-->
Loading...

Islam Indonesia = Yaman ?

45News id - Transformasi sosial yang sedang berlangsung di Arab Saudi menjadi salah satu fenomena paling mencolok dalam lanskap geopolitik dan budaya Timur Tengah. Negara yang selama puluhan tahun dikenal dengan konservatisme ketat kini bergerak menuju modernisasi yang ambisius dan terstruktur. Di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Muhammad bin Salman, Arab Saudi meluncurkan agenda Vision 2030, sebuah cetak biru pembangunan yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada minyak dan membuka jalan bagi diversifikasi ekonomi melalui sektor pariwisata, teknologi, hiburan, dan pendidikan. Perubahan ini bukan hanya soal kebijakan ekonomi, tetapi juga menyentuh ranah sosial dan budaya yang selama ini dianggap tabu untuk disentuh.

Salah satu perubahan paling signifikan adalah bagaimana masyarakat Arab Saudi mulai memahami batas antara agama dan kehidupan sehari-hari. Agama tetap menjadi fondasi spiritual dan moral, namun tidak lagi menjadi satu-satunya lensa untuk menilai seluruh aspek kehidupan. Perempuan kini memiliki lebih banyak ruang untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, mereka diizinkan mengemudi, bekerja di sektor swasta dan pemerintahan, bahkan tampil di ruang-ruang seni dan budaya. Kebebasan ini tidak datang dengan pengabaian terhadap nilai-nilai Islam, melainkan melalui reinterpretasi yang lebih kontekstual dan progresif terhadap ajaran agama. Arab Saudi menunjukkan bahwa modernisasi tidak harus berarti sekularisasi total, melainkan bisa berjalan berdampingan dengan identitas keagamaan yang tetap kuat.

Kontras dengan transformasi tersebut, Indonesia justru menghadapi tantangan yang berbeda. Di tengah keragaman budaya dan agama yang seharusnya menjadi kekuatan, muncul kecenderungan fanatisme dan simbolisme agama yang semakin mengakar. Simbol-simbol keagamaan sering kali dijadikan alat ukur keimanan seseorang, bahkan menjadi penentu status sosial dan moral. Penampilan luar seperti pakaian, gaya bicara, atau ritual keagamaan lebih sering dijadikan tolok ukur daripada nilai-nilai seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Budaya “sok suci” yang mengedepankan citra religius tanpa kedalaman spiritual menjadi fenomena yang meresahkan, terutama ketika digunakan untuk menghakimi atau mengeksklusi orang lain.

Dalam konteks ini, Arab Saudi justru menunjukkan bahwa modernisasi bisa dilakukan tanpa kehilangan akar spiritual. Investasi besar-besaran dalam teknologi dan pendidikan, termasuk pembangunan kota futuristik Neom, menjadi simbol bahwa negara ini serius membangun masa depan yang inklusif dan berdaya saing global. Sementara itu, Indonesia masih bergulat dengan wacana keagamaan yang sering kali digunakan untuk kepentingan politik atau identitas kelompok. Ketika ruang publik dipenuhi oleh narasi yang menekankan penampilan religius daripada substansi moral, maka potensi bangsa untuk berkembang secara kolektif menjadi terhambat.

Fanatisme agama yang meningkat di Indonesia tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial, tetapi juga pada kebebasan berpikir dan berekspresi. Ada kecenderungan untuk menghakimi orang lain berdasarkan penampilan dan simbol, bukan pada tindakan nyata atau kontribusi terhadap masyarakat. Hal ini menciptakan atmosfer yang tidak sehat, di mana keberagaman dianggap sebagai ancaman, bukan kekayaan. Padahal, Indonesia memiliki sejarah panjang toleransi dan pluralisme yang seharusnya menjadi fondasi untuk membangun masyarakat yang adil dan inklusif.

Pendidikan adalah fondasi utama bagi kemajuan suatu bangsa, namun di Indonesia, sistem pendidikan masih terlalu sering terjebak dalam pola hafalan dan pengulangan tanpa pemahaman mendalam. Anak-anak diajarkan untuk mengingat, bukan untuk berpikir. Mereka diuji berdasarkan seberapa banyak informasi yang bisa mereka ulangi, bukan seberapa dalam mereka bisa menganalisis, mempertanyakan, atau mengaitkan pengetahuan dengan realitas sosial. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan kemampuan reproduksi informasi, tetapi minim daya kritis dan kreativitas. Dalam konteks global yang menuntut inovasi dan adaptasi, pendekatan ini menjadi penghambat serius bagi kemajuan bangsa.

Sementara itu, Arab Saudi justru menunjukkan arah yang berbeda. Di tengah transformasi sosial dan ekonomi yang masif, negara tersebut berani berinvestasi besar-besaran dalam teknologi, pendidikan, dan inovasi. Mereka membangun kota futuristik seperti Neom, mengembangkan sektor digital, dan membuka ruang bagi generasi muda untuk berpartisipasi dalam ekonomi global. Modernisasi ini tidak berarti meninggalkan agama, melainkan menempatkannya dalam kerangka yang lebih relevan dan produktif. Arab Saudi memahami bahwa masa depan tidak bisa dibangun hanya dengan mempertahankan tradisi, tetapi dengan mengolahnya menjadi kekuatan yang adaptif dan visioner.

Indonesia, di sisi lain, masih sering terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif tentang halal dan haram, tentang penampilan religius, tentang simbol-simbol yang lebih sering digunakan untuk menghakimi daripada untuk membangun. Simbolisme agama menjadi alat ukur keimanan, sementara substansi seperti kejujuran, integritas, dan empati justru sering diabaikan. Budaya lokal yang kaya dan beragam pun kerap dianggap inferior dibandingkan budaya Arab, seolah-olah keimanan harus ditampilkan dalam bentuk yang seragam dan eksklusif. Padahal, spiritualitas yang otentik justru tumbuh dari pemahaman yang kontekstual dan reflektif terhadap nilai-nilai universal.

Fanatisme dalam bentuk apapun baik agama, ideologi, atau identitas adalah penghalang utama bagi pemikiran kritis. Ketika seseorang meyakini bahwa hanya satu cara pandang yang benar, maka ruang dialog dan pertumbuhan pun tertutup. Fanatisme menjadi semacam “agama baru” yang menuntut kepatuhan mutlak, bukan pemahaman. Dalam praktiknya, banyak yang mengaku religius tetapi bertindak dengan cara yang bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri: korupsi, kekerasan, diskriminasi, dan intoleransi. Ketidaksesuaian antara klaim spiritual dan perilaku nyata ini menunjukkan bahwa kita belum benar-benar memahami makna iman sebagai etika hidup.

Harapan untuk masa depan Indonesia terletak pada keberanian untuk menyeimbangkan iman dan akal sehat. Kita tidak harus memilih antara religius atau rasional, keduanya bisa berjalan bersama jika didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Pendidikan yang mendorong pemikiran kritis, kebijakan yang berpihak pada inovasi, dan budaya yang menghargai substansi lebih dari simbol adalah kunci untuk membuka jalan menuju kemajuan. Kita perlu membebaskan diri dari mentalitas penghakiman dan mulai membangun masyarakat yang reflektif, inklusif, dan berdaya cipta.

Arab Saudi telah membuktikan bahwa modernisasi dan agama tidak harus saling meniadakan. Mereka menunjukkan bahwa dengan visi yang jelas dan keberanian untuk berubah, sebuah bangsa bisa melangkah maju tanpa kehilangan identitas spiritualnya. Indonesia memiliki potensi yang sama, bahkan lebih besar jika kita mampu mengolah keragaman budaya dan spiritualitas menjadi kekuatan kolektif. Tapi itu hanya mungkin jika kita berani berinvestasi dalam pendidikan yang membebaskan, dalam pemikiran yang mendalam, dan dalam nilai-nilai yang mengutamakan substansi daripada simbol. Masa depan yang cerah bukanlah utopia, melainkan hasil dari keberanian untuk berpikir dan bertindak secara kritis dan bijak.(JS)


Belum ada Komentar untuk "Islam Indonesia = Yaman ?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel