasi sosial paradoks, di mana individu merasa terhubung secara digital namun terasing secara emosional. Perilaku seperti doomscrolling, kecanduan notifikasi, dan ketergantungan terhadap validasi digital memperkuat siklus negatif ini.

Banyak orang, tanpa sadar, mengakses media sosial saat berkendara, menonton TV, bahkan ketika sedang berkumpul dengan teman. Aktivitas yang seharusnya menjadi ruang untuk koneksi sosial atau refleksi pribadi kini tergantikan oleh layar yang terus menggulirkan konten. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bentuk baru dari ketergantungan yang mengubah cara kita hadir dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang duduk bersama teman namun sibuk dengan ponselnya, atau menonton film sambil terus membuka TikTok, kita menyaksikan pergeseran besar dalam cara manusia memaknai kehadiran dan perhatian.

Kebiasaan ini sangat kentara pada Generasi Z dan Alpha, generasi yang lahir dan tumbuh dalam lanskap digital. Mereka adalah digital natives yang sejak kecil telah terbiasa dengan layar, notifikasi, dan algoritma yang menyajikan konten sesuai preferensi. Namun, di balik kemudahan akses dan kecepatan informasi, terdapat ancaman yang tidak kasat mata: brain rot. Istilah ini merujuk pada penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten instan dan dangkal secara berlebihan. Studi menunjukkan bahwa bagian otak yang bertanggung jawab atas regulasi sosial dan pengambilan keputusan kompleks mengalami penurunan aktivitas pada remaja yang terpapar media sosial secara intens. Mereka menjadi generasi “TL;DR” yaitu Too Long; Didn’t Read yang lebih memilih video 15 detik daripada membaca artikel mendalam, dan lebih tertarik pada tren viral daripada refleksi kritis.

Perubahan algoritma media sosial memperparah situasi ini. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts terus menyempurnakan algoritma mereka untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna. Konten yang muncul bukan lagi berdasarkan kronologi, melainkan berdasarkan prediksi algoritma tentang apa yang akan membuat pengguna bertahan lebih lama. Setiap interaksi, klik, dan waktu tonton dianalisis untuk menyajikan konten yang semakin personal dan candu. Akibatnya, pengguna terjebak dalam lingkaran dopamin digital yang terus mencari stimulasi baru, merasa puas sesaat, lalu kembali menggulir tanpa henti. Algoritma ini tidak hanya mengoptimalkan pengalaman pengguna, tetapi juga menciptakan pola konsumsi yang mirip dengan kecanduan, di mana otak terus-menerus mencari kepuasan instan dan menghindari konten yang menantang secara intelektual.

Dampak jangka panjang dari fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Generasi muda yang seharusnya menjadi motor inovasi dan pemikir masa depan justru berisiko mengalami kemunduran dalam kemampuan berpikir kritis, literasi mendalam, dan empati sosial. Tanpa intervensi strategis, kita berhadapan dengan generasi yang kaya informasi tetapi miskin pemahaman, yang mahir dalam teknologi tetapi gagap dalam refleksi. Maka, penting bagi kita untuk tidak hanya memahami fenomena ini, tetapi juga merancang ruang digital yang lebih sehat yang mendorong konten bermakna, interaksi autentik, dan waktu layar yang seimbang. Sebab, di balik layar yang terus menyala, ada generasi yang sedang dibentuk, dan masa depan yang sedang dipertaruhkan.

Di balik layar yang menyala dan jempol yang terus menggulir, otak manusia bekerja dengan mekanisme yang kompleks namun sangat rentan terhadap manipulasi. Salah satu sistem utama yang terlibat dalam konsumsi konten media sosial adalah sistem reward otak. Ketika kita melihat video lucu, mendapatkan “like,” atau menemukan konten yang terasa relevan, otak melepaskan dopamin neurotransmitter yang menciptakan rasa senang dan puas. Sistem ini, yang melibatkan area seperti Ventral Tegmental Area dan Nucleus Accumbens, dirancang untuk memperkuat perilaku yang dianggap menyenangkan atau bermanfaat bagi kelangsungan hidup. Namun, dalam konteks media sosial, sistem ini dimanfaatkan oleh algoritma untuk menciptakan siklus craving dan seeking behavior: kita terus mencari konten baru, terus menggulir, dan terus kembali, bahkan ketika kita tahu waktu telah terbuang.

Sifat pelarian atau escapism menjadi elemen penting dalam kebiasaan ini. Ketika seseorang merasa stres, cemas, atau bosan, scrolling media sosial menjadi jalan pintas untuk menghindari kenyataan. Alih-alih menghadapi masalah atau melakukan refleksi, banyak orang memilih untuk tenggelam dalam dunia digital yang menawarkan hiburan instan dan pengalihan perhatian. Ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bentuk coping mechanism yang semakin mengakar. Otak, yang seharusnya dilatih untuk menyelesaikan masalah dan berpikir mendalam, justru terbiasa menghindar dan mencari pelarian. Dalam jangka panjang, ini melemahkan kapasitas emosional dan kognitif seseorang untuk menghadapi tantangan nyata.

Lebih jauh lagi, mekanisme berpikir otak terdiri dari dua sistem utama: sistem cepat (System 1) dan sistem lambat (System 2), sebagaimana dijelaskan oleh Daniel Kahneman. System 1 bersifat intuitif, otomatis, dan instan dan sangat cocok dengan konsumsi konten digital yang cepat dan dangkal. Sementara System 2 adalah sistem berpikir yang reflektif, analitis, dan membutuhkan usaha. Ketika seseorang terus-menerus terpapar konten instan, System 1 menjadi dominan, dan System 2 jarang digunakan. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis, analisis mendalam, dan pengambilan keputusan kompleks menurun. Otak menjadi malas berpikir, lebih suka jawaban cepat daripada proses panjang yang membutuhkan konsentrasi dan evaluasi.

Dalam lanskap media sosial yang penuh dengan pencitraan dan kurasi momen terbaik, teori perbandingan sosial (social comparison theory) menjadi sangat relevan. Manusia secara alami membandingkan diri dengan orang lain untuk mengevaluasi posisi dan nilai diri. Namun, di era digital, perbandingan ini menjadi tidak adil dan tidak realistis. Kita membandingkan kehidupan sehari-hari kita dengan highlight orang lain seperti liburan mewah, tubuh ideal, pencapaian karier yang sering kali telah melalui proses seleksi dan manipulasi visual. Akibatnya, banyak individu merasa tidak cukup, mengalami penurunan harga diri, kecemasan sosial, dan bahkan depresi. Perbandingan sosial yang terus-menerus ini menciptakan tekanan psikologis yang tidak sehat, terutama bagi generasi muda yang masih membentuk identitas dan nilai diri mereka.

Di tengah kekhawatiran akan dampak negatif screen time yang berlebihan, ada satu kabar baik yang patut digenggam erat: otak manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk berubah dan pulih. Kemampuan ini dikenal sebagai neuroplasticity yaitu sebuah konsep dalam ilmu saraf yang menunjukkan bahwa otak bukanlah organ statis, melainkan jaringan yang dinamis dan adaptif. Neuroplasticity memungkinkan otak membentuk ulang jalur-jalur saraf berdasarkan pengalaman dan kebiasaan baru. Artinya, meskipun paparan konten instan dan hiburan digital telah membentuk pola pikir yang dangkal dan impulsif, kita masih memiliki peluang besar untuk membalikkan arah dan membangun kembali fungsi kognitif yang sehat.

Kekuatan neuroplasticity memberi harapan konkret bahwa “brain rot” bukanlah kondisi permanen. Jalur saraf yang terbentuk akibat kebiasaan buruk seperti scrolling kompulsif bisa digantikan dengan jalur baru yang lebih sehat, asalkan kita konsisten dalam membangun kebiasaan positif. Otak akan mulai terbiasa dengan aktivitas yang menantang secara kognitif, seperti membaca, menulis reflektif, atau menyelesaikan tugas kompleks. Proses ini memang tidak instan, tetapi sangat mungkin terjadi. Seperti otot yang dilatih, otak pun bisa diperkuat kembali melalui latihan mental yang terstruktur dan penuh kesadaran.

Salah satu langkah awal yang krusial adalah membatasi penggunaan media sosial. Ini bukan sekadar soal mengurangi waktu layar, tetapi tentang merebut kembali kendali atas perhatian kita. Menetapkan jadwal penggunaan media sosial, misalnya hanya membuka aplikasi tertentu di jam-jam tertentu dapat membantu otak keluar dari siklus dopamin instan dan mulai membangun toleransi terhadap kesunyian dan fokus. Strategi seperti time blocking, digital fasting, atau menggunakan aplikasi pengatur waktu bisa menjadi alat bantu yang efektif dalam proses ini.

Lebih jauh lagi, mengadopsi teknik deep work menjadi senjata utama dalam memulihkan konsentrasi dan ketajaman berpikir. Konsep yang dipopulerkan oleh Cal Newport ini menekankan pentingnya bekerja dalam kondisi bebas gangguan, dengan fokus penuh pada tugas bernilai tinggi secara kognitif. Deep work melatih sistem berpikir lambat (System 2) yang selama ini terpinggirkan oleh dominasi konten cepat. Dengan meluangkan waktu khusus untuk bekerja secara mendalam, misalnya 90 menit tanpa interupsi, mematikan notifikasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang tenang dan kita memberi ruang bagi otak untuk membangun kembali kapasitas analitis, reflektif, dan kreatif.

Neuroplasticity bukan hanya teori, tetapi fondasi ilmiah yang membuka jalan bagi pemulihan dan transformasi. Dengan membatasi screen time, menetapkan kebiasaan digital yang sehat, dan melatih fokus melalui deep work, kita tidak hanya melawan efek brain rot, tetapi juga membentuk versi diri yang lebih sadar, tangguh, dan produktif. Otak kita bukan korban dari teknologi . Ia adalah medan yang bisa dibentuk ulang, diarahkan, dan diberdayakan. Dan dalam proses itu, kita pun belajar untuk hadir sepenuhnya dalam hidup yang lebih bermakna.

Sebagai penutup dari refleksi ini, kita perlu menegaskan bahwa kesehatan otak bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan dalam era digital yang serba cepat. Penggunaan media sosial yang berlebihan, konsumsi konten instan, dan kebiasaan multitasking yang dangkal telah menciptakan pola hidup yang merusak struktur dan fungsi otak secara perlahan. Fenomena ini bukan sekadar metafora yang dimana riset menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap layar dan notifikasi dapat menurunkan kemampuan fokus, memperburuk kualitas tidur, dan meningkatkan risiko gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.

Namun, harapan tetap menyala. Otak kita memiliki kemampuan luar biasa untuk pulih dan beradaptasi melalui neuroplasticity. Dengan membangun kebiasaan positif, kita bisa mengarahkan ulang jalur-jalur saraf yang sebelumnya terbentuk oleh kebiasaan buruk. Membaca buku, misalnya, bukan hanya aktivitas santai, tetapi latihan kognitif yang memperkuat kemampuan berpikir kritis, memperluas wawasan, dan memperdalam empati. Ia mengaktifkan bagian-bagian otak yang jarang digunakan saat kita hanya mengonsumsi konten visual cepat.

Di sisi lain, olahraga memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan mental dan fungsi otak. Aktivitas fisik terbukti meningkatkan kadar Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), protein yang mendukung pertumbuhan dan konektivitas neuron. BDNF berperan dalam pembentukan memori, pembelajaran, dan stabilitas emosional. Selain itu, olahraga rutin juga memperbaiki kualitas tidur dan merangsang produksi hormon seperti serotonin dan endorfin, yang berkontribusi pada suasana hati yang lebih stabil dan pikiran yang lebih jernih.

Maka, rekomendasi yang paling mendasar namun berdampak besar adalah ini: mari kita lebih sadar terhadap kebiasaan sehari-hari dan dampaknya terhadap otak kita. Batasi screen time, terutama konsumsi media sosial yang bersifat impulsif. Luangkan waktu untuk membaca secara mendalam dan berolahraga secara rutin. Pilih konten yang memperkaya, bukan yang menguras. Dengan langkah-langkah kecil namun konsisten, kita tidak hanya memperbaiki fungsi otak, tetapi juga membangun kualitas hidup yang lebih sehat, lebih sadar, dan lebih bermakna.

Otak kita bukan mesin yang rusak, melainkan taman yang bisa ditata ulang. Dan setiap kebiasaan baik adalah benih yang menumbuhkan masa depan yang lebih jernih.(JS)

Belum ada Komentar untuk "Pengaruh Screen Time Berlebihan terhadap Kesehatan Mental dan Fungsi Otak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel